Lagi, prosesi tahunan tri suci Waisak 2557/2013 digelar di Candi Mendut Borobudur 24-25 Mei. Itu berarti bahwa wilayah di sekitar Mendut-Borobudur bakal dipenuhi orang. Tak hanya umat Buddhis, tapi juga para maniak fotografer yang mengalir mirip bah, wisatawan lokal maupun luar, serta masyarakat lokal.
Di negara yang penganut Buddha-nya banyak misalnya, Waisak diperingati dengan sakral, penuh hormat, dan hening. Hal semacam ini sulit ditemui pada peringatan Waisak di Mendut-Borobudur. Waisak di sini lebih mirip atraksi wisata, hiburan buat masyarakat awam. Ada pasar malam yang digelar di sepanjang bagian luar Candi Borobudur hingga Mendut yang dipenuhi ribuan orang. Ada dengking, pekik kebisingan dari suara motor, orang berbincang, yang kerap mengganggu jalannya pujabakti yang digelar di pelataran Candi Mendut di malam hari. Sepintas, sungguh mirip sekaten Jogja. Bukan ritual agama.
Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata. Para penikmat ritual, entah wisatawan atau juru potret, menganggap sudah jamak memotret seenak udelnya, karena itu bagian dari atraksi wisata. Tak peduli saat itu digelar pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi.
Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.
Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.
Harus diakui, kini prosesi Waisak di Borobudur memang menjelma menjadi tontonan, suguhan yang menghibur masyarakat sekitar. Nilai magis, kesucian ritual, telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Mau tak mau, karena prosesi dilaksanakan di tempat wisata yang mendunia, Candi Borobudur.
Saya jadi berangan-angan, semacam utopis, andai di saat perayaan ritual agama seperti Waisak, Borobudur ditutup untuk umum dan semata digunakan untuk ritual agama bagi umat Buddha. Mungkinkah?
Sudah banyak hal tidak menyenangkan yang saya saksikan berkaitan dengan ritual Waisak ini. Tahun lalu saya ada di antara umat Buddhis yang berada di dalam vihara depan Candi Mendut. Belum tengah malam saat itu. Banyak awam diijinkan masuk awalnya. Bukannya sekedar melihat-lihat, mereka dengan usilnya bermain dengan segala benda yang mereka anggap aneh. “Apa ini? Hahaha.. Wah, ini sih patung nggak jelas, Huhuhu..” Mereka memainkan semacam kentongan, menertawakan orang yang sembahyang sambil menundukkan kepala dan menyilangkan tangan, dan sebagainya. Seolah itu perbuatan menggelikan, karena memang di luar konteks pemahaman agama mereka. Ini sungguh mengesalkan. Di mana letak toleransi.
Andai ada orang nyelonong masuk ke masjid, lalu dengan main-main berdiri di mimbar masjid saat bukan waktu shalat, atau menabuh bedug sesuka hati, apa ada yang tidak marah? Pastilah si penabuh bedug itu digampar dan dikuliahi sampai berbuih. Tapi bersikap toleran terhadap pemeluk agama liyan, sungguh sulit.
Ini baru soal sikap. Tentang nilai komersil, bisa saya gambarkan sebagai berikut. Seorang kawan berkabar ditawari wisata Borobudur, termasuk mengikuti prosesi Waisak dengan membayar Rp900.000. Kawan-kawan manca juga mengakui hal sama, 70 dolar tiket untuk menonton prosesi Waisak di Borobudur dari awal hingga akhir. Entah agen perjalanan mana yang mengadakan. Kawan-kawan fotografer dari media entahlah beramai-ramai mendaftar ke panitia, demi memperoleh tanda pengenal yang membebaskan mereka dari tiket masuk Borobudur. Dan beragam cara lainnya.
Komersialisasi juga sudah dinikmati masyarakat sekitar. Tahun kemarin saya terkaget-kaget karena hampir semua rumah penduduk di sekitar Mendut sudah disulap menjadi penginapan dadakan dengan tarif antara Rp50.00-Rp250.000 semalam. Tergantung mau tidur di kamar atau menyewa satu rumah penuh. Itu pun mau tidur di atas tikar, di atas ranjang, atau bergelung karpet. Ana rega ana rupa. Semakin mahal tarifnya semakin maknyus fasilitasnya. Hehehe..
Wah, ingatan saya jadi melayang di akhir 1990-an, saat mengikuti prosesi Waisak yang nyaris tanpa gangguan dengan kawan-kawan Buddhis Jepang. Kami masuk candi dengan tenang, setelah mengisi daftar berasal dari mana di depan Candi Mendut, lalu beramai-ramai ikut pawai. Nyaris tak ada fotografer ganas, semua tampak sopan dan meminta ijin dulu jika hendak memotret.
Tahun berikutnya kembali saya datang saat Waisak, berencana menginap di vihara depan Candi Mendut. Malam itu saya berbaur dengan para Buddhis dari penjuru nusantara, bahkan tidur di lantai paling bawah bangunan utama. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari mereka. Mereka berasal dari Borneo, Lombok, Bali, bahkan Sulawesi dan Sumatra. Umumnya datang dengan kemauan sendiri, perorangan, dengan dana yang sengaja diada-adakan. Bahkan, ada yang sudah menabung 2-3 tahun demi dapat mengikuti prosesi Waisak di Borobudur. Bagi mereka, datang ke Borobudur mirip ziarah. Jadi, apa salahnya menghormati kawan-kawan peziarah ini dengan bersikap lebih santun, dengan menjaga kesakralan prosesi dan tak menjadikan mereka sebagai obyek semata?
Saya tahu bahwa Borobudur adalah obyek wisata yang mendunia, sama terkenalnya dengan Angkor Watt, atau Ayutthaya. Apalagi ketiganya sudah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO, yang berarti menambah nilai sebagai warisan budaya di mata dunia. Namun ada hal yang perlu dicermati dengan penetapan world heritage ini. Masuk tempat-tempat world heritage jadi tidak gratis, terkadang lumayan mahal. Orang asing yang masuk ke kompleks Angkor Watt dikenai bea 20 dolar per hari. Tapi ‘nyucuk’ kata orang Jawa, karena kompleks candinya amat sangat luas (tapi tiket masuk Borobudur yang akan dinaikkan menjadi Rp 200.000 dianggap turis asing keterlaluan, Borobudur kan cuma ‘secuplik’, nggak ada sepersepuluhnya dari Angkor Watt). Lebih istimewa lagi, di Angkor, warga lokal alias Kamboja bebas bea masuk. Tiket ini berlaku hanya buat orang asing. Demikian pula di Ayutthata.
Saya ingat beberapa waktu lalu orang Hindu Bali menolak anugerah ‘world heritage’ dari UNESCO bagi Pura Besakih. Alasannya, mereka tak ingin nantinya umat Hindu yang melakukan ritual di pura itu harus membayar. Cukuplah para wisatawan yang membayar, bukan orang lokal. Sungguh ini tindakan yang benar dan terpuji.
Di jaman ini komersialisasi di bidang agama memang tak dapat dielakkan. Para da’i di teve menerima jutaan rupiah sekali ngecap, da’i yang diundang ke ceramah-ceramah akbar pun mengalami hal sama. Jadi, tak ada yang salah jika Waisak jadi obyek wisata. Mungkin nanti perayaan natal di Gereja Jago, atau Shalat Ied di masjid besar juga dapat jadi obyek wisata. Permasalahnnya mungkin, di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi. Tak bakalan ada yang protes. Kalau protes pun, yang mencicit hanya satu dua mulut, tak ada artinya dibanding jutaan mulut. Tapi hendaknya dikomersilkan pun masih menghormati hak-hak umat beragama yang bersangkutan. Ah, ini hanya renungan.
Apapun itu, selamat merayakan Waisak bagi umat Buddha
link yang berkaitan :
Brahu, Ketika Dharma Mengabu
buzzerbeezz said:
Menohok mbak tulisannya. Bagus sekali.
ary amhir said:
semoga bisa jadi bahan renungan dan ada ‘sedikit’ perbaikan dari panitia hehe..
Cah Mbudur said:
Tulisan ini sebenarnya bagus, real adanya mungkin, karena terakhir liat waisak tahun 2004. Yang membuatnya tidak bagus adalah niat penulisnya. Pada tahun 1970 an, warga sekitar Candi Borobudur menolak komersialisasi Candi dengan berbagai alasan, padahal mereka mayoritas Muslim. Karena setahu sy tidak ada Budhies yang tinggal dan menetap di sana, klo ada toh kurang dari 100 kk (itupun sy tidak tau dmana). Toleransi agama terbangun rapi saat itu. Konon ceritanya Bukin Dagi di utara candi adalah tempat pemakaman muslim. Penetapan Borobudur sebagai warisan Dunia pun sampai sekarang banyak warga yang menolak. Mereka berpendapat Borobudur adalah dari nenek moyang warga Bororbudur (karena rendahnya pemahaman mereka tentunya,yang apa adanya menerjemahkan kata). Banyak darah dan air mata tertumpah saat itu. setelah lebih dari 30 tahun, baru sekarang pada ngeluh…ironis.
Arif Hidayat said:
Saya setuju dengan anda, apapun prosesi agama, kita tidak boleh mengganggu, jika ingin menjadi penonton, jadilah penonton yang arif dan bijak. mereka ini sedangmenjalankan apa yang diyakininya, kita, pun tak mau mendapat gangguan ketika menjalankan apa yang kita yakini. Marilah kita sadari, kemudahan teknologi tidak kita gunakan untuk “mendzalimi” orang lain, kemudahan teknologi adalah untuk memudahkan kita melayani sesama 🙂
peterkristiawan said:
‘jadilah penonton yang arif dan bijak’..tetep pake bawa2 nama arif, hahahaha..
heri said:
kalau gitu biar ga terganggu seharusnya pada saat prosesi ritual ritual di Borobudur, harusnya panitia ibadah berkoordinasi dengan pengelola pariwisata Borobudur untuk menutup total pintu masuk, kecuali yang mau ibadah, biar ibadahnya tenang, tertib, harus bikin aturan yang jelas, karena pengunjung yang datang juga bukannya tidak mau menghormati, tapi mereka juga mungkin tidak tahu batasannya, besok-besok lagi bikin aturan yang jelas ya…
Fakhri Zakaria said:
Sama dengan yang saya rasakan. Kebetulan saya SMA sampai selesai kuliah tinggal di Muntilan, hanya beberapa kilometer dari candi Mendut-Borobudur. Medio 2002-2008 perayaan Waisyak masih tak seramai pelancong seperti sekarang. Kalaupun ramai itu memang ramai oleh umat Buddha yang datang sampai berbis-bis besar. Wajar.
Saya juga sempat motret bersama teman-teman kampus. Waktu itu masih susah. Dapat izin masuk candi saja harus kucing-kucingan (yah saya salah memang). Yang jelas itulah momen pertama dan terakhir saya motret Waisyak. Waktu saya sedang motret umat yang lagi berdoa tiba-tiba saya kepikiran. “Apa jadinya kalau saya sedang sholat Ied dikelilingi fotogarfer-fotografer dengan shutter yang luar biasa berisiknya?” Semenjak itu saya malas motret
Masuk era DSLR makin murah, semua orang bisa jadi fotografer. Lalu semua orang bisa bepergian. Waisyak semakin ramai. Ramai oleh turis. Saya yang Muslim saja merasa kesakralannya sudah hilang. Lalu bagaimana dengan teman-teman umat Buddha ?
Yah inilah Indonesia.
Salam
ary amhir said:
toleransi di negeri ini memang semakin kurang.. keberagaman menjauh menuju keseragaman
salam juga,
Sulaiman Marbun said:
yang ini kata2nya sangat menarik… keberagaman menjauh menuju keseragaman… seolah2.. yg tidak seragam saat ini dipaksa untuk seragam
Daeng Rani said:
Setuju, ini betul tulisan yang menggugah, meski perbandingannya – centimennya – selalu ke Islam – seperti pemisalan Sholat Ied dan Masjid yah sah sah saja tapi pemotret dan kerumunan itu bukan cuman muslim. Baiknya mungkin digeneralisasi.
Mungkin kembali lagi ke pengaturan panitianya.
Mengapa kalo kami Sholat Ied tidak ada photografer yang lalu lalang depan Imam karena telah diatur, bukan karena ancaman akan digampar, dipukuli ataw dihukum.
Semoga tulisan diatas dijadikan bahan pertimbangan buat panitia penyelenggara Waisak tahun mendatang.
regards,
Nur Fitria said:
Saya pikir pendapat Daeng Rani ada benarnya. Rasanya tidak pas memojokkan salah satu pihak karena kerumunan itu. Ada baiknya opini kita diarahkan pada hal yang sifatnya tidak membangun SARA yang semakin masif di negara ini. Kalau memang prosedurnya yang keliru, ya berarti prosedur itulah yang harus diperbaiki.
Salam 🙂
M. Azhari Zulfani (@d_bandicot) said:
setuju sekali dengan hal ini..
tapi untuk komersialisasi saya mendapatkan kabar bahwa yang menjual pun panitia dari walubi dengan bekerja sama oleh pihak tour n travel. jika melirik seperti ini, sungguh miris juga.
tapi itulah indonesia.
Salam
ary amhir said:
ingat ketua walubi yang sebelumnya dipenjara karena kasus korupsi..
bicara umat tidak selalu bicara tentang lembaga, lembaga tak selalu mewakili kepentingan umat
Idris said:
Thanks buat blog nya. semoga semua mata terbuka.
bahkan walubi pun sebenarnya adalah “penyimpangan” di dalam organisasi Buddhis sendiri.
leo said:
mungkin lebih ke oknum yg brada di suaru lembaga yg berbuat seperti ini
agung ck said:
saya juga tadinya berniat untuk pergi ke sana dan mau motret, ya setelah dipikir lagi saya gak jadi. mending di rumah, karena takut ganggu yang sedang beribadah. dan sebelumnya udah bisa menebak kalau pasti banyak banget fotografer pada motret di sana, ya bener begitu kenyataannya.
menurut saya bukan “inilah Indonesia” tetapi “inilah etika ‘orang’ Indonesia”
bukan Indonesia yang salah, akan tetapi orang yang di dalamnya yang salah membawa nama Indonesia.
selamat merayakan Waisak bagi umat Buddha
Puja Astika said:
Iya betul, saya juga awalnya berniat ke Borobudur untuk memotret Waisak, namun akhirnya tidak jadi karena belakangan saya pikir, “Buat apa mengganggu umat Buddha berdoa, karena saya juga tidak ingin diganggu saat saya dan teman2 saya sesama umat Hindu Bali sedang berdoa” (Ingat hukum Karma Phala).
Selamat Waisak utk umat Buddha, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (Semoga semua makhluk berbahagia)
Lebah said:
http://www.lonelyplanet.com/indonesia/java/borobudur/travel-tips-and-articles/77156?affil=twit
Memang sudah menjadi wisata dunia
hijrahpiyoh said:
Wah, iya juga ya mbak…kayaknya etika fotografernya harus diajarkan lagi
ary amhir said:
yoi, sekarang setiap orang yang punya kamera, khususnya dslr atau slr, bisa menyebut dirinya fotografer
Ima said:
Setuju. Terlalu ikut2an. Mudah2an di kedepannya perayaan agama apapun tidak dicampur aduk kan oleh hal hal duniawi.
gema said:
wah jadi ragu mau kesana…hmm nice! ijin share ya kakak :))
ary amhir said:
datang aja, yang penting bersikap bijak dan menghormati umat yang sembahyang. tak berlebihan bersikap, atau mengganggu jalannya ritual hehe. silakan di-share 😀
Dwi Setijo Widodo said:
Setuju Mbak Ary Hana. Bijak dan memahami arti prosesi itu seperti kita sendiri memahami arti prosesi dalam ritual keagamaan kita. Salam.
Anzi (@anzimatta) said:
Perupa Made Wianta pernah membuat instalasi Borobudur yang dimaksudkan tentang komersialisasi Borobudur, taglinenya instalasii obat anti nyamuk..
Kasarnya kata beliau, dulu sewaktu Borobudur masih “hidup” para pemuja Buddha bersemedi dengan menancapkan hio. “Sekarang ibarat orang datang dengan obat anti nyamuk, karena Borobudur telah mengamalami desakralisasi yang sangat drastis hanya dalam beberapa abad saja”
ary amhir said:
saya hormati pendapat pak made wianta
anoew said:
suka dengan kalimat ini: “di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi.” dan memang begitulah kenyataannya.
Semoga ke depannya semua pihak bisa memahami arti dari toleransi sesungguhnya, bukan hanya retorika kosong.
ary amhir said:
ojo ngompori.. saatnya melakukan refleksi
dwi said:
ojo ngompori
Engkus said:
Ternyata ada oknum tertinggi Walubi yang korupsi dan dipenjara to. Perayaan waisak kok dikomersialisasi sampai bule2 dengan paha mulusngongkong motret diacara sembayangan.
Itulah klo agama dikomersialisasi. Apapun harus diJAGA supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Tyas Ayu Saraswati said:
Ijin share ya mba 🙂
bener-bener bikin melek mata dan pikiran ini untaian kalimatnya…
ary amhir said:
silakan mbak 😀
Stephanie said:
bagus banget tulisannya dan setuju sama apa yang mbak tulis. semoga orang Indonesia bisa semakin menghormati antar umat beragama bukan hanya agama tertentu :’)
ary amhir said:
amiin
Yudha Chandra Winata said:
Ijin share ya mbak, saya setuju bgt sama tulisan mbak ini 🙂
ary amhir said:
silakan di-share 😀
bayu said:
coba ya kalo waisak di borobudur ada panitia dokumentasi yg diseleksi, terus yg lain ga boleh bawa dslr kayak di konser2 gede, mesti lebih enak haha
ary amhir said:
agak susah soal itu. mungkin harusnya ditekankan etika memotret buat para tukang foto, amatir maupun prof
Ukik said:
Bisa kok, mempergunakan fotografi resmi media partner (yg sudah ditunjuk) sudah umum untuk even besar internasional, fotografer resmi akan dikasih rompi khusus gampang di identifikasi, yg tidak pakai rompi brada diluar area. Kemudian yg pake rompi berkewajiban untuk share hasilnya kepada umum, bisa lewat media dia bertugas atau web atau lewat showroom, even olahraga besar caranya seperti ini. Panitia berperan penting, sudah sampai mana usaha untuk menata even biar terlihat rapi
Lanny Hidajat said:
Toleransi juga menjadi lebih peka terhadap lingkungan sekitar supaya tdk dgn sengaja ‘menyakiti’ org lain ya. Terima kasih sdh mengingatkan. Ijin share ya.
ary amhir said:
sama-sama. silakan dishare 😀
indra said:
memang sibahagian orang gak bisa menghargai tempat suci dan ibadah agama lain,,! Saya mohon kesediaannya untuk sebahagian orang yang memiliki kesadaran hati memberikan contoh dan mengingatkan sodara kita untuk lebih menghargai acara suci ibadah mereka tanpa ada gangguan apapun,,
ary amhir said:
mawas diri kuncinya dan empati
ardiforgood said:
Semoga rasa hormat & rasa toleransi di Indonesia semakin besar ya, Mbak. Tulisannya bagus. Izin share ya. 😀
ary amhir said:
silakan 😀
dragono said:
Salam kenal. 🙂
Saya suka dengan tulisannya.
Dalam dua-tiga tahun terakhir, saya kerap bertemu dengan tulisan berisi keluh kesah tentang Vesak dan Borobudur versus tindak tanduk turis non-Buddhis. Ini adalah pertanda baik, karena pada akhirnya banyak teman-teman non-Buddhis yg mau kasihan dengan hal yg dialami kaum Buddhis.
Apabila rekan-rekan non-Buddhis saja bisa mengeluhkan hal di atas, apalagi yg Buddhis. 🙂 Sayangnya, para Bhikkhu yg wajahnya jadi target lensa diharuskan bersikap tenang tanpa amarah. Dan malangnya, para panitia prosesi yg berusaha menghalau dan menegur turis beringas kerap disebut arogan dengan embel-embel: “mentang-mentang!”
Selama ini, ada wacana untuk benar-benar menjaga Borobudur dalam Vesak, cuma seringkali rencana tersebut dipatahkan secara internal, dengan alasan: “jangan macam-macam, orang kita sedikit.” Walhasil, pada diam. Menyisakan kelompok militan yg berani, tapi kurang terfasilitasi.
Mudah-mudahan, makin banyak rekan non-Buddhis yg sadar bahwa perilaku tak sopan sebaiknya ditinggalkan. (Padahal, belum tentu dengan cara motret yg ngoyo, menghasilkan foto yg benar-benar bagus, hehehe).
p.s. Komunitas Buddhis sudah mulai beralih ke kompleks candi lain untuk melakukan peringatan hari-hari besar. Ya, paling lima-enam tahun lalu, baru booming secara komersial. 🙂
ary amhir said:
salah satu candi alternatif dua tahun lalu adalah brahu. sekarang masalahnya bagaimana menyeimbangkan unsur komersialisasi dengan kesakralan upacara, antara empati, toleransi, dan mendapatkan foto atau liputan yang berkualitas
adie said:
Ngide boleh ya? Kalau memang ini sudah ada, maafkan ketidaktahuan saya 🙂
Gimana kalau kita yg non-Budha jadi sukarelawan untuk acara ini? Jaga mereka yg sedang beribadah, mengatur tempat duduk, tempat fotografer, dll. Sehingga saudara2 kita bisa fokus ke ibadahnya saja.
Saya tahu skala acara ini demikian besar, tetapi saya yakin banyak sekali teman-teman yg mau membantu. Koordinasi dengan pihak terkait juga teramat penting.
Sekedar berbagi ide, memberi contoh toleransi dalam bentuk nyata.
Ellen S. Kusuma said:
ide anda bagus loh menurut saya, gimana kalau kita realisasikan untuk tahun berikutnya 🙂
Nanda Widyatama said:
Ide seperti ini sudah diterapkan di lingkungan saya. Sleman Jogja. Dimulai dari perayaan Natal gereja kami, petugas parkir dan penataan lalu lintas dilimpahkan kepada warga sekitar yang tidak merayakan natal. Dengan keuntungan hasil parkir seutuhnya diserahkan pada desa sekitar. Alhasil perayaan lancar, win-win solution.
Sebaliknya, di lingkungan saya, umat katolik-kristen bertugas ronda dan pengamanan saat sholat ied tiba dan juga saat mudik.
Mungkin suatu saat bisa diterapkan di suasana yang lebih besar.
galih said:
Setuju boss..
bocah petualang said:
Seharusnya Borobudur ditutup aja untuk umum selama perayaan Waisak, itu jauh lebih baik.
ary amhir said:
nah itu yang saya usulkan di atas, sehari ditutup kan bukan masalah besar, toh masih ada 364 hari dibuka
Fakhri Zakaria said:
Seingat saya selama tinggal di Muntilan, sehari sebelum Waisyak akses ke Borobudur sudah ditutup. Kalau dari arah Yogyakarta mulai dari pertigaan Palbapang. Tapi masalahnya…pelancong sudah datang di Borobudur sebelum jalan tadi ditutup :I
sonya said:
Saya sangat setuju dengan ide ini. Sepertinya satu2nya cara yang paling tepat memang menutup Borobudur pada hari Waisak. Dan saya bingung juga, apa sih yang menarik dari memotret orang yang sedang beribadah? Karena eksotis? Aneh? Saya senang membaca banyak umat non Buddhis yang bersimpati terhadap umat Buddhis. Mengikuti ibadah prosedi puja bakti Waisak di Borobudur sangatlah sakral untuk umat Buddhis Indonesia. anggap saja kekudusannya seperti ( maaf kalau saya membandingkan) keinginan umat muslim untuk Ibadah Haji ke Mekkah. Salam bahagia Waisak
Egi said:
Makin berkutang ya toleramsi di negeri ini 😦
Ijin share ya 🙂
Egi said:
Berkurang maksudnya x_x
ary amhir said:
silakan di-share 😀
Ana Fauziyah said:
Reblogged this on Mbok Menik's Blog and commented:
Artikel cerdas. Membaca ini membuat pemikiranku lebih terbuka bagaimana menyikapi keberagaman.
drgnyeleneh said:
Bagi sebagian orang nafsu utk mendapatkan momen mengalahkan empati. Lupa akan pribahasa kalau tak mau dicubit jangan mencubit. Tulisan mbak ini bagus sekali. Norma tak tertulis yg bisa mbak tulis… keren! Salam kenal mbak
Travenesia said:
Miris juga dengan beberapa prilaku masyarakat yang sangat susah menghargai adanya perbedaan. Kita saling mengingtkan aja jika di Indonesia kita hidup dalam keberagaman. Alangkah indahnya harmony dalam keberagaman.
Makasih udah mau share tulisannya. Nice post 🙂
dinia said:
Artikel yang padat dan jelas. Bagus sekali. Saya pribadi lebih memilih untuk menghormati dengan diam, dan membiarkan orang lain dengan khusyuk beribadah sesuai kepercayaannya.
Salam
Hardi said:
Tulisan yang bagus dan sebagai perenungan bagi kita semua khususnya bagi umat non-Buddhis. Karena beberapa alasan seperti di tulisan inilah saya akhirnya membatalkan trip ke Borobudur tahun ini. Rasanya gimana gitu, perayaaan agama dikomersialisasikan dan menjadi bahan tontonan (baca : objek wisata).
Nimas (@ayu_soeparno) said:
Ijin share nggih mbak, 🙂
hujantanpapetir said:
Salam kenal, Mba Ary.
Wah, terima kasih sudah diingatkan akan toleransi beragama. 🙂
Citra said:
Nice post mbak. Jadi pembelajaran, bahwa agama mana pun perlu dihormati. krn di bangsa kita sudah lupa. caranya bertoleransi thdp keyakinan org lain
raja waluh said:
Kenapa sih harus membandingkan dengan umat Islam? apa benar semua pelaku yg mengusik ibadah waisak disana “hanya” umat islam?
Seandainya petinggi agama yg sdg ibadah itu merasa keberatan ibadahnya menjadi tontonan atau lahan komersil, kenapa tidak meminta kpd pejabat/pengelola/siapapun yg bisa mengambil keputusan untuk ditutup sementara apabila ada kegiatan ibadah?
Seharusnya ummat budha bisa mencontoh ummat islam dalam beribadah, bagaimana bisa umat Islam yg walaupun menjadi minoritas disebuah negara tidak pernah terusik dgn ritual pemotretan atau atraksi. Bukan malah menjadikan ibadah islam sbg pembanding.
Sorry, no offence.
ary amhir said:
terimakasih komentarnya.
tak ada niatan buruk membanding-bandingkan. hanya menjelaskan bab toleransi.
soal kebijakan pemerintah, bukankah di indonesia para minoritas selalu dikalahkan? tak hanya agama, tapi juga suku bangsa. lihat orang kubu, mentawai, badui, samin.agama nenek moyang pun disingkirkan kalau tidak termasuk 5 agama yang diakui. bahkan kong hu cu pun baru diakui beberapa tahun terakhir. hehe ini soal keberagaman
raja waluh said:
Yg sdg kita bicarakan adlh ibadah waisak menjadi lahan wisata. Pertanyaan saya gampang.
Apakah para petinggi budha sdh mengajukan keberatannya kpd pihak berwenang? Dalam hal ini pihak pengelola/pemerintah setempat.
Kalau sudah, bagaimana tanggapannya? Apakah ada kalimat yang bisa ditafsirkan “kalian minoritas, nurut aja sama mayoritas”?
Kalau belum, jangan lantas menyalahkan agama mayoritas atau islam, silakan kalian instrospeksi diri. Belajar pada agama lainnya dlm beribadah, bukan hanya Islam, kristen pun kalo ibadah gak ada penontonnya.
Kalla said:
Defence, sama-sama bercermin aja bro sister, yang penting damai.
Wayan Budi said:
Raja Waluh, komentar Anda dangkal sekali. Agama Buddha bukan agama kemarin sore. Ini adalah sebuah agama yang sudah ada di Indonesia sejak nenek moyang ada di nusantara ini. Tidak sepantasnya Anda berbicara seolah ada yang salah dengan umat / panitia yang merayakan. Tidak ada satupun umat dari agama manapun yang mau kekhusyukan ibadahnya terganggu, tak satupun. Panitia penyelenggara saya yakin bukan orang yang tidak berpendidikan dan tidak berpengalaman. Saya justru bangga artikel seperti ini harus segera dapat disebarluaskan hingga ke telinga pemerintah setempat hingga tertinggi dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa perayaan Waisak bukanlah komoditas tapi sebuah kesakralan yang juga membawa keharuman nama Bangsa Indonesia dalam keberagamannya. Sometimes Anda harus sesekali melihat dari sisi yang lain untuk bisa memahami pihak lain. Tabik.
demityang2an said:
no offence but offence :))
damaris said:
Umat Islam dijadikan pembanding karena merupakan mayoritas di Indonesia, mbak…
Lisa said:
Sebaiknya kalau mau perbandingan yg setara, bandingkan juga misalnya dgn ritual umat Budha di negara lain, dmn Budha jg mnjadi minoritas. Atau bandingkan jg dgn pelaksanaan ritual umat minoritas lainnya di Indonesia. Jd perbandingannya agak logic :-). Dan bgmn umat minoritas bs ritual dgn khidmat di suatu negara itu, bsa jd pmbelajaran untuk lbh solutif. Klo membandingkan dgn ritual sholat kenapa tidak ada yang memotret itu krn masyarakat sdh menganggapnya biasa bgt, bukan object unik, sesederhana itu. Tapi saya setuju semua umat yg menjalankan ritual agama berhak untuk tidak diganggu baik secara sengaja atau tidak. Overall, toleransi is about membiarkan dan tidak menggangu :-
KPK said:
Kalo diakhiri dengan no offense, maka replynya jadi nggak ada makna. Orang isinya offense semua =D
smg said:
di sini konteksnya adalah orang yang sedang ber_ritual keagamaan dan orang yang dianggap mengganggu ritual.jadi saya kurang setuju kalau yang dijadikan pembanding adalah agama islam.
Andreas said:
@Raja Waluh kenapa si harus terkesan emosi gitu komennya? Penulis hanya meluahkan keluh kesahnya mengenai perayaan agamanya,dan dia membandingkan dengan perayaan agama Islam karena di negara kita ini mayoritas agama Islam dan menurut saya penulis tidak ada bermaksud buruk dengan membandingkan hal tersebut,dan jikalau Kristen ialah agama ygmayoritas,mungkin penulis akan membandingkan perayaan agama Kristen dan Budha,dan saya yakin penulis sama sekali tidak ada maksud bahwa yg datang ke borobudur dan membuat kegaduhan hanya umat muslim ( seperti yang kamu utarakan di atas). Penulis hanya menginginkan toleransi dari kita ygnon Budhist,dia cuma ingin kita merasakan bagaimana klu perayaan agama kita seperti itu dan itu membuat kitatidak nyaman, saya rasa feedback mu yg sampai menanyakan apa pemuka agama Budha sudahmelaporkan ke pihakberwenang dan segala macemnya,malah nyuruh introspeksi diri,,mboknya ya ndak usah terlalu sensitif dan kontra sprti itu, marilah lihat lebih dalem lagi perspektif tulisan penulis apa,jgn hanya menilai langsung dari sisi negatif. Kita hanya perlu mawas diri dan salingtoleransi dengan keberagaman ini dan agama bukan seharusnya menjadi bom atom buat kita,biarlah itu menjadi privasi dan preferensi masing2 pribadi. Sealamy merayakan hari waisak dan Tuhan beserta kita!Gbu
oke said:
Wah,
mbak ini, sangat kaga nyambung dengan maksud artikelnya :v
Kalo baca dicerna dulu,
jangan keburu pake esmossi :p
Andreas said:
Raja Waluh kenapa si harus terkesan emosi gitu komennya? Penulis hanya meluahkan keluh kesahnya mengenai perayaan agamanya,dan dia membandingkan dengan perayaan agama Islam karena di negara kita ini mayoritas agama Islam dan menurut saya penulis tidak ada bermaksud buruk dengan membandingkan hal tersebut,dan jikalau Kristen ialah agama ygmayoritas,mungkin penulis akan membandingkan perayaan agama Kristen dan Budha,dan saya yakin penulis sama sekali tidak ada maksud bahwa yg datang ke borobudur dan membuat kegaduhan hanya umat muslim ( seperti yang kamu utarakan di atas). Penulis hanya menginginkan toleransi dari kita ygnon Budhist,dia cuma ingin kita merasakan bagaimana klu perayaan agama kita seperti itu dan itu membuat kitatidak nyaman, saya rasa feedback mu yg sampai menanyakan apa pemuka agama Budha sudahmelaporkan ke pihakberwenang dan segala macemnya,malah nyuruh introspeksi diri,,mboknya ya ndak usah terlalu sensitif dan kontra sprti itu, marilah lihat lebih dalem lagi perspektif tulisan penulis apa,jgn hanya menilai langsung dari sisi negatif. Kita hanya perlu mawas diri dan salingtoleransi dengan keberagaman ini dan agama bukan seharusnya menjadi bom atom buat kita,biarlah itu menjadi privasi dan preferensi masing2 pribadi. Sealamy merayakan hari waisak dan Tuhan beserta kita!Gbu
Deni setiawan said:
Dari intinya postingannya sndiri adalah pentingnya toleransi antar umat beragama , tidak perduli anda mayoritas dan minoritas , kita sebagai orang yang memiliki agama layaknya menghargai orang lain , setiap agama apapun pasti mengajarkan hal tersebut kan ?
janganlah terlalu berpatok beberapa kata lalu emosi anda tersulut , apakah itu sikap orang yang beriman ?
think again ^^
btw nice article mbak ^^
Ivan said:
di Indonesia, memang harus diakui.. mayoritas berusaha menentang minoritas yang akan membangun tempat ibadahnya, pasti om raja waluh pernah melihat, dan merasa biasa, karena termasuk di mayoritas. Coba di baca ulang artikel ini, toleransi yang di tekankan, bukan untuk yang lain…
Adriana said:
Mantap! mbak ary Tulisannya bernas dan cerdas sekali masukan berharga mengenai keragaman keberagaman di Indonesia:)
namun mungkin sekedar saran dalam hal pembanding kenapa tertuju hanya pada satu agama saja.. saya kira tidak semua turis itu berasal dari satu agama tertentu saja 🙂
mungkin maksud mbak ary tidak demikian namun baiknya dalam hal ini bila ingin membandingkan dibandingkan dengan beberapa ritual kegamaan atau kata2 yang bermakna umum saja. 🙂
saya pernah juga menghadiri perayaan budha’s birthday di seoul para penganut agama budha yang sedang merayakan sudah memenuhi jalan dan petugas bertindak sangat tegas dan memberikan ruang yang jelas serta tertib di saat perayaan berlangsung kepada para turis..
nah menurut saya karena memang mungkin kesadaran masyarakat kita belum bagus ada baiknya dari pihak panitia yang solid mempersiapkan upacara ibadah dan memberikan koridor serta rules yang jelas.. namun memang bila dari pihak agama yang menyelenggarakan itu tidak mau acaranya dikomersialisasi saya kira mereka pun berhak mengajukan keberatan kepada pemerintah daerah.. itu hak beragama dan saya kira umat yang lain akan menerima..karena agamamu bagimu dan agamaku bagiku 🙂
Ihsan Martasuwita said:
iya ya, aku kok baru kepikiran, keren banget isinya. makasih udah membuka mata saya *untungnya tadi ga jadi ke Borobudur buat nonton waisak nya*
sophiemorore said:
pada dasarnya kita masih belum bisa mendemokrasi agama2 yang ada di indonesia
ya , ini utk jadi pelajaran kita bersama
artikelnya bagus sekali 🙂
atristya said:
Reblogged this on aristyatr.
Pingback: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata | Febrina Widihapsari
Febrina Widihapsari said:
Reblogged this on Febrina Widihapsari.
my name is said:
bicara minoritas, jd teringat Etnis Rohingya
Agus Herianto said:
Kenapa sih seneng banget meng-impor alasan pembenaran? yg dibicarakan dimana, yg d bawa2 dimana. Lihat dulu konteksnya, penyebabnya, disana itu apa. Kalau cuma tau dari media, jangan lantas merasa paling benar dan paling pantas untuk bercuap2. Di sini orang ngomongin tentang salah satu toleransi beribadah yang BENAR-BENAR dialami, malah narik2 masalah baru dari luar. Lagipula, kalau ente emang bener2 simpati, punya solidaritas tinggi, bukan dengan meng-impor masalah luar buat d bawa ke sini, melainkan ente ke rohingya sono bantu ngasi solusi yg bener bisa menyelesaikan masalah. Karena, sadar atau enggak, apa yg ente lakukan itu cuma menambah masalah, bukan ngasi solusi. Heran saya sama orang2 indonesia. Jengkelnya sama pelakunya, pelakunya orang luar, tapi yang di jadiin sasaran adalah saudara sendiri di indonesia yang tidak mengerti apa-apa, yang cuma memiliki satu kesamaan. Jangan2 tar pas ada apa2 di luar negeri, cuma karena pelakunya punya warna rambut yg sama dengan saya, saya yg di indonesia malah di salahkan.
raja waluh said:
Yg dia bicarakan juga minoritas, walaupun perlakuannya berbeda dgn yg terjadi disini. Disana dibantai, disini “terkesan” dimanfaatkan.
Justru anda yg terlihat bodoh disini. Penulis membandingkan dgn ibadah umat Islam anda benarkan, sebaliknya org yg berkomentar pendek dgn mengambil pembanding yang lain anda permasalahkan gb kalimat yg panjang.
Toleransi di Indonesia sdh sangat baik dibanding negara lain yg sdh masuk pd ranah pembantaian, bersyukurlah kalian minoritas yg hidup di indonesia.
So, kenapa diatas gw minta spy introspeksi?
Pertanyaannya mudah. Bagaimana mungkin Islam yg menjadi minor di negara lain dlm beribadah tdk menjadi lahan wisata utk dipertontonkan? Lalu, bagaimana mungkin sebuah gereja kecil yg notabene jg minor ditengah ribuan umat muslim bisa beribadah dgn tenang? Sebaliknya, umat budha malah jadi tontonan?
Jadi, sebelum mengambil kesimpulan yg seolah menyalahkan sikap intoleran dari umat mayor, sebaiknya introspeksi kedalam dulu. Apakah sdh melakukan langkah2 konkret dlm rangka mendapat ketenangan dlm beribadah? Kalau sdh, bagaimana tindak lanjutnya. Kalau belum, kenapa tidak dilakukan?
Itu dulu deh dijawab, gak usah muter2.
Wayan Budi said:
Raja Waluh, sekali lagi komentar Anda terlalu berlebihan. Saya kira Anda yang perlu belajar toleransi. Hello..Anda harusnya jadi bangga kalau di Indonesia aman tenteram, jadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara lain yang bertikai. Kok Anda sukanya merasa selalu menjadi ‘korban’.
xnobie said:
@Raja Waluh : Toleransi di Indonesia “sdh sangat baik” dibanding negara lain yg sdh masuk pd ranah pembantaian, bersyukurlah kalian minoritas yg hidup di indonesia.
Pikir dlu sebelum ngetik. klo sudah IBADAH di ganggu itu namanya TIDAK ADA TOLERANSI dan artinya SUDAH SANGAT TIDAK BAIK.
my name is said:
kenapa saya membandingkan dg rohingya?
karena si penulis membandingkan dengan agama lain… karena, yg namanya pembandingan, itu akan merugikan satu pihak…
setahu saya, toleransi umat beragama itu da 3,
1. toleransi INTERN umat beragama
2. tolerasi ANTAR umat beragama
3. toleransi antar umat beragama dg pemerintah.
coba liat ke dalam dulu, sebelum membandingkan dg agama lain…
kenapa sampai ada turis asing maupun lokal bisa masuk sampai ke tempat sembahyang/ tempat ibadah yg dikhususkan untuk para ummat?(tanyakan ini juga pada setiap pemeluk agama, apakah mereka mau diperlakukan seperti itu?)
harusnya para turis diperbolehkan masuk setelah acara keagamaan selesai(liat dong acara keagamaan agama lain! islam, kristen, katholik, hindu)…
lgian, para turis itu sebenarnya tertarik datang ke borobudur karena ada acara menerbangkan lampion. bahkan di akun fb saya sempat muncul ajakan atau lebih tepatnya promo tour lampion di borobudur….
ini kan terbukti bhw, ada koordinasi antara panitia dan para agen wisata untuk mengkomersilkan acara waisak di borobudur tersebut.
so, sekarang toleransi seperti apa yg dipakai jika dr internalnya saja kurang bertoleransi???
seperti pohon, jika akarnya masih tersisa, maka ia masih memiliki kesempatan untuk tumbuh…
Biyanto said:
Hmm, orang indonesia memang selalu gini. Ngomongin mana, bawa ke mana. Gak bakal selesai-selesai. Baca dong artikelnya, jgn alasan emosi sesaat jd buta pikiran.
Doni Achsan said:
Setahun lalu, saya merasakan bagaimana rasanya menjadi kaum minor. Orang – orang seakan melihat cara ibadah saya sebagai bahan tontonan unik yang jarang ada. Jujur, saya sendiri tidak keberatan, namun terkadang rasa penasaran mereka membuat saya “risih” dan tidak tenang dalam beribadah just like what you’ve posted above.
Saya warga Magelang (kotanya, bukan di kabupaten) dan sudah sering ke Borobudur. Menurut saya, Candi Borobudur cukup saja dibuka 364 hari, sisakan satu untuk Waisak. We can’t force society to have sympathy – empathy – or those kind of things nowadays. We just need a bold regulation – which is I’m not quite sure since our government … ah sudahlah 🙂
Salam
keoz said:
emang betul itu mbak, “orang” indonesia kalo dikasih kebebasan yang ada lari-lari kesana kemari, gradak gruduk. Kita masih butuh peraturan yang mengikat antara A atau B.
demityang2an said:
Pertanyaannya buat para fotografer yg uyuk-uyukan itu…
Emang fotonya mau dipajang di galeri mana? masuk media apa?
Paling banter cuma upload situs fotografi, facebook dan instagram yang itu artinya hanya untuk memuaskan ego si fotografer. Ini tidak lagi bicara akan toleransi beragama, tapi toleransi terhadap ego diri sendiri.
Memang betul ketika era kamera canggih menjadi murah, maka perilaku penggunanyapun menjadi murahan.
@beradadisini said:
Salut untuk tulisan ini. Berikutnya, saya hendak mencari buku Anda tentang Sumatera dan Banda 🙂
ary amhir said:
bisa dicari di toko buku yang sumatra, yang banda cetak sendiri 😀
@beradadisini said:
Ah! 😀 Yang Banda pesan di mana jadinya? 😀
wahyu said:
Tulisan yang bagus, walau sebagai umat Muslim, saya merasakan beberapa ‘sindiran’ yang cenderung nyinyir menurut saya, mungkin ada baiknya jika simbol-simbol yang sangat jelas terbaca oleh umat yang katanya mayoritas ini lebih diperhalus, khawatir menimbulkan polemik baru yang bukan berujung pada kebaikan, tetapi malah perpecahan. Lebih dari itu, saya sangat sepaham bahwa tidak seharusnya pihak berwenang diam saja dengan hal ini, harus kita perbaiki, ibadah bukan objek tetapi ritual pengabdian seorang manusia terhadap zat yang dipercayainya, sehingga siapapun dilarang mengganggu. Semoga kita atau siapa pun nanti bisa memperbaiki keadaan.
Salam hormat,
Wahyu
ary amhir said:
terimakasih masukannya
Kalla said:
kalo begitu disebut oknum aja =)
Rizka said:
Da’i dibayar sekian juta untuk NGECAP..paling nyinyir menurut saya..Sekiam
Moh Reza said:
Saya, walaupun Muslim, setuju dengan ‘omelan’ penulis, soalnya Dai2 komersil itu sudah meresahkan! Sungguh bikin mangkel .. umat kok dijadikan lahan cari duit. Mestinya sebagai Muslim sejati justru mempertanyakan para Dai seperti ini! wong orang Kristen saja mulai gerah karena banyak pendeta celebriti bermunculan ..
valen said:
setuju ..
karena islam diajarkan lakum dinukum walyadin
Elzan said:
sbg muslim mungkin saya sama dg mas Wahyu, sedikit merasa panas dg kata2 ‘sindiran’ itu.
tetapi saya jg bisa memahami bagaimana rasa kesal, kecewa, dan marah umat budha dlm hal ini, sehingga kata2 ‘sindiran’ itu tertuang dengan begitu polosnya.
tp kesimpulanku sendiri sih jgn terlalu membawa kekesalan pd 1 agama yg paling besar saja, karena perkara ini tak lain karena kelakuan individu/kelompok yg memanfaatkan peluang utk mendpt uang saja. khususnya pemerintah lokal, seharusnya sensitif ttg hal ini, contohnya perayaan natal saja mereka mau mengerahkan polisi & keamanan utk menjaga dari hal2 yg tidak diinginkan maupun menjaga kekhusukan.
saran saya, coba sampaikan hal ini ke organisasi anda utk menyampaikan ke pemerintah lokal.
semoga tahun2 dpn tidak terjadi lagi hal ini pada agama apapun di negara kita.
salam damai 🙂
evarizkiyana said:
yg paling menonjol adalah soal etika. etika bersikap ketika mengikuti ritual keagamaan di suatu lokasi, esensi kesakralan sudah berubah karena di dalam otak berpikir “ah saya kan bayar, boleh dong mau ngapain aja” atau “cuma foto2 kok, nonton doang, gak masalah kan?”
padahal kalo dikembalikan ke diri sendiri justru bakal menolak juga kan kalo misalnya ditonton saat melakukan ritual keagamaan. sayangnya egoisme masih mendominasi pemikiran kebanyakan dari kita.
🙂 artikelnya bagus, mbak. ngena banget.
pacarkecilku said:
bicara toleransi agama terkadang kayak bicara sesuatu yg di awang-awang. susah banget buat dijangkau. Lucu ya, saat liat turis asing kadang jauh lebih menghormati cara umat Buddha beribadah pas Waisak di Borobudur, ketimbang turis domestik sendiri. Kadang, liat orang Indonesia yg “menertawakan” cara orang beribadah kita pengen noyor kepala-nya, tapi apa daya. Kulit yang sama, negri yang sama. tidak membuat kita punya rasa tepo seliro. menyedihkan =((
demityang2an said:
Biasanya yang ngetawain tatacara peribadatan atau budaya lain yang dianggapnya aneh & lucu itu kurang pelesir 😀
Ailtje said:
Tahun lalu saya mengikuti rangkaian Waisak, demi meditasi yang konon begitu indah dan syahdu. Ternyata, buyar, terganggu Fotografer jadi2an, keluarga Aldo (satu keluarga pakai baju putih, pas orang meditasi ngandep altar, mereka memunggui altar lalu foto narsistik. Dan suara shutternya bikin pengen nyerang itu kamera), belum lagi turis yang wira-wiri ga karuan.
Semoga tahun depan turis dilarang ikut!
dave said:
Sama, gereja katedral juga seperti itu sekarang. malah umatnya sendiri foto2 di depan altar, sesuatu yang kurang pantas buat saya.
Maya said:
Maaf.. Saya termasuk salah satu yg foto2 katedral. Tujuan awalnya survey arsitektural rumah ibadah. Waktu foto saya sembunyi2 supaya tdk mengganggu yg sedang ibadah, tapi jadi seperti maling.
Sekali lagi maaf, apalagi hasil fotonya saya post di social media.. 😦
Baca komen anda, jdi merasa tdk ada bedanya dgn turis yg mengganggu acara waisak. 😦
Pray Nadeak : Learning DemograFUN makes you feel StatisFUN said:
Mantap Mbak artikelnya. Saya juga terkadang heran dengan para turis yang kurang tertib mendokumentasikan ritual2 agama di situs2 sejarah terkenal. Membaca tulisan Mbak ini semakin membuka mata saya agar lebih menghargai orang2 lain yang beribadah.
-Salam Bhinneka Tunggal Ika-
-Damai Selalu Indonesiaku-
ameeeeel said:
Wah, #jleb banget tulisannya. Nicely written mbak! Salam kenal dan ijin share ya 🙂
Azhar Ika Nugroho (@azzarika) said:
dan beberapa yg dateng cuma [engin liat lampion terbang itu.. (temen saya gitu)
nanda said:
Jika sejak awal dr pemuka agama budha lebih tegas akan ketentuan2 prosesi agama, mungkin tidak sampai seperti kondisi saat ini, tidak perlu sampai membahas minoritas atau mayoritas, kondisi saat ini hanyalah minimnya informasi masyarakat mengenai perlunya kondisi yg sakral dlm prosesi ini sebagaimana mestinya berjalan, bagi saya yg belum pernah kesana, saya mengira itu sah2 saja datang & menikmati acara di sana.
Pesan saya tidak perlulah menunjukkan sentimen tidak toleran umat agama yg satu thd agama yg lain, masyrakat saat ini sudah cukup pintar untuk tidak saling menyudutkan pihak agama mana pun, ya mungkin msh ada segelintir orang2 “bodoh” yg msh suka berpikir sara, tp jgn digeneralisir seluruh orang spt itu, paling cukup diingatkan & dimaklumkan, ya nama jg orang “bodoh”.
Negara kita sudah kenyang dengan isu sara, hanya orang2 jadul & susah move on yg msh berfikir & bertindak sara.
diyana.. said:
Mb tulisanya kok SARA banget yaa…kenapa yg anda bandingkan harus umat islam?kenapa bukan kristen,katolik?kenapa harus umat islam.terus yg disalahkan untuk ketidaknyamanan agama anda atopun agama lain???ini sungguh gak adil….
Azhar Ika Nugroho (@azzarika) said:
karna yg banyak dateng nonton ya yang muslim.. lagipula ini bukan sara, tapi ngajak introspeksi..
Bhineka Tunggal Ika said:
nah ini salah satu contoh banyak yang intoleran.baca dulu baik2 baru comment.belum dibaca udah napsu duluan.dimana2 pembanding itu yah yang mayoritas,kalau dibandingan sama minoritas lagi yah mana bisa ngewakilin populasi?
KPK said:
Karena Kristen, katolik & minoritas lainnya TAHU rasanya digituin, jadi nggak perlu dibandingin lagi. Tulisan ini ditujukan untuk mayoritas yang NGGAK TAHU rasanya. =]
Dedi said:
Karna ISLAM adalah kaum mayoritas mbak……………
Ini murni pemikiran saya.
Menurut saya si penulis wajar dengan menyebutkan agama islam di tulisanya.
karna memang faktanya orang” yg menjadiakan moment waisak sebagai objek wisata rata-rata beragama muslim.
Jadi tidak salah jika penulis mengkait-kaitkan islam di tulisanya karna memang begitu adanya.
saya muslim loh ini dan tidak membela sang penulis.
Dan di islam pun sudah jelas adanya toleransi beragama dengan adanya surat QS. Al-Kafirun (109): 1-6.
Islam sudah memberikan kemenangan dan tidak mengusik-usik apa yang dilakukan oleh agama lain dalam menjalankan ibadah.
jangan karna adanya kata-kata ambigu yang penulis pergunakan malah menjadi kita saling memaki satu sama lain, Mungkin si penulis menulis kata-kata tsb dengan niatan baik tanpa menjelek-jelekan siapapun.
“BODOHLAH BANGSA KITA jika terjadi perang agama karna adanya kata-kata ambigu”
Semua agama itu baik ajaranya terluar dari ajaran sesat yah.
Kalla said:
ini saya setuju. EMANG BANGSA KITA BODOH, soalnya kalo pintar g akan dijajah kemiskinan moral.
Love Indonesia said:
Hem saya setuju disini untuk tidak kita mudah tersinggung dalam penggunaan contoh agama dan notabenenya disini pembacanya juga banyak kaum mayoritas yang disebutkan sebagai “contoh”. Sekali lagi untuk yang mudah tersinggung bahwa disini penekanannya adalah pada degradasi toleransi. Saya non-muslim dan saya akan mengamini juga bahwa yang datang ke acara waisak bahkan yang jadi tukang beringas foto bisa non muslim juga. Tapi yang saya tangkap adalah masalah degradasi toleransinya :). Point pentingnya disitu dan ini merupakan kritik yang tidak hanya dialamatkan buat saudara muslim dan non muslim.Namun bagi semua :).
Mungkin untuk penulis, satu dua kata penyebutan salah satu nama agama (*apalagi sebagai pembanding) sebaiknya dihindarkan. Tidak semua pembaca disini adalah orang yang benar2 dewasa dan paham dalam penyampaian maksud. Terima kasih 🙂
Stev said:
Dan, maaf, mayoritas a.k.a moslem Indonesia jika disandingin dengan tulisan sindiran atau satir tentang minoritas, selalu aja ngelak dengan berkata, “Kita juga minoritas tuh di Rohingya. Kita juga disakitin tuh”. Seolah jd alasan pembenar untuk menghindari sindiran.
Pertanyaan saya: Kenapa demikian?
Moh Reza said:
Dari Wikipedia : Waktu Jepang serang burma/ myanmar, Inggris mempersenjatai etnis Rohingya untuk nahan Jepun. Namun Rohingya juga menyerang dan membunuh 20.000 orang burma di Arakan sehingga terjadi perang dengan kaum nasionalis burma. Yang terjadi di burma bukan masalah Agama tapi etnis.. terbukti etnis Thet yang muslim diakui disana dan gada masalah. Etnis Rohingya tu berasal dari Bengali dan bukan orang asli burma.
Dari zaman candi, Kerajaan Bengali dan Burma memang musuhan dan sialnya Rohingya ini tinggal di perbatasan keduanya. Bengali sering memanfaatkan Rohingtya buat serang Burma. Makanya Burma benci banget. Apalagi yang mimpin kan Junta Militer .. Tolong kalau nggak ngerti masalah jangan asal ngomong, apalagi bawa agama. Sikap seperti ini yang membuat malu Islam.
keoz said:
Misalkan kalo di negeri ini mayoritas pemeluk agama Katolik atau Kristen, penulis pun akan mengganti Islam dengan Kristen.
ini bukan SARA, tapi cuma parameter pembanding. gitu….
fangdut said:
Klo nilai2 toleransi nya uda gak ada yg ngejalanin,,cpat ato lambat waisak di borobudur pasti bubar..pda pindah k candi2 laen yg lebih aman
fangdut said:
Klo nilai2 toleransi nya uda gak ada yg ngejalanin,,cpat ato lambat waisak di borobudur pasti bubar..pda pindah k candi2 laen yg lebih aman…mau sampai kapan kyk bgni?
nanda said:
Jika sejak awal dr pemuka agama budha lebih tegas akan ketentuan2 prosesi agama, mungkin tidak sampai seperti kondisi saat ini, tidak perlu sampai membahas minoritas atau mayoritas, kondisi saat ini hanyalah minimnya informasi masyarakat mengenai perlunya kondisi yg sakral dlm prosesi ini sebagaimana mestinya berjalan, bagi saya yg belum pernah kesana, saya mengira itu sah2 saja datang & menikmati acara di sana.
Pesan saya tidak perlulah menunjukkan sentimen tidak toleran umat agama yg satu thd agama yg lain, masyrakat saat ini sudah cukup pintar untuk tidak saling menyudutkan pihak agama mana pun, ya mungkin msh ada segelintir orang2 “bodoh” yg msh suka berpikir sara, tp jgn digeneralisir seluruh orang spt itu, paling cukup diingatkan & dimaklumkan, ya nama jg orang “bodoh”.
Negara kita sudah kenyang dengan isu sara, hanya orang2 jadul & susah move on yg msh berfikir & bertindak sara.
Bayu M. said:
Maaf, Anda harusnya tahu (atau memang tidak tahu?) bahwa pada PRAKTIKnya meminta kebijakan bagi agama minoritas itu sangattt sulitt diejawantahkan. Secara teori, ya, memang seolah “demokratis”. Ada keluhan, nanti ditampung, dimusyawarahkan, nanti ada solusinya. Percayalah, para bhiksu, bhiksuni, dan umat Buddha lainnya pasti sudah menyalurkan keberatan mereka, tapi apa mau dikata? Anda salah dalam menyimpulkan bahwa ada agama yang tidak toleran dengan agama lainnya. Pemikiran semacam ini yang mengundang konflik. Bukan agama tertentu yang tidak toleran, tapi sistem di Indonesia yang mengondisikan demikian.
Sitirahma Desmarleni said:
para wisatawan seperti saya itu hanya perlu ‘diatur’. sudah sejak 4 tahun terakhir waisak ramai dikunjungi oleh wisatawan asing, bukan waktu yang singkat bagi penyelenggara untuk ‘belajar’ bagaimana mengkondisikan perayaan waisak agar tetap tenang dan khidmat. saya berani bertaruh sebagian besar wisatawan hanya ingin melihat proses akhir penerbangan lampioj (pada kenyataannya panitia menjual lampion itu untuk umum), juga mengenai kartu peserta waisak, pihak penyelenggara lah yang membagikan kartu tersebut kepada nom-budhist, dengan alasan kartu peserta bagi fotografer dll. saya pernah mendapatkan kartu tersebut tahun lalu, hanya dengan menulis kan di buku tamu dr asal saya, maka kartu tersebut sudah bisa saya dapatkan.
monggo, mungkin pihak penyelenggara bisa memperbaiki pelaksanaan perayaan waisak ini, dengan di buat regulasi bagi umat dan wisatawan, logika nya ini acara nya umat budha, masa kita tidak mematuhi. di Indonesia, hal yang jelas jelas sudah diatur aja masih sering semrawut, apalagi yang sama sekali tidak diatur. penyelenggara punya hak untuk tidak mengizinkan wisatawan masuk, apalagi banyak aparat keamanan yang bisa membantu.
tak perlu terlalu jauh minoritas dan mayoritas, regulasi yang penting.
semoga hal semacam ini tidak mengurangi kesucian hari raya waisak.
salam
Padatala said:
Mohon maaf, saya pribadi sampai saat ini belum pernah ke Borobudur ketika prosesi Waisak berlangsung bukan karena saya akan mengganggu mereka. Tidak. Saya tidak punya niatan datang ke sesuatu tempat dengan niat yang tidak baik. Tapi dikarenakan saya sendiri rada males umpel2an saat berwisata. Saya rasa wisatawan yang datang ke sini pun tidak punya niat mengganggu jalannya upacara.
Melihat kasus ini paling tidak ada pihak yang bisa belajar terutama pihak panitia bahwa hal-hal semacam ini bisa diantisipasi.
Cuma sih orang datang ke sini kebanyakan ingin melihat pelepasan lampion…lha pelepasan lampion ini cuma saat waisak saja terus mau ditutup buat umum? Ya silahkan….tapi apabila pihak Walubi mengijinkan untuk dibuka untuk umum dan tidak ada keberatan dari umat Buddha lantas harus ditutup untuk umum? Seperti yang saya utarakan sebelumnya, pihak panitia yang belajar dari kasus2 perayaan tahun sebelumnya bisa mengantisipasi masalah dan mengakomodir keinginan pihak yang beribadah dan pihak yang menyaksikan. Bisa dengan cara pemberitahuan saat membeli tiket masuk kepada wisatawan, pembatasan pengunjung dan banyak cara yang masih dapat dipikirkan daripada menyudutkan wisatawan. Yang sangat disayangkan, tulisan ini serasa merendahkan niat2 wisatawan2 yang datang. Demikian. Mohon maaf sekali lagi.
rohingnya said:
Kalo sampai di bantai kayak rohingnya kesian juga ya…
Bhineka Tunggal Ika said:
ga usah nyamain penganut suatu agama di satu negara dengan negara lain deh.lo jadi kaya calon teroris yang di dor aja kaya kemaren2.selama ini umat budhist di indonesia udah terkenal baik.di jakarta lo tau sapa yg paling banyak ngadain kegiatan sosial kaya sunatan masal,bagi2 sembako,dll?
kita juga ga mao kan disamain kaya muslim pakistan yang saling bunuh sesamanya?
sonya said:
Saya sangat terkejut membaca comment ini. apa maksudnya ini? apa Anda tidak bisa membedakan antara kerusuhan etnis dan kerusuhan agama? mohon anda lebih mencermati keadaan di dunia ini. Jangan hanya melihat permukaannya saja.
dheche said:
Setuju, mestinya ditutup sehari aja, seperti wisata di Bromo yg ditutup saat nyepi.
amy said:
baru tadi siang ngerasa nyesel banget ga ke borobudur buat liat perayaan waisak, tapi sekarang setelah baca ini jadi malah bersyukur ga jadi kesana, dan saya janji ga bakal pernah nonton perayaan waisak.
ijin share ya 🙂
muhammad habib chusnul fikri said:
saya setuju mbak, seharusnya upacara keagamaan menjadi sesuatu yang sakral
sandra said:
Interesting a point of you mba 🙂 Tp klo bole kasi masukan, knp untuk pembandingnya selalu dari umat muslim ya mba? Jadinya (menurut saya nih ya) seolah2 pelaku yg tdk sopan thd kaum buddhist ini adalah kaum muslim, cmiiw 😉 Mungkin alangkah baiknya jika memberi perbandingan tdk hanya dari kaum tertentu saja.
Bayu M. said:
Gak usah terlalu memperuncing perbedaan lah. Anda mengaburkan pesan refleksi ini saja. Itu kan hanya pembanding, di Indonesia ya paling mudah ambil contoh perayaan keagamaan paling besar: Idul Fitri.
muhammad habib chusnul fikri said:
sip
Danny Christ Kansil said:
Saya sungguh berterimakasih dengan adanya tulisan ini, semoga mampu menjadi pembelajaran bagi mereka yg membacanya untuk lebih menghargai pelaksanaan ibadah seluruh umat beragana di negara ini
rizal said:
mohon maaf jangan bawa-bawa islam kedalam kasus itu mas, fatal akibatnya.
nindya said:
Jangan bawa-bawa islam? Saya juga Muslim dari lahir, tapi saya rasa umat Muslim di Indonesia sebagai mayoritas (yang sangat besar) kadang-kadang memang keterlaluan rendahnya dalam urusan menghormati agama lain, mungkin karena merasa punya massa. Sudah waktunya ada yang mengingatkan, terutama suara dari pihak agama-agama lain. Menggunakan Islam sebagai pembanding di sini saya rasa wajar sebagai agama mayoritas, dan daripada marah apa nggak sebaiknya koreksi diri seperti yang diajarkan agama Islam?
Saya juga tahun lalu mengikuti prosesi Waisak di Borobudur, dan memang beberapa turis dan fotografer yang sangat mengganggu. Mungkin sebaiknya jumlah fotografer dan wisatawan yang boleh masuk dibatasi.
raja waluh said:
Turis2 itu islam?
tenri salamun said:
Saya juga Muslim, dan saya setuju sekali bahwa tulisan tersebut adalah input yang baik mengenai bagaimana sebaiknya kita menghargai orang lain, dalam hal ini adalah umat agama lain yang sedang melaksanakan ritual ibadahnya. Tidak ada niat penulis untuk “menuduh” atau “memojokan” umat Islam. Justru sebaliknya kita diberi “kemudahan” gambaran untuk merasakan ketidak nyamanan / kemarahan jika ibadah kita terusik. Marilah kita justru berbesar hati menjadi contoh dalam tulisan ini, sebagai penghargaan atas Islam sebagai agama mayoritas di negara ini. Marilah kita saling mengingatkan dan mau diingatkan, agar kita bisa hidup damai berdampingan di negeri tercinta ini.
Chubs Loly said:
agree.. tenggang rasa negeri kita ini sudah mulai memudar seperti dimakan waktu
gingerbreadandtea said:
Reblogged this on Enjoy The Afternoon….
Aisyah said:
Ijin share ya mbak 🙂
Toleransi di negara ini memang sudah -____-
mameta said:
Ijin share yaaaa…
Thx
Murakami said:
Saya baru saja dari sana… dan tidak bisa masuk karena padatnya para pengunjung yang ingin masuk ke kompleks Borobudur. Sudah 4 tahun ini berturut-turut saya berkunjung ke Borobudur ketika Waisak dan baru tahun ini saya memutuskan untuk tidak memaksakan diri masuk. Memang setiap tahunnya terlihat sekali pertambahan pengunjung (wisatawan maupun peziarah).
Ketika membaca Artikel ini, saya merasa tertampar dan berpikir, jangan-jangan selama ini saya sudah mengganggu para peziarah yang sedang beribadah.
Berdasar pengalaman berkunjung ke tempat-tempat Ibadah yang juga ‘tourist destination’ maka saya sedikit lancang menarik kesimpulan bahwa untuk menetapkan kegiatan ibadah besar di tempat-tempat ibadah populer tanpa unsur ‘wisatawan’ adalah hal yang sangat susah.
Menurut saya yang diperlukan adalah regulasi tentang penetapan zona wisatawan dan zona peziarah. Thailand, Kamboja, dan Jepang sudah mengatur dengan ketat penetapan zona wisatawan dan zona peziarah ketika ada ritual keagamaan yang menarik banyak pengunjung.
Mari kita tidak saling menyalahkan tetapi bisa belajar dari hal-hal seperti ini. Mungkin kita bisa memberikan sumbang saran untuk panitia, para ‘calon’ wisatawan dan ‘tukang foto’. Semoga dengan saran-saran tersebut bisa membuat perayaan Waisak di Borobudur untuk tahun-tahun ke depan akan lebih baik lagi (bagi para wisatawan dan para peziarah)
Maafkan bila ada kata-kata yang kurang berkenan.
Semoga Semua Mahkluk Berbahagia
admin SK said:
Minta ijin untuk meuat kembali di Superkoran: http://superkoran.info
Nikita said:
Saya setuju kalau borobudur di tutup sementara selama ada prosesi sakral didalamnya. Seperti halnya di Bali pada saat peryaan hari Nyepi ! Salam
Pingback: Ary Amhir: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata « Superkoran
Dedi said:
Maybe simple article for other people but is very important ……..
Saya beragama muslim, tapi saya cukup prihatin begitu banyaknya warga muslim yang tidak memberikan toleransi beragama di saat upacara waisak berlangsung, Dengan melakukan objek wisata/object foto di saat prosesi sakral bagi umat budha sedang berjalan.
Mungkin sekarang pembahasan tetang ritual waisak yang terganggu karna di jadikan sebagai objek wisata/object foto karna hari ini adalah hari Waisak, Lalu apa kabar dengan upacara keagaaman seperti Imlek dll ??
Apakah Pantas menganggu ritual agama dengan aktivitas objek wisata/object foto ??
Apakah karna agama muslim adalah agama yang dominan di indonesia maka pola pikir orang-orang muslim berubah drastis di jaman sekarang dengan memperlakuakn ritual agama lain sebagai objek wisata/object foto selain agama muslim ?? Wallahu a’lam.
Jadilah Fotografer yang Cerdas untuk memahami situasi yang dimana harus di lakukan dan tidak harus di lakuan jika tidak ada kepentingan yang mendalam
THINK BE SMART !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Lilis said:
artikel sebagus ini syg sekali kalau dibaca dgn pikiran yg tertutup. ingat bahwa tujuan dri artikel ini adalah mengajak kita utk toleransi trhdp ritual keagamaan dri semua agama yg ad di indonesia, bukan utk menjelekkan agama trtentu. perbandingan trsebut hanya sbg ilustrasi untuk mmperjelas poin penulis.
langkah prtama toleransi adalah pikiran yg terbuka.
stevie said:
SEPAKAT 🙂
potret said:
yang sya jadi pertanyakan kenapa yang dijadikan contoh itu masjid dan shalat pdhal yg dtang saat waisak terjadi sya rasa tidak hanya dari umat yg beribadah di masjid & shalat terapalagi turis sya rsa terlebih bnyak bukan orang yg beribadah di masjid dan mereka tidak shalat
????
mungkin bahasa yang lebih sopan adalah tidak mnyebutkan hal2 yg memojokan sebuah agama.. sya rasa pda tempat lain agama lain mungkin merasakan hal yg sma yaitu terganggu hanya sja pngetahuanmu belum sampai mungkin …
joesatch said:
tendensius sekali, bung, sampai bilang “pengetahuanmu belum sampai”. baiklah, mari dibalik, fair saja, apa yang kemarin malem ngrusuhi waisak itu anda yakin ndak ada umat islamnya juga?
ada, kan?
nah, kalo ada, lantas kenapa analogi dari tulisan di atas kurang bisa anda terima? justru ini bagus buat bahan muhasabah di kalangan umat islam sendiri, kan?
oh ya, kalo anda tetep ndak setuju, anda boleh bilang juga kalo pengetahuan saya juga belum sampai, kok 😈
Martono said:
Maaf nunut ngomong … mungkin itu contoh ekstrem .. Dan memang seringkali kejadian, bukan. Terutama kalau menyinggung yang garis keras. Masalahnya yang biasanya berlaku tidak hormat begitu adalah turis lokal yang berasal dari kota besar. Turis asing justru gak berani . Ini saya dapatkan dari hasil ngobrol2 sama masyrakat sana. Saya sendiri dari Yogyakarta. Turis asing justru bertanya apa yang boleh dan tidak boleh. Masyarakat sekitar bahkan yang muslim dan kejawen justru malah menghormati dan membantu karena juga mendapat faedahnya.
Sayangnya turis lokal belagu ini kebanyakan ya muslim (yang mungkin dalam tanda petik) karena mayoritas kan kita Indonesia memang Muslim. Setahu saya, kalau Kristen tidak akan datang ke acara ibadat agama lain seperti itu. Menurut kenalan saya yang tetangganya Kristen, itu dilarang. Menurut saya, tindakan ini dilakukan oleh para ‘simpatisan Islam’, orang yang ngakunya Islam namun solat 5 waktu lupa, ada miras diteguk, ada Playboy dibaca. Memang memalukan sih yang begini. Merusak nama Islam.
Ilham said:
Ada beberapa hal yang membuat saya terusik ketika membaca komentar di atas. Beberapa yang keberatan dengan post ini menyalahkan panitia. Padahal panitia hanyalah sedikit sekali orang dibandingkan dengan ribuan atau bahkan puluhan ribu turis yang datang. Dengan jumlah panitia yang mungkin hanya ratusan tentu tidak akan seimbang. Oleh karena itu, setiap turis diharapkan menjadi ‘panitia’ minimal untuk dirinya sendiri, untuk tidak mengganggu ritual keagamaan yang sedang berlangsung. Jangan hanya meminta panitia untuk mengatur, tapi aturlah dirinya sendiri.
Kemudian masalah dikaitkan dengan umat Islam, kenapa harus begitu defensif. Apakah kalian melakukan hal2 yang mengganggu tersebut? Kalau tidak kenapa harus sebegitu defensif. Kalian sebagai umat Islam harusnya bisa mengambil pelajaran dari tulisan ini untuk mengingatkan saudara2 kalian yang akan menonton ritual Waisak tahun depan agar bisa menjadi ‘panitia’ bagi dirinya sendiri dan tidak mengganggu ritual2 keagamaan. Analogi yang digunakan penulis dapat kalian contoh untuk menjelaskan kepada saudara2 kalian, bukan?
Sandra said:
Sebenarnya simple aja sih mas Ilham. Saya sebagai muslim sangat mengerti inti dari tulisan ini, bahwa tidak seharusnya upacara keagamaan yang sakral itu diganggu dan dinodai kesakralannya. Yang dipermasalahkan hanyalah, mengapa sebagai contoh “pengganggu” itu umat muslim saja. Apakah penulis yakin, penganggunya 100% dari kaum muslim?
eko said:
Menurut saya, penyebab lainnya adalah krn Borobudur memang sdh disetting sbg tempat wisata oleh Pemerintah, terbukti ditarik sd 200rb. Dihari biasa adalah tempat wisata, piknik sambil nggelar tiker, apalagi ditambah ada event tertentu. Secara ngga sadar pun, mindset kita sbg masyarakat umum tetap menganggap Borobudur dan candi-candi lain sbg tempat wisata. Jadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberi batasan-batasan terhdp masyarakat dan mengatur ulang kebijakan-kebijakan. Btw, saya yakin pengunjung yg ‘mengganggu’ dgn menonton dan memoto, pasti berasal dr berbagai agama ngga cuma Islam, karena ya itu tadi Borobudur memang sdh disetting sbg tempat wisata oleh Pemerintah.
Thanks anyway sudah diingatkan.
elsara said:
Refleksi yang menarik. Saya belum pernah merasakan langsung perayaan Waisak di Borobudur, namun pernah dengar hal2 kurang sedap dari teman. Ia yang juga seorang fotografer, merasa risih melihat pengunjung (di luar umat, termasuk turis/media/fotografer) yang mengganggu/tidak mengormati jalannya rangkaian ibadah.
Poin yang Anda sebutkan di paragraf penutup cukup menjelaskan, segala hal yang minoritas memang kerap dipandang ‘eksotis’. Dan agama, jarang menjadi komoditi yang tidak laku. Di satu sisi, perayaan Waisak yang terbuka bagi publik ini kerap mengganggu kenyamanan ummat beribadah, namun di sisi lain turut menggerakkan perekonomian warga sekitar.
Mengontrol perilaku pengunjung yang jumlahnya ribuan itu memang hampir mustahil. Yang paling mungkin adalag api panitia mempertegas peraturan bagi pengunjung yang ingin ikut menyaksikan perayaan Waisak. Misalnya batas area, pelarangan penggunaan lampu blitz, dsb. Hal ini juga harus dibantu oleh publikasi (oleh panitia/media/blogger/fotografer) yang sifatnya juga mengedukasi, bahwa perayaan Waisak di Borobudur sejatinya adalah sebuah ritual akbar keagamaan.
lisa said:
Maaf.. tapi saya kurang setuju dengan tulisan ini. Sebagai umat Budha, saya senang mengalami perayaan Waisak di Borobudur dipenuhi pengunjung, entah turis cuma moto2 narsis. Kupikir walaubagaimanapun itu juga bentuk apresiasi.
Selain itu saya pernah merayakan waisak di Srilanka dan Myanmar, disana bahkan lebih meriah lagi. Semua vihara penuh manusia, tetep ada yang foto2.. di jalan2 banyak orang jualan, serta macet. Lampion berbagai warna dan bentuk disegala sisi. Rumah-rumah membuka semacam tenda di depan pekarangan/sisi jalan, kebanyakan tidak menjual tapi membagikan gratis.
Dalam beberapa obrolan dengan para turis, mereka rata-rata ingin turut merasakan sebuah perayaan agama tertentu. Bonusnya adalah moto2 menikmati keindahan, sambil narsis juga bisa.
Mengenai harga tiket masuk yang merajalela, kupikir area sekitar Borobudur jadi semakin indah. Rumput2 hijau membentang luas, candi dicuci; apalagi setelah terselimuti abu merapi, perawatannya tak cukup setahun.
Bayar tiket masuk 200ribu (19USD, 17 EUR) bagi turis asing is nothing. Seperti kita nonton di bioskop XXI 5x. Bagi turis Eropa/Amerika/Inggris/Jepang/Taiwan/Singapura.. itu sama saja dengan makan kelas mahasiswa 3x, artinya makan dengan gizi & rasa seadanya.
Di Myanmar, mau mengunjungi kawasan Heritage bayar 100 USD. Itupun bangunan/kawasannya tidak terawat. Tanpa pandang bulu darimana asalmu (permintaan korting saya tak digubris,mengingat nilai tukar IDR lebih rendah).
Mari melihat segala sesuatu dengan positif, indahnya perdamaian 🙂
arwaio said:
diantara semua apresiasi dan komentar yang tertulis, saya sangat kagum dan tercelik dengan balasan anda.
Ya! melihat segala sesuatu dengan positif, bahkan ketika tampaknya segala yang muncul adalah negatif – saya sangat setuju.
salam damai,
deden said:
Ngajak tolerensi kok nyudutin agama lain, ngajak damai apa ribut? di indonesia ini toleransi udah lumayan bagus daripada di MYANMAR…
Bikin contoh yang cerdas dikit sambil bayangin kalo jadi minoritas di luar negeri.
dya said:
Kenapa harus membandingkan dengan negara yg toleransi beragamanya lebih buruk? Kalau kita bs jadi negara paling beranekaragam suku dan agamanya, sekaligus jadi negeri terbaik toleransi umat beragamanya, bravo for us.. Picik kalau anda berfikir ini menyudutkan agama lain.. Cobalah menilai dr sisi netral.. Be objective!!
adittya said:
Toleransi akan terasa jika menjadi umat minoritas mba,.. jadi saya bisa merasakan saudara muslim ‘minoritas’ di myanmar yang menjalankan ibadahnya dengan todongan senjata, dan muslim ‘minoritas’ di filipina yang ibadahnya dibatasi,.. sekedar pembanding arti kata ‘toleransi’, jadi lebih baik tidak bicara ‘agama’ akan lebih baik dilihat dari prilaku manusia dan kebijakan pemerintah mba..
Frenky said:
Artikel ini bagus sekali, pesan yang di sampaikan ngena banget. Awalnya saya juga ingin banget ikut melihat kemeriahan waisak di candi borobudur, tapi setelah membaca artikel ini jadi merenung lagi. Btw semoga kedepan nya tidak ada lagi kisah-kisah yang tidak menghormati dan tidak toleransi antar umat beragama seperti ini 😦
Purwanto said:
Saya minta pemerintah, walubi & pihak berkompeten lainya melakukan langkah2 terciptanya keharmonisan agar prosesi waisak kembali ke jatidirinya yaitu kesakralan peribadatan, krn ini aset bangsa.
Pingback: Ary Amhir: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata | Bacaan Mualaf
Pingback: Ary Amhir: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata | Swara Kafir
bobi said:
Ya sudah tdk usah dijadikan tempat wisata saja sekalian. Selesai perkara. Tempat ibadah kan mmg hrs disakralkan.
Aditia Putra Kurniawan said:
setuju…
ngecamp said:
Saya salut sama tulisannya, ada pencerahan terutama soal toleransi..saya juga mau nanya nih kalo proses penyalaan lampion itu apa bagian dari ritual waisak? Atau apa?
ngecamp said:
Bagus tulisannya , benar2 refleksi 🙂 ..jadi lebih tau arti toleransi…kalau boleh tau , itu penyalaan lampion apa bagian dari proses ibadah ya ? Atau bagian apa ? Mohon pencerahannya ?
Nera said:
Ga usah bawa2 agama lain bos, kenapa terjadi seperti itu? karena Borobudur itu bukan milik Budhist pribadi tp sudah jadi destinasi wisata dan itu pemerintah sendiri yg mempromosikan, emang selama ini siapa yg urus dan rawat borobudur??? orang bayaran dari pemerintah,
Wayan Budi said:
@Nera: Sepertinya Anda paham sekali dengan gambaran ttg karut-marut dan keterlibatan pemerintah. Mungkin ada baiknya Anda membuat tulisan yang lebih gamblang. Kalau saya melihat dari kacamata sederhana saja sih, apapun agamamu ketika ibadah bertoleransilah terhadap mereka yang sedang beribadah..karena itu hak asasi. Jika oknum pemerintah sudah melenceng, marilah kita semua yang merasa beradab dan bertoleransi tidak usah mengikuti anjuran destinasi wisata yang disodorkan oleh pemerintah, krn kalau terjadi itulah kebodohan massal dari yang mengikutinya.
Alexandra Tafira said:
Penulis hanya membeberkan fakta yang terjadi. Anda bisa lho buat tulisan tandingan dari kacamata anda sendiri. Penulis menulis tulisannya dari sudut pandang seorang Buddhist yg sakit hati ketika beribadah, dimana ia harus dekat dengan Tuhan tapi diperlakukan seperti itu oleh orang-orang yg jelas2 tidak mempunyai kepentingan keagamaan di Borobudur. Coba posisikan diri Anda ketika sedang beribadah diperlakukan demikian oleh orang lain (entah seagama atau berbeda agama dengan Anda)
Summer said:
Terima kasih artikelnya kak. Saya bukan umat Buddha, dan itu artikel ini bisa jadi pembelajaran betapa di negara ini apa saja dikomersialisasi *sighs* 😦
Budhist said:
Artikel ini jelas SARA, tulisan kaum yahudi yang ingin menyudutkan Islam dan memecah belah kerukunan antar umat beragama, anda sok2an nulis tentang sakral nya sebuah upacara agama? lalu tulisan anda ini apa? sama sekali ga menghormati agama lain.
Sandra said:
Aduh mas, jangan kebablasn gt dong. Smart dikit. Knapa langsung nuduh orang yahudi? Orang2 spt Anda ini yang bikin jelek kaum muslim. Sori, saya juga muslim. Tapi paling ga suka orang2 muslim yang membabi buta menuduh orang lain.
bangjo said:
dont feed the troll mbak. orang komennya tulul begini biasanya malah pengen ngejatuhin Islam.
Sudjarwo said:
DUh.. Malu saya sebagai muslim ada yang begini .. Sunggauh tak terpelajar. Tidak semua muslim seperti ini lho.. Mohon Maaf ini orang ‘muslim’ khilaf yang sembarangan ngomong tak pakai otak .. dikit2 Yahudi … Saya sendiri mengakui kalau orang Indonesia mayoritas yang kebetulan memang Muslim sering bertindak tak terpuji dan memalukan .. sampai ‘amok’ saja dimasukkan dalam kamus besar bahasa Inggris dan diidentikan dengan kelakuan orang Indonesia yang sekali lagi .. kebetulan beragama Islam
Ayos said:
Mbak Ary, aku baru baca tulisanmu ini. Untaian kata yang sungguh maklharrr :p
Dinni said:
Penulisnya bicara tentang toleransi, tapi malah menyudutkan salah satu agama. Kalau buat saya yg anda rasakan itu harusnya ga generalisir 1 agama tersebut, karena yg disebut di atas lebih ke culture alias budaya atau mental masyarakat di indonesia, bukan 1 agama aja, apa kamu udah nanya 1-1 ke pelancong yg dateng “agama kamu apa?” Sampai bisa buat contoh seperti itu?
Tulisan ini “terlihat cerdas” bagi para liberal, tp buat yg paham agama, (manapun) tulisan ini dangkal sekali.
Lilis said:
Maaf sebelumnya, janganlah Anda berprasangka dan terlalu sensitif. Apalagi sampai membawa liberalisme, wah sudah jauh sekali melencengnya dari pesan yg ingin disampaikan penulis.
Pesan artikel ini sederhana: TOLERANSI BERAGAMA. Meski prosesi keagamaan agama Islam dijadikan contoh, tapi ajakan untuk bertoleransi juga ditujukan utk semua umat beragama di Indonesia. Prosesi keagamaan agama Islam disebut hanya sebagai perumpamaan, saya yakin bukan dengan maksud menyudutkan.
Sekian.
fanani said:
karena waisak setitik rusak mayoritas sebelanga, saya sendiri menghormati waisak tapi jangan sampai yang disalahkan seluruh anggota mayoritas. Menurut saya ini bukan masalah mayoritas dan minoritas lebih tepatnya ada masalah teknis yang tidak diatur oleh penyelenggara, tidak semua mayoritas itu pintar namun tidak juga semua mayoritas itu bodoh. Lihatlah para pendiri bangsa ini yang sepakat mengakui keberagaman. Inginnya saya generasi selanjutnya jangan terus-terusan digesek agar selalu terlihat bahwa yang mayoritas ini tidak toleran. Sekali lagi hal seperti itu tidak mewakili agama mayoritas. Tulisannya bagus sangat halus sekali disertai dengan contoh-contoh kegiatan agama lain, namun tulisan ini dengan sangat halus juga membenturkan minoritas dengan mayoritas.
Raka said:
Setuju mas 🙂
Sandra said:
Stuju bgt mas.
EdwinM said:
Umat budha dan umat lain yang minoritas sudah sangat mendapat kebebasanyang luar biasa banyak. Coba bandingkan dengan minoritas di negara2 yang kurang berkembang seperti Myanmar, Filipina, dll. Kalau pendirian tempat ibadah itu sudah ada peraturan dan zona2nya. Misal kalau di Papua mayoritas kristen/katolik pasti umat2 yg minoritas ditempat tersebut sulit mendirikan tempat ibadah, bisa, minimal 1 di tingkat kecamatan.
Jadi pada intinya saya ingi mengatakan bahwa umat minoritas dan aliran kepercayaan sudah mendapat kebebasan luar biasa dengan dibatasi peraturan demi menjaga sikap toleransi.
dya said:
ehm, maaf ya mas.. Tp orang bodoh mana yg mau jadi lebih baik dengan membandingkan diri pada negara yg lebih buruk.. Yg konteksnya adalah toleransi beragama. Kenapa harus mikir umat minoritas di Indonesia sudah dapat kebebasan yg luar biasa banyak, dibandingkan dengan siapa? Umat mayoritaskah? Kenapa harus mengukur banyaknya? Karena seharusnya kebebasan yg diterima umat mayoritas dan minoritas adalah sama.. Jadi anda gak berhak mengukur seberapa banyak kebebasan yg dapat dan sudah diterima umat minoritas di Indonesia.. Gak usah ngomongin myanmar dll.. Ini Indonesia, dan kita gak mau kaya Myanmar dll yg punya toleransi agama lebih dangkal..
firdaus said:
yang pertama membenturkan mayoritas dan minoritas adalah penulis. jadi wajar kalau akhirnya tanggapan atas benturan itu muncul. kalau gak mau ngomongin myanmar dll, ya ngomongin aja di Indonesia. di Indonesia semuanya bisa jadi minoritas. yang mayoritas di barat bisa jadi minoritas di timur, begitu juga sebaliknya.
mawi wijna said:
Kalau menurut saya, ketidaknyamanan ini disebabkan oleh kurangnya sikap kesadaran diri oleh sebagian besar pengunjung, khususnya dalam memaknai prosesi ibadah. Lebih lanjut, mari kita bercermin, adakah kegiatan-kegiatan di negeri ini yang menarik banyak massa mampu untuk terlaksana secara tertib? Saya khawatir, jangan-jangan sebagian besar dari kita hanya bisa tertib jika “dikerasi” dengan peraturan. Tentunya hal ini tidaklah perlu jika diantara kita memiliki kesadaran diri yang tinggi seperti yang saya singgung di awal.
Salam
Pingback: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata KVLT Webzine
Swastika Saja said:
Emang nggak bisa ya diterapkan aturan bagi wisatawan yang hendak melihat dan meliput waisak agar hanya berada di zona tertentu (termasuk untuk mengambil foto), aturan soal berpakaian dan lain-lain yang dianggap perlu?
amanwithagoldenheart said:
Tulisan yang bagus dan membuat saya berfikir,.
Buto said:
Menggenapi tulisan ini:
http://baltyra.com/2013/05/01/arabisasi-atau-gamang-budaya/
Buto said:
Ary menyampaikannya dengan halus sekali…hehehe…pada kenyataannya memang demikian. Dan setuju dengan salah satu komentar di atas, kenapa harus dibandingkan dengan Rohingya? Bagaimana dengan yang 110% seperti Afghanistan, Pakistan, Syria, dsb? Bedil-bedilan, rudal-rudalan, bom-bom’an, paten-patenan hanya karena Syiah dan Sunni?
antondewantoro said:
Semoga orang Indonesia makin dewasa, bisa membedakan antara ibadah agama yang sakral dan atraksi lumba-lumba
hendy said:
Saya sangat setuju sekali bhwa prosesi ibadat itu harus dhormati dan dprivasi secara baik agar bs lbh khidmat. Namun sebaikny dlm beropini tdk mendeskriditkan salah satu agama atau agama lainnya, krn yg jd masalahnya kan bukan pd agama lainnya tp sistem penyelenggaraannya. Maaf klo ada kata2 yg salah. Thanks.
tuwid said:
Artikel yang sangat menarik.. analogi kasus yang anda sampaikan sangat masuk akal.. mengetahui kenyataan bahwa hari raya di jadikan sebuah objek eksotisme foto, komersialisasi membuat saya sedih… ijin share ya..
Arif Wibowo said:
Salut untuk tulisan ini. Semoga bisa membuka mata Pemerintah dan Bangsa Indonesia untuk menghargai dan menghormati ritual dan ibadah semua agama tidak terkecuali juga agama Budha. Budha adalah agama nenek moyang kita Bangsa Indonesia. Kita yang sudah berubah agama tidak lagi Budha hendaklah tetap menghormati agama nenek moyang kita.
Iyan Kushardiansah said:
Klenteng, vihara, candi sudah biasa jadi Objek wisata,
buat saya, Justru miris lihat kenyataan beberapa non-buddhis yang menunjukkan sifat aslinya: *maaf* BEGO
Namun tak sedikit kawan2 foto/video yang saya kenal yang santun, saya yakin banyak juga fotografer yang faham ilmu fotografi yang sudah bersikap seharusnya.
Tentang me-libur-kan borobudur dalam sehari, ada kaitan erat dengan tema waisak dari STI, kita butuh ke-mulia-an dalam diri pemimpin bangsa, sehingga masalah2 secuil seperti ini dapat di hindari.
And the end of the day, saya cuma bisa bilang:
Sabbe satta bhavantu sukhitata,
Salam metta
yanz said:
Kalo menurut saya sih, etika toleransi yg terutama ada didalam agama yg tentunya harus dipelajari mendalam, sikap toleransi dan saling menghargai tentunya ada didalam pelajaran agama masing2. kenapa tidak diterapkan ? ya kecuali kalo yg kurang taat beragama..
Theresia said:
artikel yang bagus. ngena banget mbak
fanny said:
bagus sekali tulisan anda. terima kasih sudah berbagi pandangan kepada kami para pembaca. mungkin tanpa tulisan ini masyarakat yang berkunjung tidak akan pernah menyadari bahwa yang dilakukan selama ini mengganggu saudara kami yang sedang beribadah. terima kasih 😀
Pingback: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata « Albertus Widi
Putu Bali said:
Bukan rahasia umum lagi, kaum minoritas di Indonesia selalu dilecehkan, dalam hal ini agama minoritas. Katanya bangsa yang beradab. Agama mayoritas di Indonesia beberapa oknumnya selalu tidak menhormati agama minoritas. Ketika agama minoritas bangun tempat ibadah saja dipersulit bberapa, di demo *geleng-geleng*. Agama yang egois. Tidak menjunjung toleransi sama sekali.
Ricky said:
Jangan suka ngompori…
Ilham said:
Well, jangan menyalahkan agamanya bung… 🙂 salahkan pihak yang tidak bertanggungjawab, saya yakin kok semua agama pasti mengajarkan toleransi, Anda orang beragama bukan? pastinya agama Anda mengajarkan toleransi, apalagi Agama yang Anda sebut “egois” itu…
semua bergantung pada individunya jgn menyalahkan agamanya.. refleksi aja
putri said:
Iya,sama seperti di bali.
Org muslim yg mau mendirikan masjid atau mushalla dihalang2i.bahkan pernah org sedang shalat jumat di bubarkan oleh pecalang2 sekitar.
Apalagi kl ada iring2an pembawa jenzah yg lewat hanya kurang dr 5menit langsun d todongkan pistol oleh preman2 bali.
johanesjonaz said:
sad! betapa pemahaman yang rendah atas ibadah satu umat. Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin kita bisa menyurati walubi.. untuk acara seperti ini harus ada reservasi, jadi jumlah orang bisa dikontrol dan tidak mengganggu jalannya ibdah. Polri juga harus melakukan pengawalan ketat, seperti saat ibadah di malam natal. Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu harus bersatu dan memahami satu sama lain.
novita aryani said:
Setuju deh sama kamuuuu…
Bukankah disetiap agama diajarkan untuk saling bertoleransi antar umat beragama?!
Mungkin mereka (umat budha) hanya bisa diam. Tapi jangan pikir mereka diam karena senang dgn ditonton dan difoto. Mereka terganggu, karena mereka pun ingin khusyu menjalankan sembahyang. Sama seperti kita (umat islam) yg ingin khusyu ketika solat eid. Masih adakah sikap toleransi di diri kita???
:))
Agus Herianto said:
Saya heran dengan pembaca yang langsung mencari-cari kesalahan dibandingkan dengan menelaah maksud tulisan ini dan kemudian meng-introspeksi diri sendiri dulu. Contohnya, begitu membaca tulisan ini, entah tidak terima atau memang tidak mau meng-introspeksi diri, langsung membawa-bawa masalah Rohingya. Kalau memang punya rasa solidaritas yg tinggi, harusnya kalian memberi solusi yang jitu supaya masalah Rohingya cepat selesai, minimal doa supaya cepat damai. Bukannya malah nyerang saudara sendiri, yang samaskali tidak ada kaitannya dengan peristiwa di sana.
Jangan-jangan misalnya ada kasus, kemudian pelakunya mempunyai warna rambut yang sama dengan saya, malah saya juga ikut dipersalahkan. segitu piciknya kah?
joesatch said:
fotografer? yakinlah sumpah, mereka cuma sedikit kelebihan duit yang menenteng nikon atau canon digital. ada berapa tho jumlah mereka yang bisa masang rol film di kamera – bahkan poket – analog? ada berapa tho dari mereka yang bisa nyucicetak foto sendiri di kamar gelap?
rahmadevvi said:
Reblogged this on rahmadevvi and commented:
Dulu pernah di Malaysia ada orang-orang Hindu India lagi beribadah di kuil, sempet kepengen foto cuma kok kayaknya ga sopan aja lagi berdoa gitu malah difoto-foto, padahal mereka bukan lagi atraksi. Gimana Waisak yang skalanya sangat besar, ibarat kayak umat Muslim di hari Lebaran. Semoga kita bisa saling menghormati.
Han said:
Saya mengerti Anda mengeluh karena acara sakral agama Anda terganggu. Namun, menyindir habis SATU agama tertentu padahal yang mengganggu Anda belum tentu agama tersebut, dapat menyulut provokasi pada umat agama yang lain.
Jangan menggeneralisasi hanya berdasarkan sedikit pengalaman pribadi.
Saya mendukung toleransi beragama, namun mengatakan TIDAK pada provokasi antar umat beragama.
Muthe said:
Saya sudah 3 tahun terakhir ini, setiap hari Waisak pasti mendengar berita-berita tidak enak seperti ini. Saya sedih karena ibadah teman-teman yang beragama Buddha jadi terganggu. hal yang harusnya sakral, khidmat, jadi rusak karena pemburu foto dan turis yang tidak punya etika. Tahun ini katanya lebih parah lagi. Saya setuju sekali kalau misalnya ditetapkan bahwa pada hari Waisak, Candi/vihara ditutup untuk umum, kalaupun ada yang ingin meliput harus dari media yang jelas, bahkan mungkin dipersyaratkan jenis lensa yang dipakai (harus yang tele, jadi nggak ada cerita mepet2 sama jemaat), suara shutter kamera dimatikan, dll. Bahkan kalau perlu dijaga oleh pihak keamanan seperti polisi.
Saya juga berpikir yang sama, semakin hari, bukannya semakin tinggi tingkat toleransi antar umat, tapi semakin rendah. Semakin gampang meremehkan kepercayaan dan ritual keyakinan yang dianut orang lain. Mungkin bagia sebagian besar orang, keyakinan yang dianut hanya sekedar cat yang melapisi saja, hanya label yang mereka bangga-banggakan.
Saya berharap di tahun-tahun mendatang, hal ini tidak terulang lagi.
Ananta Wijaya said:
Thanks atas tulisannya.
Membaca komentar-komentar di atas melihat banyak ragam cara mata membaca dan otak mencerna. Kalau permasalahannya turis yang tidak tertib, maka solusinya adalah turis yang tertib, itu saja. Untuk itu, apa yang harus dilakukan? Kawan-kawan di atas (mungkin tanpa sengaja) sudah menjawabnya. Jika mau dibaca dan disusun ulang dengan kejernihan, semua pihak (pemerintah, panitia, turis, umat Budha) bisa mengatasinya di masa yang akan datang.
Selamat Waisak, semoga damai…
alucard said:
Waisak memang urusan untuk kalangan Umat Buddha.. y memang tetapi kalau wisata is ok. orang lain lewat lihat tetapi.. yang dokum itu perlu diberi beberapa SOP.. spt Bhante mau baca paritta meditasi itu perlu lah larangan..
Aditya said:
Walubi dibubarin aja.
Tertanda, Umat Buddha yang Peduli.
Summer said:
Reblogged this on My blog and commented:
cerita menarik tentang kelakuan orang Indonesia di tempat ibadah umat *maaf* minoritas~
edowidivirgian said:
Ha, sepertinya orang Indonesia lama2 makin tidak jelas arahnya. Tau acara sakral kok malah dirusak2. Ya gitu deh kalo cuma ikut-ikutan globalisasi eh ikut-ikutan doang.
d.a.i.s.y said:
wow kemaren saya sempat ingin menjadi salah seorang yang “mengganggu” kesakralan prosesi ini, untung sebelumnya ada salah seorang teman yang mengatakan tentang hal ini sehingga saya memutuskan untuk tidak datang. Semoga kedepannya lebih tertib aja
AlvaJP said:
Entah rasanya saya mau ketawa setiap kali ada yang ngomen, “Harusnya pemerintah, harusnya pemuka agama budha, atau harusnya aparat melarang atau bertindak tegas atau apalah, heii, apakah untuk mentoleransi umat beragama lain yang sedang beribadah harus disuruh dulu, sadar dong sadar, katanya negara timur tapi etikanya masih kalah sama bangsa barat..
Untuk penulis, keren tulisannya mengingatkan kembali nilai etika yang sudah hilang dibangsa ini, Ijin share ya..
mahatmaputri said:
saya ijin share ya di facebook 🙂
Pingback: Waisak Dan Persoalan Yang Tak Kunjung Usai | efenerr
witaayodhyaputri said:
Semalam utk pertama kalinya saya dtg keborobudur saat masih dalam rangkaian waisak krn sblmnya kalau dtg hny utk berwisata,tp baru jg masuk pelataran candi borobudur sudah syok,bayangan sy org2 akan sopan mengikuti rangkaian acara,tp yg sy lihat org2 seenaknya buang sampah,dll,.saat hujan bukannya pake jas hujan/payung mrk justru berbasah2 ria dgn baju basah kuyup sampe kelihatan dlmannya,blm lg rok/clana super pendek yg mrk pakai,.jd benar2 miriiiis,.semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi kita bersama,.
Idian Mansjur said:
Terima kasih article nya mba dan terima kasih telah mengingatkan kita untuk menghargai agama org lain.
Ijin share ya mba.
Nana De Nato said:
awesome…..
paulozinha said:
jangan under estimate kaum buddhist. mereka, memakai bahasa kita, ga peduli remeh temeh soal ini. orang2 seperti kita belum nyampe pemikiran buddha semacam ini. tapi untuk wisatawan berkaca diri dan otokritik, bagus.
rellz said:
Semoga Waisak berikut lebih khidmat utk menghormati teman2 Buddhis di Indonesia. Hidup toleransi 🙂
TJ said:
Ini kritikan u org yg mengkomersilkan ritual agama… Bukan malah menjelekkan agama lain.. Ngga perlu lah mengilustrasikan ibadah2 umat islam… Itu seolah2 anda menuduh umat islam yg merusak hari raya waisak di borobudur… Toleransi !
Eric Mario said:
Saya menimpali dari sisi fotografinya saja
dimana belum lama ini jg saya sempat menulis artikel dgn judul fotografer kebablasan
ini salah satu yg saya maksudkan dengan fotografer kebablasan
dengan alasan angle, moment dll, mengesampingkan hak org lain untuk beribadah
silahkan cek artikel saya di
https://www.facebook.com/notes/eric-mario/photographer-kebablasan/542590085776989
dan mohon izin juga untuk share link ini di artikel saya
Thanks
Aditia Putra Kurniawan said:
ya harusnya panitianya yang lebih bagus lagi… pengamanan dan penertiban harus lebih tegas… lebih bagus borobudur ditutup,. kalau ada yang pengen nonton lampion, ato yang lainnya, ya dari pengurus borobudur, ngasih jadwal selain waisak, biar para wisatawan bisa ngeliat bagusnya lampion2… terus, bagi bukan pemeluknya, ngapain juga dateng di hari raya agama orang lain buat nonton??? setiap pemeluk agama kan pasti punya hari rayanya sendiri2 kan???
sabrie said:
Mungkin penulis merasa mengapa prosesi agama “mayoritas” bisa tertib? Ya sudah dijawab sendiri karena secara tegas sudah diatur mana yang boleh atau tidak, mana yang dipersilahkan, mana yg tidak, dan panitia serta unsur pendukungnya pun tak segan bertindak tegas karena prosesi ibadah harus khusyuk. Yang penting ketegasan panitia maupun unsur-unsur yang terkait dengan prosesi ibadah tersebut..koordinasikan dengan baik, atur batasan batasan yang jelas mana yang boleh atau tidak. Imho
salam damai said:
http://www.wihara.com/forum/zen/13258-kisah-biksu-seorang-gadis.html
nureffendhi said:
Sepertinya ini bukan lagi masalah mayoritas yang kurang toleran pada kaum minor. Pemerosotan sikap/sopan santun, entah saat berhadapan dengan siapapun, orang2 tersebut yang bikin saya prihatin. Sepertinya pendidikan bangsa ini harus merefleksi ke jaman2 kerajaan dulu yang sepertinya (untuk aspek tertentu) lebih menghargai dan bertoleransi perbedaan.
theromism said:
sederhana, nyata, dan telak
Jitta Papilaya said:
Saya setuju sekali dengan tulisannya…
d.a.i.s.y said:
Reblogged this on Daisy's Anecdote.
Mirah Gayatri said:
Artikelnya keren bgt,mba. Saya jd ingat kalo di Pura Besakih,setiap pelancong hanya diijinkan sampe pelatarannya saja tanpa bs masuk melihat kami sembhayang agar bisa lbh khusuk dalam melakukan upacara. Kebayang bgt kalo saat kami sembhayang,tiba2 ada yg motret dgn jarak dekat. Smg masyarakat Indonesia bs terus instrospeksi dan meningkatkan toleransi.
dwimirnani said:
wah, saya baru tahu begitu kondisinya di borobudur waktu waisak 😦
ada apa dgn toleransi di negara ini sih? gak masuk akal. masak mentertawakan prosesi & arca?
saya punya pengalaman shalat dalam masjid di jepang. di sana masjid juga dijadikan objek wisata, sama seperti kuil. tapi luar biasanya, turis perempuan yg masuk dgn kesadaran sendiri menutup kepalanya dgn kain/syal (pdhl saya sndr gak pakai jilbab). & waktu adzan berkumandang, mereka duduk diam di belakang utk mengamati, sampai shalat berjamaah selesai. apa susahnya ya bersikap begitu?
saya ijin share tulisannya ya. semoga lebih banyak yg baca supaya pada sadar 🙂
pahe said:
saya juga ga jadi ikut motret kesana, takut mengganggu pelaksanaan ibadah yang sedang berlangsung… Semoga ke depan etika masyarakat negeri ini bisa lebih baik… ijin share mas artikelnya
sabrang said:
tambahan info aja, sebenarnya masuk borobudur bayarnya gak mahal kok, yang mahal bayar tiket masuk taman borobudur yang dikelola oleh swasta, namun kalo mau masuk ke candinya harus lewat taman tersebut. trus kemarin pas erupsi merapi candi borobudur butuh dana untuk rekontruksi, ternyata mereka meminta bantuan karena gak ada duit, sedangkan taman wisata candi borobudur setahun mendapatkan penghasilan sekitar 2T dari wisatawan yang masuk, jadi bisa kebayang betapa ironisnya kondisi tersebut.
trus yang kedua, saya sepakat bahwa prosesi waisak sekarang sudah seperti obyek wisata, sedih ngeliatnya, namun sebaiknya hal tersebut tidak terbaca sebagai “mereka/non budha” tidak toleran dengan agama budha, takutnya malah memperuncing keadaan dan terkesan berpandangan sempit penuh emosional.
rtaufiqq said:
Reblogged this on #tintak0p1 and commented:
tulisan yang mendalam. kemarin saya sempat diajak ikut ‘nonton lampion’ tapi saya menolak. prinsip saya sih, itu perayaan agama budha, dan dalam keyakinan saya tidak diperkenankan mengikuti upacara keagamaan agama lain. (tentu alasan ini tidak saya sampaikan pada mereka)
ini tentang peribadatan, sudah semestinya khusuk dan hening, bukan dengan riuh penonton atau kilatan cahaya kamera.
Lizz A. Harharah said:
Bagus sekali tulisannya, saya berharap informasi ini bisa disebarluaskan sehingga masyarakat tahu bahwa hal tersebut sangat mengganggu kekhusyuan ibadah dr ummat budha. Tapi di sisi lain, saya pun merasa perlu adanya ketegasan dari ummat budha itu sendiri (khususnya pemimpin2nya) untuk menentukan mana moment2 yg sekiranya bisa dijadikan liputan dan mana yg tertutup untuk umum. Mungkin bisa dilakukan koordinasi dgn aparat kepolisian untuk mensterilisasi lingkungan beberapa hari menjelang upacara dilakukan. Mudah2an tulisan ini membuat kita semua semakin bisa menghargai satu sama lainnya.
nova said:
terlepas apapun agamanya, saya pikir rakyat Indonesia sekarang memang mengalami degradasi moral yang parah. Tidak hanya dalam toleransi beragama, dalam keseharian pun kita jarang banget menemukan bangsa yang ramah seperti dulu kan? Indonesia sekarang terlalu egois, terlalu mementingkan diri sendiri dan golongan, yang lain bodo amat. Yuk berubah jadi Indonesia yang lebih baik mulai dari diri sendiri.
Nicko said:
Saya Buddha, dan saya dalam 2 tahun terakhir ini menjadi volunteer kegiatan Waisak di Borobudur. Pembatasan media dan fotografer sudah dilakukan oleh pihak panitia, kalo yang ngerti, dikasi tau sekali bisa kalo yang susah ya ribet, dikasih tau sekali malah batu. Apalagi perbandingan panitia dan pengunjung sudah seperti semut dan gajah.
Secara personal saya tidak keberatan acara Waisak ini dibuka untuk umum. Mungkin ini juga jadi salah satu cara untuk agama minoritas seperti kami memperkenalkan ajaran dan keberadaan agama kami. Bahkan agama kami pun menjelaskan kalau ajaran agama Buddha (disebut Dharma) itu tidak serta merta untuk agama Buddha saja, seseorang tidak harus menjadi Buddha untuk bisa mendengarkan, mendapatkan, bahkan menjalankan ajaran agama kami.
Yang menjadi permasalahan mungkin toleransi nya. Banyak yang ribut dan susah diatur saat acara ritual diadakan, mungkin kalau saat bagian prosesi itu tak mengapa tetapi saat ritual itu yang menjadi masalah. Saya tidak merujuk ke turis yang non Buddhist tetapi ada juga yang Buddhist melakukannya.
Salam
Sandra said:
Nah. Ini yang Buddhist sangat bijaksana sekali. Tidak “menuduh” kaum mayoritas (dalam contoh penulis, umat muslim). Tidak ada tendensi sama sekali bahkan pada komen mas Nicko ini.
Burnnot said:
Izin share ya…supaya jadi Bahan renungan Dan introspeksi…😊
Teezar said:
ekses from the power of socmed yg tidak dicerna dengan baik oleh masing2 individu
Yudha said:
Ya, itulah Indonesia. Negara yang KATANYA mempunyai toleransi yang bagus.
genthonk genthink said:
saya lebih setuju ketika kita memisahkan antara AGAMA dan WISATA, silahkan dijadikan tempat WISATA, namun saat sedang acara keagamaan ya udah TUTUP UNTUK UMUM, karena niat pendahulu kita membangun itu adalah untuk BERIBADAH, jadi harusnya pemerintah menjadikan hal tersebut sebagai peraturan yang BAKU, karena pemerintah ADA JAUH setelah adanya bangunan agama tersebut, jadi harusnya pemerintah menghargai niat awal dari pembangunan tempat ibadah tersebut. apapun itu. . .
saya pernah mengikuti prosesi agama HINDU saat KUNINGAN di bali, padahal saya ISLAM, dan bersyukur bahwa prosesinya sangadh sakral dan sangadh menyenangkan, karena saya mengikuti du PURA keluarga dan belum menjadi object wisata, semoga apa yang saya katakan ini tidak menyinggung banyak pihak dimanapun juga dan semoga tahun depan bisa lebih damai, dan terima kasih atas pengalamannya untuk saya
Erlan Dewani said:
Mengapa yang diambil perumpamaan adalah sholat Ied dan masjid? Pasti Islamkah mereka yang mengganggu…?!? Atau begitu bencikah penulis terhadap Islam. Sebagai orang Islam, saya tidak sudi menonton (baca mengikuti) prosesi keagamaan agama lain, agama apapun itu. Tolong jangan tendensius. Terimakasih.
Nadya Wijanarko said:
Tulisan yang menarik. Saya kalau wisata ke tempat yang berbau tempat ibadah seperti candi, saya selalu mewanti-wanti diri sendiri supaya jangan sampai ada perilaku yang membuat tidak berkenan. Diikuti saja aturannya meski bukan satu keyakinan (misalnya kalau ada aturan lagi menstruasi ga boleh masuk ya ga masuk). Bukan apa-apa, saya pun juga pasti akan marah kalau agama saya diremehkan. Btw, perilaku turis pada perayaan Waisak kemarin sepertinya memang memprihatinkan, ya? Ini salah satu “laporannya”: http://romansapena.wordpress.com/2013/05/26/traveler-sakit-jiwa-santosfedele/#comment-537. Semoga masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai perbedaan ke depannya.
ramma deka said:
Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata.
sepertinya penulis lupa, negara mana yang agama minoritas pun mendapat hari libur secara nasional, dan dapat diperingati dengan skala nasional.. penulis mungkin kurang melihat bagaimana prosesi perayaan hari sakral umat minoritas lainnya tidak se’riuh’ di borobudur dan ya, untuk terjaganya kekudusan prosesi umat lain tersebut, tidak ada nama mayoritas dibawa bawa..
kalau penulis bisa jeli melihat upacara perayaan agama lain yang ‘damai’, mungkin sebelum menyalahkan ‘mayoritas’ penulis bisa bertanya terlebih dahulu ‘siapa yang membukakan pintu’? saya setuju dengan salah satu tanggapan dalam artikel ini, biar saya kopikan : “Seandainya petinggi agama yg sdg ibadah itu merasa keberatan ibadahnya menjadi tontonan atau lahan komersil, kenapa tidak meminta kpd pejabat/pengelola/siapapun yg bisa mengambil keputusan untuk ditutup sementara apabila ada kegiatan ibadah?”
juga “Apakah para petinggi budha sdh mengajukan keberatannya kpd pihak berwenang? Dalam hal ini pihak pengelola/pemerintah setempat.
Kalau sudah, bagaimana tanggapannya? Apakah ada kalimat yang bisa ditafsirkan “kalian minoritas, nurut aja sama mayoritas”?”
tidak adanya kaki kaki yang berjejal di antara shaff sholat ied bukankah karena ummat islam tidak menjadikan sholat ied sebagai objek wisata ? saya jadi ingat, tentang perayaan malam takbiran dengan skala besar di tanah kelahiran saya, di timur indonesia.. di sana pawai obor saat takbiran tak hanya diikuti oleh umat islam, tapi juga umat ‘mayoritas’.. menurut saya malam takbiran itu sakral, tapi saya tidak buru buru teriak mayoritas intoleran demi melihat teman teman lain juga riuh dalam pawai obor, sebab menurut saya mereka tidak akan ikut jika tidak diberi izin..
masalah komersialisasi, dari hasil googlingan saya, di negara lain pun ada ‘komersialisasi waisak’ ini.. silahkan buka,
ini di sri lanka: http://www.islandescapeholidays.co.uk/The-Vesak-Festival
http://www.srilankainstyle.com/itineraries/vesak/
ini di thailand: http://siamairtours.com/templates/static/en/thailand/festivals.html#5.1
ini di myanmar: http://www.myanmartourism.org/festivals.htm
ini di tibet: http://www.himalayandreamz.com/home/trip/index/trp/56
ini di laos : http://voices.yahoo.com/laos-exotic-vacation-destination-65078.html
masalah minoritas mayoritas ? apa islam juga mau disalahkan jika mayoritasnya yang sedang ibadah sedang ibadahnya terbuka ?
saya minta maaf untuk perlakuan masyarakat yang tidak mengenakkan, tapi sekali lagi, masyarakat akan terbatas jika ada pembatas 🙂
saya pikir mungkin penulis hanya tidak suka pada orang yang tidak diharapkan ada pada waisak, dan salah jika penulis kemudian mengelompokkan dan menegakkan telunjuknya hanya pada ‘mayoritas’.. jika kita membuka toples gula, apakah kita hanya akan marah pada semut hitam?
bangjo said:
sangat setuju dengan anda, telusuri dulu semuanya lalu lakukan instropeksi.
khaa said:
walau bukan penulis.. ijinkan saya menjawab pertanyaan
“sepertinya penulis lupa, negara mana yang agama minoritas pun mendapat hari libur secara nasional, dan dapat diperingati dengan skala nasional..”
Eid al-Fitr
the obvious answers : Tunisia, Egypt, Nigeria, Bangladesh,Pakistan, Saudi Arabia, Afghanistan
1 Philippines
“Ramadan”, has been recognised by the Philippine Government as a regular holiday
2. China
Its a public holiday in China in certain regions. All residents in these areas, regardless of religion, are entitled to either a one-day or three-day official holiday. Outside the Muslim-majority regions, only Muslims are entitled to a one-day holiday
3. Canada, Australia, USA
allowing Muslims to take a day off for Eid al-Fitr.
4. Mauritius (16.6% population)
Eid is one of the island’s national holidays
Lunar New Year
1. China
2. Taiwan
3. Hong Kong
4. Singapore
5. Malaysia
6. Vietnam
7. Korea
8. Indonesia
maaf cuma dapet segini, udah mulai males dan mikir..jangan2 ini pertanyaan retoris yak? tapi intinya apa? Mau bilang Indonesia penuh toleransi keagamaan? Seriously? Berapa banyak kasus pelanggaran HAM terkait agama yang ada di media massa, yang kita baca dan tonton tiap hari? hanya karena itu tidak terjadi di depan mata kita, bukan berarti itu tidak ada.
Saya mengerti bila ada kekesalan mengenai permasalahan “mayoritas” dan “minoritas”. Kalau menurut saya sendiri, ini lebih mengenai manner/kelakuan pribadi, bukan urusan agama atau suku atau apalah. Ada umat “mayoritas” yang bisa bertoleransi, dan ada yang tidak. Sama halnya dengan para “minoritas”. Jadi memang tidak bisa menggeneralisasikan bahwa Agama X tidak tahu toleransi mentang2 mayoritas atau agama Y ga tau diri udah tau minoritas masih nuntut macem2.., udah bagus si Y dikasih hari libur nasional di negara gw. or something like that. NOPE, ini masalah pribadi seseorang, menghargai orang lain terlepas agama anda dan agama saya.
Dan tidak bisa disalahkan kepada pembatas dan penanggung jawab acara/ area, saya rasa kita bisa lebih pintar dari itu untuk menyingkapi masalah ini.
terakhir, maaf saya agak miris menanggapi komentar anda:
” jika kita membuka toples gula, apakah kita hanya akan marah pada semut hitam?”
karena, ehm, biasanya seh kita matiin semutnya, tapi kayaknya ga bisa di aplikasikan secara harafiah buat kasus ini…
ramma deka said:
Actually saya sedikit tersenyum melihat respon anda.. bagaimana bisa anda yang ‘udah malas’ kemudian bertanya banyak tentang kalimat saya? Hendaknya kita mengutamakan ketenangan berpikir sebelum beropini, bukan?
Sebaiknya inti kalimat anda yang ‘seharusnya bisa lebih pintar menyikapinya’ juga bisa diimplementasikan dalam mengomentari pendapat saya sehingga kalimat saya tidak dipotong hanya pada:
“sepertinya penulis lupa, negara mana yang agama minoritas pun mendapat hari libur secara nasional, dan dapat diperingati dengan skala nasional..”
Kalimat saya tidak berawal dan berakhir di situ. Biar saya kopikan utuh jika ingin melihat konteksnya :
“Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata.
sepertinya penulis lupa, negara mana yang agama minoritas pun mendapat hari libur secara nasional, dan dapat diperingati dengan skala nasional..”
kalimat saya yang kedua merupakan tanggapan atas kalimat sebelumnya.. saya jelaskan jika anda kurang paham, pada kalimat sebelumnya penulis artikel ini menganggap perayaan agama minoritas di Indonesia dikesampingkan, tidak dihormati, dan tidak dipandang nilai relijiusitasnya.. intinya dalam kalimat tersebut penulis mengatakan bahwa hari raya agama-agama minor tidak dihargai.. sehingga saya memberikan sedikit contoh bahwa di negara ini, untuk merayakan hari rayanya umat minoritas pun mendapatkan hari libur secara nasional dan bahkan dapat diperingati dengan skala nasional.. itu salah satu bukti bahwa perayaan agama minoritas tidak dipandang sebelah mata di sini.. semua dapat merayakan hari agungnya dengan skala besar maupun kecil, negara menjamin keamanannya.. saat perayaan natal misalnya, di samping perayaan nasionalnya, pusat perbelanjaan, hotel, pusat bisnis, acara televisi berubah meriah dengan suasana natal dan bahkan banyak pekerja muslim menggunakan topi santa..
saya tidak mengatakan Indonesia merupakan satu satunya Negara yang memberikan hari libur nasional untuk peringatan hari besar kaum minoritas, sehingga anda tidak perlu repot repot mengambil data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Eid_al-Fitr lalu kemudian mengatakan malas, saya memberi contoh bahwa negeri ini menghormati hak perayaan kaum minoritas dengan baik..
sebagai tambahan, sebenernya dari data itu yang benar benar ada libur Idul fitri dengan skala nasional hanya Filipina dan Mauritius bukan? Islam menjadi agama terbesar ketiga di Mauritius (16%, http://en.wikipedia.org/wiki/Demographics_of_Mauritius).. dan untuk agama minor berikutnya? Dari hasil pencarian saya tidak ada libur untuk umat Buddha yang mencapai 1-2% di sana pada bulan mei (cmiiw) (http://en.wikipedia.org/wiki/Culture_of_Mauritius, http://www.tourism-mauritius.mu/Plan/public-holidays.html)
sudah dapat inti yang ingin saya sampaikan? Jadi jernihlah berpikir, jangan sampai satu contoh kecil dari saya kemudian anda simpulkan ke hal besar lainnya yang sepintas nyambung.. contoh menghormati perayaan hari besar disambungkan dengan keutuhan toleransi keagamaan, sehingga anda tidak perlu repot repot mengingatkan pada saya tentang kasus pelanggaran ham terkait agama.. sempat terbaca komentar saya sebelumnya di mana saya lahir? Dari kecil hingga saya pindah ke Jakarta saya sudah kenyang dengan pelanggaran ham terkait agama saya yang tidak sampai ke kantor-kantor media di ibukota. Dan jujur itu tidak lantas membuat saya mengecap habis seluruh mayoritas di sana dengan gamblangnya..
terakhir, cobalah baca lagi analogi saya kemudian pikirkan kembali tentang kemirisan anda.. saya rasa kita bisa lebih pintar dari itu untuk menyikapinya 🙂
Kalla said:
menungso nek ndue otak nak yo iso mikir, ndi sing pantes ndi sing ra panes, ndi sing sopan ndi sing ra sopan, ngono ae kok repot. – positif lek mikir, urip namun pisan ibadah o sing kuat marang gusti ora gur padudon. sing welas asih, sing legawa, nonton awak e dewe pantes opo ora ojo nyalahne wong liyo. =)
Love Indonesia said:
Hem saya setuju disini untuk tidak kita mudah tersinggung dalam penggunaan contoh agama dan notabenenya disini pembacanya juga banyak kaum mayoritas yang disebutkan sebagai “contoh”. Sekali lagi untuk yang mudah tersinggung bahwa disini penekanannya adalah pada degradasi toleransi. Saya non-muslim dan saya akan mengamini juga bahwa yang datang ke acara waisak bahkan yang jadi tukang beringas foto bisa non muslim juga. Tapi yang saya tangkap adalah masalah degradasi toleransinya . Point pentingnya disitu dan ini merupakan kritik yang tidak hanya dialamatkan buat saudara muslim dan non muslim.Namun bagi semua .
Mungkin untuk penulis, satu dua kata penyebutan salah satu nama agama (*apalagi sebagai pembanding) sebaiknya dihindarkan. Tidak semua pembaca disini adalah orang yang benar2 dewasa dan paham dalam penyampaian maksud. Terima kasih
Michael Yohansa said:
Saya izin share tulisan anda. Sangat terkesan dengan curahan anda melalui tulisan ini.
Semoga pikiran orang yang membaca terbuka, dan tidak menganggap sebagai sindiran, tapi sebagai bahan instropeksi diri.
Salam. Tuhan memberkati kita.
adit said:
kalo kata tsnya dibanding bandingin sama solat ied?katanya kalo lagi solat ied di foto marah?kata siapa gan ts?coba liat aja tv tv kalo lagi lebaran pada nayangin solat ied live dari istiqlal.malah bagus dong itu dakwah gratis.heheheh
asdf said:
Seandainya borobudur dan candi2 tmpt peninggalan agama budha ditutup semua u/ umum, apa umat budha yakin bisa bayar perawatannya???.
Biaya perawatan situs2 itu sangat tinggi lho, bahkan setahu saya ada dana khusus dr pemerintah utk itu.
Tulisan ini sangat utopis
masbenx said:
orang pintar cari kebenaran..
orang tolol cari pembenaran..
silakan nilai sendiri komen komen di atas termasuk orang yang bagaimana..
totol2 said:
kalo yang ini komentar cari aman doang bisanya…meh
Indar said:
Ijin share ya. Thanks. Untung suamiku nggak ngasih ijin pergi. Kemarin diajak teman sih. Nggak tahu kalau sudah sampai sgt parahnya. Semoga ke depan ada perbaikan dr panitia.
Tyo said:
Saya jadi ingat waktu saya melangsungkan pernikahan:
1. Pernikahan kami jadi omongan dan dianggap tidak pantas karena tidak ada sungkeman di gereja. (Sudah dilakukan malam sebelumnya karena ayah saya kesal kalau pemberkatan nikah yang sakral berubah jadi syuting sinetron berurai air mata di tempat ibadah.)
2. Belakangan saya baru tahu kalau beberapa orang menyalahkan kami karena tidak pakai kue pengantin saat resepsi, karena menurut mereka hal itu wajib di upacara pernikahan Kristen (WHAT?!?!??!)
3. Pastor yang melayani pernikahan kami berkali2 mengingatkan fotografer untuk berada di luar area mimbar dan altar, tapi sering tidak digubris. (Pada pernikahan teman saya, fotografernya begitu bersemangat mengabadikan momen sungkeman yang mengharukan sampai menyenggol jatuh sebuah buket bunga. Dengan santainya mereka kabur dari TKP sehingga yang mendirikan buket itu kembali adalah dirigen paduan suara.)
Itulah, upacara keagamaan yang sakral diatur2 supaya memenuhi keinginan penonton. Bahkan penonton bisa menentukan apakah upacara itu sah atau menista agama, meskipun mereka tidak seagama dengan yang merayakan upacara.
Kalau saya yang agamanya relatif banyak penganutnya saja di sini dibegitukan, gimana teman2 yang agamanya lebih lebih sedikit umatnya?
Titus B Santoso said:
saya orang semarang juga risih dengan embel2 “wisata religi ” di semarang pada bangunan2 ibadah yang masih secara aktif digunakan. MAJT, Gereja Blenduk, Sampokong, Vihara, dst sekedar diekspos sebagai tempat wisata dan foto2. umat dari masing2 agama rasanya pasti juga terganggu dengan hal tersebut.
soal wisata jelas perlu dibedakan dan ditata ulang. apapun agamanya
adis said:
terimakasih atas tulisannya mbak! semoga bisa menjadi wake up call &bahan refleksi bagi pembaca, termasuk aku.
orang awam said:
Mereka tidak pernah di ajarkan untuk memaksakan sesuatu, bahkan sang Buddha tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti ajaran nya jika tidak membawa kebaikan (yang saya baca begitu), apa kah para pengikutnya perlu mengusir orang lewat peraturan bersama pemerintah(regulasi) demi melangsungkan sebuah acara/ritual saja?
mungkin beginilah penjelasan dari saya yang awam dan pengetahuan yg masih dangkal untuk menjawab kawan-kawan yang bertanya kenapa para pemuka Agama mereka tidak membuat peraturan dan melarang org yg tidak berkepentingan masuk, sederhana nya anda ingin datang datanglah, dan mengertilah tujuan anda dan orang lain datang kesitu.
irwan said:
masih bagus klo sekedar dijadikan obyek wisata,,tp mereka yg mayoritas di myanmar justrun mezhalimi,membunuh dan membantai minoritas,,lebih tidak beradab lagi…
must_lime said:
jgn membawa topik diluar konteks. diskusi yang cerdas bung. kalau mau bung bisa buat topik tentang itu lalu taruh link nya. biar yang minat yang dateng nanggepin….
siapa yang “lebih ngerti” soal myanmar pasti gk asal bunyi, semoga yang lain setuju dengan pendapat ane ^_^
yusri said:
ijin share ya, menarik artikelnya
sCRYed said:
Mungkin ga sih, kenapa sekian tahun belakangan ini waisak di borobudur jadi rame karena emang “dijual” ? Contohnya ya pass untuk fotografer, lampion yang dijual untuk umum, dlsb. Nah yang jual siapa? Siapa yang mengakomodir turisnya? Siapa yang nerima persenan uang yang dibelanjakan turis-turis tsb selama disitu?
Mungkin yang salah bukan turisnya. Turisnya datang karena mereka boleh datang kesitu, mereka diakomodir buat menghabiskan uang mereka disitu 🙂
Mungkin bisa dilihat, dari siapa yang dapat untuk dari “menjual” waisak di borobudur. Pemerintah setempat? Atau panitianya mungkin? 😀
Mungkin lho ya. Mungkin
haraluas said:
Bagus tulisannya. Intinya pemeluk agama di negara ini cuma butuh satu hal simpel yaitu toleransi. Semakin kecil suatu kelompok atau perorangan, semakin besar level toleransi yang kita butuhkan.
Adi Netto Kristanto said:
Saya sangat setuju dengan tulisan ini… Sungguh mengerikan jika suatu saat kelak untuk masuk gereja, vihara, pura dan klenteng harus membayar!
Agustinus Wibowo (@avgustin88) said:
Mbak Ary, terima kasih banyak untuk tulisan kritik sekaligus otokritik ini. Tulisan ini juga telah membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap komersialisasi ritual religius, khususnya ritual yang dilabeli “eksotis”.
Sebagai orang yang merasakan sendiri rasanya hidup sebagai minoritas, saya merasa isu ini tidak perlu dibawa ke ranah mayoritas versus minoritas. Kesadaran adalah masalah personal. Saya justru memandang antusiasme pengunjung Indonesia ke Borobudur pada acara Waisak adalah hal yang positif. Ini adalah kesempatan bagi berbagai umat beragama untuk mengenal ritual Buddhisme, dan dari perkenalan itulah akan berawal pemahaman, penghormatan, toleransi, keharmonisan. Saya sangat jarang menjumpai antusiasme seperti ini di negara-negara lain, di mana warga dari berbagai latar belakang agama tertarik untuk menghadiri dan belajar dari tradisi agama lain. Semuanya itu perlu proses, dan toleransi itu tercipta secara bertahap. Justru saya tidak setuju jika menutup rapat-rapat candi Borobudur pada Waisak, karena ekslusivitas tidak akan menciptakan toleransi, justru memperuncing kesalahpahaman dan memperkukuh garis batas.
Mungkin yang perlu dibenahi adalah pelaksanaannya. Perlu ada zona khusus pengunjung dan peziarah, dan memang perlu dibatasi jumlah pengunjung atau media sehingga tidak sampai mengganggu prosesi.
Sedikit masukan. Semoga semua makhluk berbahagia.
Lonesome Cowboy said:
Sekilas, seperti teman-teman di atas gue menganggap post ini bagus sekali 🙂
Tapi setelah dibaca-baca lagi.. Kok agak2 goblok ya? 😀
Poin 1:
“Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.
Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.”
Ini artinya panitia waisak di borobudur ga becus ngurusin wisatawan yang mereka terima masuk? Ga bisa menginformasikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wisatawan selama prosesi dong? Tentunya ngga ada hubungannya dengan agama mana yg mayoritas dan minoritas kan ya? Hehe
Poin 2:
“Permasalahnnya mungkin, di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi. ”
Ini juga. Kalau ini masalah komersil atau tidak komersilnya sebuah ritual agama, kenapa mesti dipasangi label mayoritas? Kalo umpama karena penganutnya sedikit, maka dari itu unik dlsb, kepikir ngga, shalat ied itu dilakukan di lapangan, terminal, mesjid dlsb, sedangkan waisak yg anda kutip ini dilaksanakan di tempat wisata yang terkenal di semua sudut penjuru dunia. Coba bandingin sama let say shalat ied di Mekkah, dimana agama tersebut disono mayoritas (tapi tetap diliput) apakah sama ngga tertibnya? Nope! Orang arab sono tahu bagaimana cara mengurus ritual mereka. Jadi kalimat “tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi” ga make sense, karena pada dasarnya tidak ada “oknum” yang mensahkan atau tidak mensahkan. Sekarang, siapa yang mengizinkan wisatawan masuk borobudur ketika prosesi waisak? Dan tentunya, ini ga ada hubungannya dengan penganut agama A minoritas atau bukan 😛
Poin 3:
“Tak bakalan ada yang protes. Kalau protes pun, yang mencicit hanya satu dua mulut, tak ada artinya dibanding jutaan mulut”
Kalo ngga ada yang protes salah siapa? Salah yang ngga protes dong! 😛 Lalu emang ada jutaan mulut yang mendukung komersialisasi waisak? Kalau ngga ada, cicit satu dua mulut itu dibandingkan dengan apa? Bikin kalimat kok yang ga ada isinya gini.
Never attribute to malice that which is adequately explained by stupidity. Sebelum koar2 ga konsisten gini, mungkin ada baiknya ngaca, jangan2 emang ga bisa ng
Lonesome Cowboy said:
Sekilas, seperti teman-teman di atas gue menganggap post ini bagus sekali 🙂
Tapi setelah dibaca-baca lagi.. Kok agak2 goblok ya? 😀
Poin 1:
“Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.
Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.”
Ini artinya panitia waisak di borobudur ga becus ngurusin wisatawan yang mereka terima masuk? Ga bisa menginformasikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wisatawan selama prosesi dong? Tentunya ngga ada hubungannya dengan agama mana yg mayoritas dan minoritas kan ya? Hehe
Poin 2:
“Permasalahnnya mungkin, di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi. ”
Ini juga. Kalau ini masalah komersil atau tidak komersilnya sebuah ritual agama, kenapa mesti dipasangi label mayoritas? Kalo umpama karena penganutnya sedikit, maka dari itu unik dlsb, kepikir ngga, shalat ied itu dilakukan di lapangan, terminal, mesjid dlsb, sedangkan waisak yg anda kutip ini dilaksanakan di tempat wisata yang terkenal di semua sudut penjuru dunia. Coba bandingin sama let say shalat ied di Mekkah, dimana agama tersebut disono mayoritas (tapi tetap diliput) apakah sama ngga tertibnya? Nope! Orang arab sono tahu bagaimana cara mengurus ritual mereka. Jadi kalimat “tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi” ga make sense, karena pada dasarnya tidak ada “oknum” yang mensahkan atau tidak mensahkan. Sekarang, siapa yang mengizinkan wisatawan masuk borobudur ketika prosesi waisak? Dan tentunya, ini ga ada hubungannya dengan penganut agama A minoritas atau bukan 😛
Poin 3:
“Tak bakalan ada yang protes. Kalau protes pun, yang mencicit hanya satu dua mulut, tak ada artinya dibanding jutaan mulut”
Kalo ngga ada yang protes salah siapa? Salah yang ngga protes dong! 😛 Lalu emang ada jutaan mulut yang mendukung komersialisasi waisak? Kalau ngga ada, cicit satu dua mulut itu dibandingkan dengan apa? Bikin kalimat kok yang ga ada isinya gini.
Never attribute to malice that which is adequately explained by stupidity. Sebelum koar2 ga konsisten gini, mungkin ada baiknya ngaca, jangan2 emang ga bisa ngurusnya, jangan2 emang ada yg seneng duitnya 😛
rasarab said:
koe ki ngonomong opo mas mas :)))))
olive said:
nice article 🙂
Saya yakin, 99,9% pembaca artikel ini, pejabat pemerintah, aparat keamanan, pemburu foto maupun para pengunjung non-Buddhist yg memadati Borobudur adalah warga masyarakat yang pernah mengenyam pendidikan dasar.
Bukankah di pendidikan dasar sudah diajarkan dan ditanamkan nilai2 toleransi antar-umat-beragama.?? Coba jujur, siapa yg tdk pernah mendapatkan mata pelajaran PPKn atau Pendidikan Kewarganegaraan atau PKnS atau jaman duluuuuu (jaman Mama-Papa ku sekolah) dikenal dgn PMP.?? Saya yakin, kita semua mendapat nilai yg cukup baik untuk mata pelajaran ini. Tapi, kemana “menguap”nya semua pendidikan dasar yg sudah ditanamkan sejak kita masih kecil.??
Terlihat sederhana, tapi ini salah satu realita bahwa banyak nilai2 berharga dari pelajaran itu yang belum direalisasikan dlm kehidupan nyata manusia.
Tulisan di artikel ini bisa kita jadikan cermin dan intropeksi diri kita masing2 untuk mengingat-ingat kembali nilai2 yg sudah ditanamkan untuk saatnya kita aplikasikan dlm kehidupan sehari2.
PS. Saya bukan Buddhist, jd tidak ada tendency pada salah satu pihak. Saya hanya ingin mengajak kita semua lebih membuka mata dan mata-hati.
Salam Damai
puji said:
Saya bukan penganut agama Budha, tapi jujur saya sangat prihatin baca tulisan ini. Sungguh akan sangat bijak jika kedepannya pemerintah mau mengatur dan menata kembali sehingga kekhusyukkan ibadah dapat terwujud. Tulisan yg bagus mbak, semoga tulisan kecil ini berdampak besar, amin.
anak orang kaya said:
media jg bayar kalo mw ngeliput solat ied
Pingback: Vesak Day | Silver Lining | My life is a journey
shugoshin said:
How is it that one’s failure to manage their business become the burden of others. And the post author even managed to insert one or two dirty, unnecessary, and unrelated comments about being a minority. Grow up, stop crying, no one likes crybabies
el said:
Dear Mbak
Terima kasih tulisannya, ini tepat sekali dengan apa yang saya pikirkan. Kebetulan saya adalah volunteer waisak kemarin. Dan betul itu yang saya rasakan. Bagi saya perayaan ini sakral, penuh nilai spiritualitas. Saya tidak masalah melihat begitu banyak teman-teman yang datang dengan antusiasmenya ingin mengetahui apa sih Waisak itu. Malah sebagai umat Buddhis kami ucapkan terima kasih atas tempat di hati bangsa ini. Namun memang sulit sekali memberikan pengertian kepada banyak orang yang datang dengan tujuan berbeda entah wisata atau ingin tau atau hanya foto atu apapun itu.
Bagi saya, saya merasa sangat terluka ketika altar utama, tempat para Guru kami akan merasakan ibadah diinjak2. ataupun ketika diminta pengertiannya, saya malah dibentak “saya ke sini utnuk dapat foto yang bagus untuk berita mbak” – jawaban saya hanya: ” Dan saya di sini untuk ibadah dan membantu tetap terjaganya kegiatan spiritual kami pak- tolong dihormati” hasilnya? Tetap tidak mau tahu. 🙂
Tapi memang tidak semua. Bahkan ada yang memberi saya semangat. Ada yang mengucapkan selamat hari Waisak, ada yang minta izin takut mengganggu. Apapun itu, saya ucapkan terima kasih 🙂
Semoga semua makhluk hidup berbagia
Anitadiah said:
Reblogged this on My Short and Full of Life Life.
zuho said:
. hehehe bagus mbak tulisan nya. . . 🙂
. yang mbak tulis mengungkapkan apa yg terjadi di TKP soalnya kemaren juga lihat, tapi sayang lampion nya g jadi di terbangkan. . huhuhu
Ijin share ya mba .. 🙂
dodiheru said:
boleh saya minta ijin untuk reblog?
anonim said:
saya umat muslim, dalam ajaran Islam itu sebenarnya dilarang keras bagi umat muslim untuk menghadiri, melihat/ menyaksikan bahkan memotret kegiatan ritual agama lain, so mungkin yang anda lihat itu orang2 yg bukan umat muslim atau orang2 yang tidak tahu mengenai aqidah islam.
peter lase said:
terima kasih atas share perasaan dari penulis
saya sangat setuju dengan “seharusnya warga non-Budhis tdk mengganggu perayaan agama yg sakral dari warga Budhis (waisak)
tetapi disisi lain kita memang harus mengakui bahwa tipikal orang indonesia memang senang mementingkan keinginan sendiri,dalam hal ini saya setuju seharusnya para wisatawan(fotografer) intropeksi diri dan tidak melakukan lagi hal” yg dapat mengganggu acara waisak tsb….
Tetapi melihat “tipikal” org Id yg seperti itu seharusnya teman” Budhis juga harus dengan TEGAS melarang adanya komersialisasi kegiatan keagamaan.. dalam hal ini seharusnya panitia benar” menutup untuk umum kawasan candi Mendut-Borobudur selama perayaan waisak agar para wisatawan itu tidak mengganggu lagi….
yg saya tangkap selama ini malah panitia yg terkesan mengkomersialisasi (cmiiw) dan tidak ada tindakan tegas dari teman” Budhis (jangan” untuk teman” budhis tidak merasa terganggu)
tetapi lebih daripada itu sudaj seharusnya memang warga Id sadar dengan toleransi walaupun tidak ada larangan.
salam
Peter lase
mr said:
tolerasi beragama dan sifat menghargai keberagaman, yahh cuman sebatas angan angan saja,
adventureofmyself said:
tulisan yang bagus sekali kak. mungkin nanti perlu ada kuota khusus untuk acara seperti ini. dan juga spot tertentu untuk wisatawan yang menghadiri. karena sesungguhnya ini merupakan ibadah bagi umat Budha.
fahrudin said:
ijin share…
rivaldo said:
Share bagus tapi sayang tidak berdasarkan fakta di lapangan,sudah bertanyakah ke WALUBI..setahu saya mereka yang mengundang unutk pendanaan, saya iri dengan teman2 minoritas di Indonesia..sungguh umat Islam di indonesia sangat terlalu lembut dan santun..bagaimana tidak gereja tumbuh 59% sedangkan masjid hanya 49%..luarbiasa..umat buddha bisa berdoa dengan tenang tapi umat islam di rohingya yang minoritas,rumah dibakar,diusir..anak2 dibunuh, wanita diperkosa beramai-ramai,jika terjadi di indonesia bagaimanakah umat islam wanita?,sanggupkah kalian hidup dikejar2 untuk diperkosa..sungguh bersyukur umat minoritas yang hidup di indonesia..
beginilah indonesia
sonya said:
Maaf, tapi saya sakit hati membaca komentar anda ini. Saya adalah seorang umat Buddhis dan etnis Chinese. Memang pada kerusuhan Mei 1998 banyak rumah milik kami dwarga etnis Tionghoa yang dibakar. Banyak dari kami yang dirampok. apakah kami harus mengatakan ini adalah kerusuhan Agama. Penindasan terhadap kami yang berasal dari Agama minoritas? Kami menganggapnya sebagai kerusuhan etnis. Kami juga berusaha melupakannya , memaklumi dan memafkan serta melanjutkan hidup. yang kami harapkan hanya satu , yaitu semoga untuk ke depannya toleransi antar masyarakat makin kuat. jangan hanya melihat yang jauh di negeri orang saja. ucapan anda sudah melukai hati warga bangsa Anda sendiri.
non bee said:
Tulisan yang cerdas, 🙂 buat saya sih, kenapa harus jauh-jauh lihat ke negeri orang. cukuplah kita sendiri. kenapa harus mencari “pembanding” yang jauh lebih “parah” jika hanya untuk “pembenaran” ini TOLERASI, silahkan mengkoreksi diri masing-masing, toh dalam setiap pemikiran pasti ada yang pro dan kontra kan ? masnya, mbaknya, saya sama sekali tidak melihat “SARA” ataupun hal menyudutkan dalam tulisan ini, saya hanya melihat, kita (in this case non-buhist) diminta untuk berusaha melihat hal ini sebagai pembelajaran. berapa lama sih kita di Indonesia,. ??? NYATANYA kan emang teriakan “orang kecil” “mayoritas” itu jarang didengar bahkan terkesan tidak dipedulikan. 🙂 berapa sih dari kita yang pake logika dan menilai hanya dari segi subjektivitas?
Ticka Chelov said:
wah mbak makasih loh buat infonya,ini bener2 jadi ngebuka cakrawala berfikir aku..
padahal ini baruuu aja aku ngerencanain sama sepupu aku tahun depan pengen ikut ngeliat dan ngerasain gimana prosesi Waisak di Borobudur,, ;’)
jadi mikir lagii,,kalo aku yang natalan trus di “gangguin” sama fotografer dadakan pasti ibadahnya jadi gak khusyuk..
ijin share yaah mbak.
Selamat Waisak utk umat Buddha, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Rio said:
Banyaknya keberadaan WTS sangat mengganggu prosesi ini, tp jangan salah, WTS yg ini adalah Wartawan Tanpa SuratKabar… wkwkwk
niwadesu said:
ya ampun sedih sekali, prosesi agama jadi tontonan begini 😦
jadi teringat beberapa teman yang juru potret beberapa hari lalu berbincang heboh ingin memotret prosesi waisak..
Pingback: Beberapa catatan dan berita tentang perayaan Waisak di Candi Borobudur | Konspirasi Logika
adrianto wong semarang said:
Semasa tahun 1980an ampe 1990an kalo ada acara waisak itu borobudur ditutup untuk umum.. karena waktu itu ada rencana wisata sekolah (SD) dan tidak jadi atau diundur ke hari yang tidak ada perayaan sama sekali dan orang-orang yang jualan (souvenir) disekitaran borobudur juga libur.
Melihat ada teman-teman datang pada saat hari waisak saya jadi terkejut nah lo.. sekarang sudah berubah. Kalo itu yang foto atau mengambil gambar adalah umat budha sendiri sebagai dokumentasi acara tidak masalah tp kalo orang2 yang tidak berkepentingan dengan ibadah itu sepertinya sangat mengganggu dan tidak bertoleransi.
Kalo itu dari lembaga WALUBI memberikan izin.. semakin aneh orang2 di indonesia..
pipi said:
artikel yang mba buat ini mungkin bisa jadi bahan introspeksi buat semua…
intinya kita sebagai umat beragama harusnya bisa menjaga toleransi.. bukannya ada semboyan bhineka tunggal ika.. di bagi yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah dasar pasti tahu dan mendapatkan itu dari pelajaran PPKN..
saya muslim dan sangat prihatin dengan kondisi yang ditulis penulis…
hanya saja dari komen2 diatas ada yang menanggapi positif dan negatif…
seharusnya dari pihak pemerintah, masyarakat, dan diri kita sendiri untuk memberikan ruang pada tiap2 agama untuk menjalankan kewajiban mereka,,
saya tidak pernah juga menganggap sebuah agama, kaum , suku dan lain2 sebagai pihak minoritas atau mayoritas.. bagi saya semua sama, saudara yang harus di kasihi, sayangi, hormati, dan tentunya semua agama juga ngajarin gitu…
dari tulisan ini harusnya kita mengubah mindset kita.. jika hanya untuk narsis, pasang foto di facebuk buat dpt like [damn this person], yang harus ditekankan sekarang toleransi… please hargai. dewasa…
dan buat para fotografer abal-abal “BUKAN HANYA KARENA KALIAN PUNYA KAMERA LANTAS KALIAN BISA DISEBUT PHOTOGRAPHER” kalian itu hanya bahan lellucon…hahaha
buat pemerintah atau panitia bahkan warga harusnya ikut berembug kalo ada acara seperti ini,, diskusikan, dengarkan apa yang diminta umat mereka… kalau mereka ingin khusuk beribadah berikan ruang khusus buat ibadah mereka dan ruang khusus buat bagi pengunjung yang ining melihat jauh dari lokasi ibadah…terus aparatnya di tambahin buat antu lalulintas , pengamanan juga.. kasian loo kalo dikit mereka juga kewalahan..
mungkin ada solusi dikit.. jadi pengunjung yang mau ibadah disediakan pintu khusus buat masuk beda dari wisatawan,, atau dengan nunjukin ktp… kan ada tuh data agamanya..
[tapi mesti ada yang bilang ribet ahhh… biasa mah komen begitu]
nah pengunjung yang mau liat lampion mah dari jauh aja… kan terbang tuh lampion?? keliatan kan…
saya cuma mikir… apa karena sekarang banyak acara ababil… apa anak2 sekarang juga pada ababil juga.. mungkin kembali ke diri masing masing… perbaiki kualitas diri dan dewasalah..
yang jelas…
1. kita harus toleransi , kita beragama lho..
2. pikiran orang itu beda, cuma bagemana ngubah mindset orang2 biar positif
3. kadang orang g luput dr salah
4. jangan gumunan deh… penasaran akut haha
5. pikirin kalo di sisi itu kita.
6. bhineka tunggal ika… damai gan.. jangan kisruh.. jangan adu mulut.. tar jadi perpecahan… pecah itu g asik,,, banyak yang rugi..
7. saya suka semua orang 😀
kokowi said:
wah jadi ribut tentang agama mayor dan minor.
klo dilihat dari permasalahannya, sebenarnya bukan minoritas atau mayoritas tapi tentang komersialisasi tempat ibadah, karena tempat ibadah yang terkomersil menyebabkan secara tidak langsung pemaknaan sebagai tempat yang sakral menjadi berkurang berubah menjadi sebuah situs biasa atau sekedar situs budaya tanpa ada maknanya. mngkin klo ditanya apa itu candi borobudur banyak yang bilang peninggalan zaman dahulu yang terbuat dari batu dan mengenyampingkan fungsinya sebagai tempat yang sakral. semua tempat ibadah dari agama apapun akan menjadi seperti itu apabila terkomersil. kemudian masalah selanjutnya hanyalah pemahaman individual setiap orang terhadap agama lain, karena sering ada unsur agama yang dimasukkan dalam budaya dan mengakar sehingga tidak tahu bahwa itu hanyalah bagian dari kebudayaan yang tersisipi ajaran agama akibatnya sebaliknya seperti kejadiaan ini ritual agama yang sakral menjadi seperti budya masyrakat dan objek tontonan.
kita bangsa yang besar, dan heterogen wajar apabila ada perdebatan, tp jgn sampai menimbulkan perpecahan dan menjadi ajang provokasi oknum2 tertentu.
safik said:
untuk tujuan penulis saya juga sama prihatin dengan kondisi masyarakat yg mulai kehilangan batas, tapi karena sy juga muslim spt contoh ditulisan mungkin sy akan berpendapat demikian, jika semisal terjadi hal yg dicontohkan maka kami tdk akan marah atau melekukan tindakan karena saat sholat urusan kita sama Tuhan saja, terserah anda mau ngapain itu hak dan urusan anda, andai kt ada orang naik mimbar dan memukul kentongan dimasjid jg tdk masalah, karena yg bisa melekukan ya petugas, dan bila ada malah akan jadi tontonan dan paling hanya dinasehati saja…jadi di Agama kami tdk ada masalah spt contoh TULISAN INI.
Hamba Tuhan said:
Tulisan bagus tapi menurut saya tidak kongkrit. Ini kebanyakan sifat dari kita orang indonesia. Anda merujuk ke siapa ini tulisan? Kalo mastarakat hanya mengikuti jalan main, sampai menunggu pun masyarakat sudah disesiakan tempat, jam tutup candi pun di indahkan dengan mengosongi candi saat upacara akan berlangsung. Saya rasa jika anda berharap panitia dari acara waisak ini ug jadi sorotan tulisan anda, ini ga akan mengena, karna anda menyorot perilaku masyarakatnya. Saya selaku masyarakat yg baru pulang dari borobudur, melihat tulisan ini kok jadi provikatif, jangan membanding2kan kalau tidak bisa membandingkan ya. Ini bahaya. Panitia meminta sumbangan 100 ribu dari masyarakt umum untuk lampion yg akan dilepaskan diakhir upacara. Nah bagaimana tidak prosesi begini mengundang ribuan orang? Panitia menyediakan 1000 lebih lanpion, bebas bagi siapa saja yg membeli, artinya apa? Panitia mengharapkan minimal 1000 orang datang ke borobudur? Diaturkah pelaksanaannya? Tidak!
Saya tidak abis pikir, kenapa bisa anda bandingkan dengan prosesi agam lain yg helas2 tidak ada penarikan massa. Anda benar2 sudah melakukan semacam provokaso dengan membandingkan massa. Tolong buka lebar pemikiran anda sebelum membuat tulisan yg memprovikasi. Anda hanya memperuncing suasana yg menyatakan bahwa negara kita negara premanisme, yg banyak yg berkuasa. Sungguh miris saya membaca tulisan anda.
Ninda said:
tulisannya bagus sekali kak 🙂
semoga di perayaan Waisak di waktu-waktu selanjutnya, para media mau bekerja sama dan masyarakat juga mau lebih toleransi pada kami yang sedang merayakan, supaya suasana lebih sakral dan tenang serta seluruh proses berjalan dengan lancar 🙂
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia
Pingback: Dari Tukang Foto ke Tukang Foto (jilid II) | Dodi Heru
Inge said:
Iki kemarin kujempolin tapi lupa baca 😛
ternyata ‘rame’ lapakmu, mbak =))=))
rhestip said:
Sebagai umat muslim,saya sangat prihatin dng adanya tulisan ini.perayaan suatu agama tertentu harusnya memiliki suatu kesakralan,tanpa diiringi dng embel2 komersial.saya saja yg membaca tulisan ini sangat tdk nyaman apalagi teman yg merayakannya.sudah seharusnya,perayaan waisak bagi umat buddha di candi borobudur tertutup bagi khalayak umum.
bebas said:
contohnya coba dibuka:
Anak Kalibata said:
Ironis ya lihat fotonya. Sejujurnya kmrn saya datang dan memang sangat tidak manusiawi. Walaupun saya hanya melihat dari kejauhan, tapi memang terlihat altar yg penuh dgn manusia pegang kameran dan smartphone nya hanya utk koleksi pribadi atau update instagram/path/facebook/twitter. Bahkan dapat dilihat dari gmbr tersebut, wanita di sbelah kanan yg memakai celana pendek dengan santainya berada diatas tempat yg lebih tinggi dari bikkhu nya. Ironis skali.
Aree said:
Reblogged this on Counting Down.
Mishbahul Munir Poetrafoto Photography said:
wah waaah… kian parah saja nih. tidak ada hormat sama sekali. hemmm…
Boneka Lilin said:
Saya akui tulisannya bagus, tapi kemudian mulai bermunculan kalimat-kalimat yang “mengusik”. Dari sekian banyak kolom koment yang saya scroll, mayoritas memuji-muji, lalu saya berpikir mungkin saya yang kelewat sensitif (walau batin menolak, halah). Dan semakin ke bawah, ternyata banyak juga yang merasa “terusik” seperti saya. Ada yang meyampaikan secara frontal, blak-blakan, sopan, dlsb. Tapi yang paling saya suka adalah koment berikut ini, analoginya keren dan tidak terkesan sekadar penggambaran dari reaksi sensitif.
ramma deka on May 26, 2013 at 12:49 pm said:
Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata.
sepertinya penulis lupa, negara mana yang agama minoritas pun mendapat hari libur secara nasional, dan dapat diperingati dengan skala nasional.. penulis mungkin kurang melihat bagaimana prosesi perayaan hari sakral umat minoritas lainnya tidak se’riuh’ di borobudur dan ya, untuk terjaganya kekudusan prosesi umat lain tersebut, tidak ada nama mayoritas dibawa bawa..
kalau penulis bisa jeli melihat upacara perayaan agama lain yang ‘damai’, mungkin sebelum menyalahkan ‘mayoritas’ penulis bisa bertanya terlebih dahulu ‘siapa yang membukakan pintu’? saya setuju dengan salah satu tanggapan dalam artikel ini, biar saya kopikan : “Seandainya petinggi agama yg sdg ibadah itu merasa keberatan ibadahnya menjadi tontonan atau lahan komersil, kenapa tidak meminta kpd pejabat/pengelola/siapapun yg bisa mengambil keputusan untuk ditutup sementara apabila ada kegiatan ibadah?”
juga “Apakah para petinggi budha sdh mengajukan keberatannya kpd pihak berwenang? Dalam hal ini pihak pengelola/pemerintah setempat.
Kalau sudah, bagaimana tanggapannya? Apakah ada kalimat yang bisa ditafsirkan “kalian minoritas, nurut aja sama mayoritas”?”
tidak adanya kaki kaki yang berjejal di antara shaff sholat ied bukankah karena ummat islam tidak menjadikan sholat ied sebagai objek wisata ? saya jadi ingat, tentang perayaan malam takbiran dengan skala besar di tanah kelahiran saya, di timur indonesia.. di sana pawai obor saat takbiran tak hanya diikuti oleh umat islam, tapi juga umat ‘mayoritas’.. menurut saya malam takbiran itu sakral, tapi saya tidak buru buru teriak mayoritas intoleran demi melihat teman teman lain juga riuh dalam pawai obor, sebab menurut saya mereka tidak akan ikut jika tidak diberi izin..
masalah komersialisasi, dari hasil googlingan saya, di negara lain pun ada ‘komersialisasi waisak’ ini.. silahkan buka,
ini di sri lanka: http://www.islandescapeholidays.co.uk/The-Vesak-Festival
http://www.srilankainstyle.com/itineraries/vesak/
ini di thailand: http://siamairtours.com/templates/static/en/thailand/festivals.html#5.1
ini di myanmar: http://www.myanmartourism.org/festivals.htm
ini di tibet: http://www.himalayandreamz.com/home/trip/index/trp/56
ini di laos : http://voices.yahoo.com/laos-exotic-vacation-destination-65078.html
masalah minoritas mayoritas ? apa islam juga mau disalahkan jika mayoritasnya yang sedang ibadah sedang ibadahnya terbuka ?
saya minta maaf untuk perlakuan masyarakat yang tidak mengenakkan, tapi sekali lagi, masyarakat akan terbatas jika ada pembatas 🙂
saya pikir mungkin penulis hanya tidak suka pada orang yang tidak diharapkan ada pada waisak, dan salah jika penulis kemudian mengelompokkan dan menegakkan telunjuknya hanya pada ‘mayoritas’.. jika kita membuka toples gula, apakah kita hanya akan marah pada semut hitam?
kokowi said:
yup, saya pikir ini juga masalah komersialisasi tempat ibadah dan perayaan hari2 besar yang menurut beberapa oknum mampu mendatangkan devisa karena dianggap unik tanpa melihat nilai kesakralanya.
rana said:
nice article, mbak 🙂
saya tertarik dg toleransi disini.
sekedar sharing saja, beberapa tahun ini saya sering menjadi panitia dokumentasi perayaan hari besar di gereja. setiap misa digelar pasti ada tim dokumentasi disitu yg bertugas mengabadikan momen2 yg terjadi. adanya tim dokumentasi kadang menjadi sorotan bagi umat yg ikut misa. biasanya yg dikeluhkan adalah blitz dan suara shutter yg mengganggu fokus dr ibadah tsb. selain itu, para tukang foto jg pasti mondar mandir yg mana membuat fokus umat terpecah.
nah disini, kesakralan&kekusyukan bersinggungan dengan momen. tukang foto pasri ngejar momen, umat pasti cari kekusyukan dalam doa. toleransi memang sangat penting kalau kedua hal tsb sama2 ingin dicapai. tp yg terpenting sih harus tau situasi. ada yg diutamakan, ada yg dikalahkan. dan tau tentang fokus perhatian dan tujuan acara tsb dibuat itu penting.
Anak Kalibata said:
Mbak2 & Mas2, mohon maaf sebelumnya, kenapa jadi pada ribet sama contoh mayoritas dan minoritas atau agama islam, buddha, kristen dsb? Penulis hanya menuangkan isi pikiran dan renungannya, wajar apabila kita bisa merasakan ada emosi di dalam tulisan ini. Emosi tidak selalu bersifat negatif, tetapi juga bisa positif. Dan skali lagi, ini adalah buah pemikiran dan pendapat seseorang. Kalau memang tidak suka dgn tulisannya silahkan tutup artikel ini, jgn malah meninggalkan komen yg defensif ataupun ofensif.
Ada baiknya kita belajar menghargai org lain, contohnya dgn menghargai penulis artikel ini. Apabila ada satu dua hal yg kurang berkenan menurut saya adalah hal yg wajar karena dalam segala hal selalu ada pro kontra.
Berpikir cerdaslah, jgn terbawa emosi dan terhasut pendapat org lain, karena hal itu hanya akan membuat kita terlihat bodoh.
Sekali lagi, perang komen tdk ada gunanya. Kalau tidak suka, silahkan buat blog dan tulis artikel anda sendiri, dan tuangkan isi pikiran anda dalam tulisan tsb.
Wassalam.
Silk Stalker said:
Karena kata mayoritas dan minoritas dalam kasus ini tidak relevan. Hak umat budha menjalankan ibadah di borobudur terganggu bukan karena mereka minoritas, tapi karena panitia perayaan di sana NGGA BECUS ngurusin pengunjung yang datang.
Apa banyak turis kesitu karena mereka minoritas? Ngga! Acara waisak di borobudur DIJUAL di berbagai travel & tour agents
Ini bukan masalah toleransi, ini masalah panitia waisak di borobudur pengen cari untung tapi ga mau melakukan kewajiban mereka.
Wayan Budi said:
Setuju sekali, belajarlah menghargai pendapat orang lain, tidak perlu sensitif. Sampaikan ketidaksukaan pembaca dengan cara yang santun krn itupun menunjukkan bahwa Anda orang yang beragama. Tak satupun Agama membenarkan emosi tanpa dasar ketika komunikasi masih bisa diutamakan karena itulah kedewasaan berpikir Anda.
Janice Hertania (@janicehert) said:
Saya sungguh terkesan dengan tulisan mbak.
Ibu saya seorang Budhis, dia begitu sedih tau cerita kayak ini. dia bilang kalau Borobudur memang ibarat tempat ziarah yang suci dan sakral bagi umat Budhis, dia pun ingin sekali bisa merasakan Waisak disana, tapi sangat disayangkan ketika orang yang punya kesempatan untuk kesana malah membuat ‘rusuh’. semoga siapapun yang membaca artikel ini bisa lebih menghormati dan menahan diri bila sedang berada di tempat2 ziarah lainnya.:)
wahyu said:
Kenapa musti agama islam?!iri ya????????kasian.
puteri said:
komentar anda tidak dewasa dan tidak membangun
dya said:
komen gak mutu..
Alexandra Tafira said:
Nah ini contohnya orang Indonesia yg gampang terprovokasi sama isu SARA dan tidak bisa mengungkapkan pemikirannya dengan logis dan sistematis. Kasian teriak kasian
Ellen S. Kusuma said:
Saya lebih tepatnya adalah seorang Buddhis yang datang untuk berwisata dan bukan berziarah saat Waisak tahun lalu (tahun ini kebetulan tidak dua-duanya), dan memang terasa beberapa poin yang penulis sebutkan, bahwa para peziarah, prosesi dan tempatnya telah menjadi objek wisata, sesuatu yang bernilai komersil… Dan tak ditampik juga bahwa penyelenggaran Waisak di Borobudur dibuka untuk umum/publik, terbukti dengan adanya acara lepas lampion yang bisa diikuti siapa saja.
Sebagai tontonan, menurut saya pribadi, mungkin tidak akan menimbulkan masalah, karena memang acara ini dibuat juga untuk publik. Kembali lagi yang terpenting adalah toleransi dan sopan santun pada umat yang sedang sembahyang. Hanya itu saja. Sebuah etika umum dalam bersosialisasi, terlepas dari acara keagamaan dan komersialisasinya. Toleransi lah seperti anda ingin ditoleransi.
Tadi saya baca selintasan di jejaring sosial, ada yang mengusulkan hanya pas sembahyang saja ditutup untuk umum, dan saat, misalkan, prosesi dari Candi Mendut ke Borobudur dan pelepasan lampion saja yg dibuka untuk umum. Well, ini adalah PR buat panitia Waisak tahun depan, dan juga pembelajaran buat orang yang ingin ‘berwisata’ saat waisak di Borobudur.
And anywow, terima kasih atas artikel anda 🙂
Andin Judianto Srikandi Lompatali said:
Saya suka artikel ini juga, Eru, selamat waisak (yang terlambat), miss you much and i deeply apologize for what your bhikus had to go through on a very special day there in borobudur couple of days ago..
aaanggg said:
kok mendiskriditkan islam ya? Seolah yg dtg ntn hanya dari kalangan islam tolonglaaahhh tuliaan jfn rasis
Anak Kalibata said:
Bukan rasis mas, cuma memberi contoh saja. Karena waktu saya kesana kmrn memang banyak skali mbak2 jilbab an dgn memegang dslr. Mereka dgn santainya duduk di atas karpet coklat sambil ngemil. Karpet coklat itu sbnrnya untuk umat buddha yg mau ibadah. Akirnya karena kebanyakan diisi sama mbak2 jilbab an ini akirnya para buddhis pun angkat kaki dan pulang.
Skali lagi jgn merasa tersinggung ya mas. Kalo tersinggung artinya mas musti belajar yg namanya toleransi.
Silk Stalker said:
Oh jadi kemaren elo ikut kesana? Menuh2in borobudur juga? Sama aja dong sama mbak2 jilbab tadi?
Kalo elo sendiri toleran ya, elo ga bakal nulis mbak2 jilbab di reply elo ini, karena mau dia pake jilbab, pake salib, atau apapun juga, itu ga relevan sama masalah ini. Emang niat lo aja yang mau ngejelek2in orang kan? haha!
kokowi said:
menurut saya itu ketidaktahuan atau tidak mau tahu dari individu2 tersebut. tp seharusnya tidak mengeneralisir pada satu oknum yang mewakili agama tertentu.
Bjl said:
ini contohnya : https://twitter.com/Eriza_DgHita
Cah Mbudur said:
Setuju ma boy, sy umat Islam dan sy dr Borobudur. sy juga merasa kan sampah ada dimana-mana saat membacanya. tapi kita semua sempakat, itu bener adanya. tp bukan karena minoritas, lebih karena laku dijual. itu saja . . . seharusnya membangun mental dan ekonomi tu gk bisa dipisahkan. semua saling terkait dan seirama. kemakmuran rendah, lama kelamaan merendahkan mental. semua akan saling merendahkan dan menuntut, pecahlah konflik. Ibarat kata tulisan ini sebenarnya bagus, yang membuat dy tidak bagus adalah niatnya.
rasarab said:
“kok mendiskriditkan islam ya? Seolah yg dtg ntn hanya dari kalangan islam tolonglaaahhh tuliaan jfn rasis ”
baca dulu baru komen mas , gak ada disiitu mendiskriditkan islam,
saya islam
Pingback: Pahami, Jangan Maunya Dipahami | Another Heaven
Maria Angela Senggi said:
Awalnya saya juga mau datang ke borobudur untuk mengikuti prosesi waisak.. sudah sangat lama saya sangat mengagumi filosofi buddhis dan saya juga ingin merasakan ketenangan dan keheningan dalam waisak.. tapi entah kenapa tiba2 saja saya mengurungkan diri utk datang kesana..
Ternyata benar saja, kehadiran saya agaknya hanya akan menambah ketidak khusyukan para umat buddha dalam menjalankan waisak karena suasana borobudur yg ramai.. saya cukup kesal melihat foto2 perlakuan pengunjung yg mengganggu para umat yg sedang melakukan waisak.. sungguh sangat keterlaluan.. smoga waisak tahun ini akan menjadi pembelajaran bagi para panitia untuk lbh mengutamakan para umat yg berdoa daripada yg hanya berkunjung..
rivaldo said:
bersyukur aja masih bisa beribadah coba jaman Orba..tidak akan sebebas sekarang..
V said:
Are you fucking stupid or what?
rasarab said:
bener bero, tapi bukan itu yang menjadi topik tulisan diatas
Wayan Budi said:
Belajar sejarah dulu Bung, agama Buddha itu salah satu agama yang menjadikan nusantara disegani, itu salah satu agama besar yang pernah ada di nusantara ini. Kok terlalu jauh dihubung-hubungkan dengan orba. Gus Dur saja memberikan kesejukan dan pengakuan yang tidak berlebihan. Sayang sekali Anda berpikir seperti itu.
Hana Noviandina said:
waini, contoh yang kemaren ikut motret di altar pas waisak.
Aryani_Yani said:
Belum pernah hunting foto acara keagamaan, takut mengganggu…
Ya mending ditutup aja tuh Borobudur kalau prosesi Waisak, turis dan fotografer banyak yg gak sopan
Silk Stalker said:
Saya lihat banyak yg protes ketika ada komen yang menuduh tulisan penulis post ini mengandung unsur SARA. Coba petikan berikut:
“Di negara yang penganut Buddha-nya banyak misalnya, Waisak diperingati dengan sakral, penuh hormat, dan hening. Hal semacam ini sulit ditemui pada peringatan Waisak di Mendut-Borobudur. Waisak di sini lebih mirip atraksi wisata, hiburan buat masyarakat awam. Ada pasar malam yang digelar di sepanjang bagian luar Candi Borobudur hingga Mendut yang dipenuhi ribuan orang. Ada dengking, pekik kebisingan dari suara motor, orang berbincang, yang kerap mengganggu jalannya pujabakti yang digelar di pelataran Candi Mendut di malam hari. Sepintas, sungguh mirip sekaten Jogja. Bukan ritual agama”
Sekarang saya tanya. Apakah ketika tahun-tahun lalu, ketika borobudur dan mendut ditutup untuk waisak, umat budha mengalami kesulitan dalam merayakan hari besarnya? Ngga kan? Apakah pada saat itu umat budha bukan minoritas? Iya kan?
Jadi, apakah tahun-tahun belakangan ini waisak jadi atraksi wisata karena umat budha adalah minoritas? Ngga, waisak jadi atraksi wisata karena panitianya, yang notabenenya adalah umat budha juga, menjual waisak sebagai atraksi wisata.
Tidak usah bawa kata-kata mayoritas-minoritas, ied dan natalan, dan contoh-contoh lain yang sama sekali ngga relevan dalam kasus ini, kalau inti permasalahannya adalah kerakusan pihak-pihak tertentu di umat budha, yang menjual upacara keagamaan mereka sendiri
suryatama said:
ya, memang etika para fotographer itu gak ada, tapi apakah mereka semua orang islam? kenapa hanya islam yg disudutkan dengan mengambil contoh “ketika sholat difoto”??
ya, borobudur dan mendut memang tempat wisata yang semua umat bisa memasukinya tidak hanya budhist saja, dan tidak ada pelarangan mendekati para peritual, sehingga inilah yang terjadi… hanya komersialitas yang dilihat pengelola borobudur dan mendut
Ivonne said:
menangis saya membacanya.. benar2 sedih hati ini. Serasa ingin berteriak, Adillah kepada kami….
putri said:
Terima kasih atas artikelnya, mbak..
Sangat membangun.
Menurut saya sebagai seorang umat beragama rasa toleransi harus tertanam.
Saya seorang Buddhist dan saya mengikuti ritual waisak tahun ini di Borobuddur. Memang acara tahun ini sangat ramai dikunjungi berbagai kalangan. Saya sebagai umat yg mengikuti ritual senang berbagi kebahagiaan upcara ibadah ini dengan kalangan lain. Menurut saya tidak ada salahnya membuka diri kepada orang lain agar tidak ada kesalahpahaman tentang ajaran agama kami. Semua agama menurut saya baik adanya karena tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Salah satu alasan mengapa borobuddur tetap dibuka saat ritual waisak berlangsung adalah untuk berbagi kebahagian serta sebagai pembukaan diri kepada masyarakat luas. Maka dari itu panitia membebaskan acara ini. Beberapa kalangan menanggapi hal ini dengan baik Mereka tetap menghormati acara ini dengan tetap tenang saat menonton. Tetapi ada juga yang menyalahgunakan kesempatan ini dengan hal2 yang tidak baik. Kami cukup terganggu tetapi dengan pemikiran terbuka kami tanggapi dengan sabar. Mungkin kepanitiaan tidak cukup gesit karena personilnya pun kurang jika dibandingkan pengunjung. Salah satu pembelajaran bagi kami. Pembatasan pengunjung juga susah dilakukan karena acara ini memang bebas dibuka untuk umum. Mungkin kita semua harus sama2 belajar. Para pengunjung yang diberi kesempatan melihat acara ini juga harus menjaga sikapnya dengan selayaknya umat beragama yang mengerti tentang toleransi.. Terima kasih.
Semoga semua hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang.
Salam
Nurul Hidayatun said:
Betapa menyedihkan, memalukan dan bikin gregetan….
Indonesia memang sangat menyedihkan kalau soal toleransi..
Kita, masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak, untuk bisa menghargai orang lain.
Salut sekali pada tulisan ini…
Semoga ini bisa membuka mata Indonesia untuk bisa lebih santun dan saling menghargai…
haris said:
Cetek analisanya.. Cenderung profokatif. Coba ke tempat lain di dunia ini.. Ke rohingya misalnya.. Perluas wawasan dulu
saniper said:
yg nulis goblok, tulisan plintat plintut komersialisasi agama dicampur aduk dengan isu intoleransi. mau nyalahin islam? konyol, asal lu tau di bali banyak perayaaan ritual (selain nyepi) yg dikomersialisasi, bahkan penonton dibikinkan tribun untuk nonton apa itu termasuk intoleransi? kalo ngomongin komersialisasi, kenapa orang (wisatawan lokal/manca) ogah jadiin sholat id jadi objek wisata itu karena ritual islam kagak ngejual, kagak menarik. klo masalah orang lalu lalang di lokasi, itu masalah kurangnya managemen (kagak kayak di bali yg manajemennya udah bagus) goblok dipiara.
Alid Abdul said:
Karena alasan itulah saya membatalkan trip saya ke Borobudur untuk MELIHAT Waisak, daripada saya MELIHAT dan akan bertindak tidak toleran nantinya mending saya putar haluan berlibur ke Kawah Ijen, dan keputusan saya tepat ^__^
herysen said:
Inilah Indonesia…. Toleransi antar umat beragama hanya untuk agama mayoritas. Agama minoritas jangan berharap mendapat perlakuan yg sama. Ini akibat dr sikap pemimpinnya yg tidak tegas, bimbang & peragu. Sudah banyak contoh perlakuan tidak adil terhadap pemeluk agama minoritas. Tapi lucunya negeri ini, pemimpin kita malah mendapat penghargaan sebagai pemimpin yg menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama…. Haddeeeehhh….
halobandung said:
Cuma masalah EO saja. Siapkan Fotografer resmi yang fotonya bisa diakses dan digunakan gratis dan selain itu Dilarang saja, Mudahkan, gitu aja kok repot
Raizo said:
Karena Borobudur di mata bangsa Indonesia adalah DESTINASI WISATA dan itu pemerintah sendiri yg menggembor2kan, bukan sebagai TEMPAT IBADAH, jadi segala sesuatu yg terjadi di dalamnya pun di anggap ATRAKSI WISATA, bukan PERIBADATAN.
Sekarang kembali kepada pribadi masing2 pengunjung untuk menyadari kalau yg terjadi setiap Waisak di Borobudur itu adalah sebuah PERIBADATAN, agar bisa di hormati jg dinikmati, ga perlu membandingkan dgn Agama lain yg hanya menimbulkan masalah baru, cari solusi yg terbaik.
Memed said:
Dari tadi contohnya masjid dan islam, dari mana anda tau semua fotografer yang ada di sana itu islam , apa hanya dengan melihat sisi ke mayoritasannya di Indonesia? tulisan ini bagus, tapi sebaiknya lebih berimbang lagi
Pingback: Kisah Suram Waisak di Candi Borobudur Tahun Ini
Bjl said:
Reblogged this on Warung Jomblo and commented:
Alay ber-DSLR merajalela… Ndeso…
yayaya said:
Aduuh, ini banyak yg beragama islam komen disini (termasuk saya) kok cuma bisa ngambil poin “kenapa harus menyudutkan islam?” nya saja sih, malu2in aja kalian ini…
Open your mind, disini kita bukan minoritas, disini kita mayoritas. Jadi jgn gampang tersinggung gitu lah, coba mengerti perasaan para kaum minoritas di negara kita sama seperti kita ngertiin perasaan saudara2 muslim kita di negara lain yang menjadfi minoritas.
Penulis saya rasa cuma menyampaikan uneg2nya, Islam dibawa2 hanya sebagai pembanding, Itu aja. Kalau kita defensif malah kesannya kita itu sadar kalo kita salah. kaya anak kecil aja.
Mohon maaf apabila komen2 saya agak disederhanakan, biar dapet aja intinya buat teman2 muslim yg baca.
Personally, saya ga begitu peduli dengan ritual agama lain, selama kita tidak saling mengganggu. Tapi gemes aja ngeliat muslim2 disini sebagian komennya membuat kesan dangkal dan bikin malu saudara2nya yg muslim lain yg ngerti arti toleransi.
yusrizal said:
Akhir-akhir ini, makin banyak syaraf malu di dalam diri manusia di negeri ini yang putus.
Tidakkah kita malu mengaku beragama, kalau kita sendiri tak bisa menghormati agama orang lain?
Nice article.
puji said:
bener mas…seperti artikel ini yang juga malah menyudutkan agama mayoritaas
argosatriyo said:
Saya cuma berpikir, apa yang ada dibenak mereka yang masuk ke dalam tempat ibadah orang lain, apa gak pernah makan sekolahan yak? Mudah2an tahun depan steril area bisa diperlakukan dengan baik supaya saudara2 kita umat Budha bisa beribadah dengan tenang, Aamiin.
sssssssst said:
Mgkn yg perlu d perbaiki bagaimana keteraturan dr acara itu sendiri. Baik dr pengunjung , pemerintah dan panitia. Bagi pengunjung mgkn ada yg tdk tau aturan d acara tsb, maka perlu di ksh tau. Acara yg menyebabkan kebanjiran pengunjung mgkn oleh panitia plus pemerintah bsa lbh d atur . Bagi umat buddha yg beribadah, ambil positiv dr hal ini, bknkah ajaran buddha utk menenangkan hati dari hal2 duniawi? ( Baik itu gangguan atau bkn gangguan )
Seno HeLuck said:
Semoga toleransi antar umat beragama kedepan semakin dijunjung dengan adanya tulisan ini.. saya orang muslim tapi saya sangat memahami hal tersebut..
joice said:
ijin nyimak aja gan…
sheny said:
setuju banget..
sebelum bertindak dan melakukan sesuatu sebaiknya dipikir lagi, apabila qta diperlakukan spt itu apakah qta berkenan? tidak hanya dalam bertoleransi dalam beragam tapi dalam hal2 lainnya..
tulisan yg sangat bagus.. smoga bisa menjadi koreksi bagi semua pihak dan semua orang.. 🙂
dya said:
Intinya adalah mari kita ingat kembali di negara kita yang beranekaragam budaya dan agamanya, untuk tetap satu dan damai sangat penting sikap toleransi antar umat beragama. Damai Indonesiakuuuuu!!! Terutama yg perang komen di sini.. Ambil maksud baik tulisannya saja, krn saya yakin tulisan ini dimaksudkan bukan untuk mendiskreditkan agama manapun (krn toh semua agama mengajarkan hal yg baik), tapi untuk mengingatkan kembali ttg toleransi beragama. Pisssss 😉
Alexandra Tafira said:
Miris ya. Padahal SBY baru bilang kalau Toleransi Beragama Terwujud
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/27/078483391/SBY-Toleransi-Beragama-Terwujud
Indonesia negara plural, tapi kebanyakan rakyat heterophobia, cenderung tidak menghargai orang lain yg tidak sama dengan dia. Entah apa yang salah.
Selamat Hari Raya Waisak 🙂
Arieffin said:
Memang, kenyataan di negeri yg katanya tercinta ini, yah demikian adanya.
Kalo yg mayoritas ber sembayang, maka seperti yg mbak gambarkan diatas.
Namun kalo yg minoritas sembayang, mau mengusahakan supaya tertutup agar tidak tergangu saja, terbentur dengan segala macam perijinan da “kecurigaan”.
Menurut yg sy lihat, bukan hanya di candi saja mbak. Disemua wilayah, semua tempat di Indonesia ini ketika yg minoritas sembayang, itu gangguang menjadi salah satu “nikmat” nya ber sembayang. Contoh saja, ketika sedang sembayang, motor liwat dengan derumannya yg memekik, itu tidak ada yg melarang atau memperingati, nyamperin apalagi menghakimi sang pelaku!
Coba rekan2 yg sedang sembayang di mesjid, liwat motor yg memekikan telinga, pasti itu org akan dicari dan di hakimi.
Bukan hanya di agama Buddha,Hindu atau Katolik-Kristen juga mengalami demikian mbak.
Jaman sekarang jaman melek internet, coba saja kita lihat apakah “teguran” secara halus ini bisa diterima oleh mereka mereka yg mengganggu? apakah para photogapher akan menjadi sopan, punya etika, menghormati yg sedang sembayang? Karena perlu di pahami, photographer tsb bukanlah org yang tidak berpendidikan. Mereka adalah org yg melek internet. mendapat informasi adanya kegiatan Waisak ini saja juga sy kira 80% melalui internet.
Tapi kenyataannya justru mereka mereka inilah yg seenak perutnya menggganggu kegiatan umat beragama Buddha.
Semoga teguran halus ini tidak terulang di masa depan yah mbak.
Untuk yang merayakan,
Selamat hari raya tri suci waisak 2013 (2557 BE).
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitattha, Semoga semua mahluk berbahagia.
Maya said:
Nice artikel mbak, jadi masukan buat aku yang tahun depan rencananya mau Waisakan di Borobudur.
ijin re blog ya :). Thank you
Maya said:
Reblogged this on Kesukaannya Maya and commented:
Gue sedih baca time line twitter hari Sabtu kemarin tentang perayaan Wisak di Borobudur & lebih tertohok lagi baca postingan ini.
Bisa Traveling, bisa punya kamera/gadget canggih tapi gak bisa punya attitude yang bagus. Semoga Waisak tahun ini bisa jadi pelajaran baik buat penyelenggaranya (panitia) dan terutma buat turis yang nonton.
titutratih said:
ketika kamera DLSR menjadi sangat murah, semua org tiba2 merasa menjadi fotografer handal. seperti tentara yg dipersenjatai namun tdk tahu menahu etika menggunakannya. jadi bebas melesatkan peluru ke segala arah tanpa memikirkan akibatnya.
intinya adalah pengendalian diri dan toleransi. control yr self. jgn sampai merugikan pihak atau golongan lain.
saya seorang muslim dan saya beranggapan semua agama baik dan mengajarkan kebaikan.
bbrp tahun yg lalu (sblm saya berkeluarga) bbrp kali mengikuti perayaan waisak di candi borobudur. sungguh syahdu mendengar rantaman sutra yg mengalir dr banthe. sampai pada puncaknya melepas ribuan lampion dibawah naungan bulan purnama. saya merindukan momen itu. sangat merindukan 😦
tahun 2012 sy dengar dr bbrp teman perayaan waisak terjadi bbrp keributan. ternyata thn 2013 terulang lagi dan lebih rusuh pula. sedih. dimana toleransi antar umat beragama yg diagung2kan itu? 😦
rasa keingintahuan (curiousity) dikesampingkan, posisikan diri kalian, yg non budhis, sebagai seorang budhis yg ingin menggapai kekhusyukan sehingga sempurna ibadahnya. itulah yg saya tanamkan saat saya mengikuti perayaan waisak.
terima kasih utk penulis. ijin share 🙂
sabbe satta bhavantu sukhitatta
Pingback: Waisak dan Manten Katolik | Sebuah Perspektif Sederhana
firdianbudi said:
maklum aja, presidennya juga intoleransi.
terjadi kekerasanterhadap agama lain presiden & pemerintah masih diam asaja. cenderung membela agama mayoritas dan menyalahkan yg minoritas.
Lalita wistara norma dasuci said:
Saya orang asli borobudur, begitupun kedua orang tua saya dan kakek nenek saya semua asli borobudur, jalan sebelah rumah saya juga yang dilalui pawai dari candi mendut menuju candi borobudur.
Menurut saya orang2 yang memadati pinggir jalan untuk menyaksikan jalanya pawai tersebut sebagian besar bukan warga lokal, mereka kebanyakan datang dari luar borobudur begitu juga para “penghobi fotografi” yang sudah anda lihat mereka juga bukan warga sekitar.
Bagi warga lokal (khususnya saya) pemandangan/situasi/obyek yang ada dalam perayaan waisak bukanlah sesuatu yang musti disaksikan/dilihat/diabadian dgn fotografi karena semua itu sudah terbiasa bagi kami dan bukanlah “obyek istimewa” untuk dilihat, Bahkan menjelang acara perayaan waisak tahun ini istri saya malah mengajak mengungsi ke rumah mertua biar tidak terganggu oleh keramaian/kemacetan.
Maaf saya cuma menulis dari kalimat anda “Harus diakui, kini prosesi Waisak di Borobudur memang menjelma menjadi tontonan, suguhan yang menghibur masyarakat sekitar”
noph said:
hmm pembahasannya terlalu berlebihan : )
teh yana said:
Tulisan yg menoreh bathin saya itu salah satu faktor saya tdk prnh memotret waisak min satu fotografer berkurang di arena waisak
Dedy said:
Artikel yang bagus dan sangat membuka mata kita sebagai bangsa Indonesia tentang arti sebuah toleransi dalam beragama, saya sebagai Muslim pun sangat menyayangkan akan hal itu dengan tanpa memojokan sebuah agama mayoritas yg ada di negeri ini, sempat untuk menyambangi Borobudur saat prosesi Waisak kemarin namun niat itu saya urungkan karena saya rasa sebuah prosesi perayaan hari suci agama itu perlu ke kekhusuan buat yg sedang menjalankannya bukan menjadi sebuah tontonan apalagi sampai mengganggu. ijin share ya mbak.. 😀
ericka said:
Sedih mendengar berita ini, semoga kedepan pihak pemerintah dan WALUBI bisa memanage perayaan ini lebih sakral lahi. saya baru tahu kalau kunjungan wisatawan- yang notabene bukan hanya muslim- ke Borobudur, sangat kurang arif.
Saya sbg orang muslim, mengaturkan maaf atas sikap muslim lain yg mungkin mengganggu perayaan tsb.
Tapi saya juga sedikit memberi masukan, sebaiknya tulisan ini tidak terlalu memojokkan salah satu agama, yg lebih besar mayoritasnya, toh tidak semua yg dtg kesana itu Muslim, dan berbuat kurang bijak
Sendainya itu dikeluhkan, bukankah teman2 dari Ummat Budha juga punya “MUI” (baca : Walubi) yang bisa menekan pemerintah daerah maupun pusat. Untuk bisa membantu terlaksananya perayaan tsb berjalan dg maksimal 🙂 atau setidaknya, ada aturan yg lebih tegas lagi bagi pengunjung.
Jadi, janganlah menulis sesuatu yg justru akan memicu opini yg saling memojokkan.
Salam damai
arip7hidayat said:
wah tulisanya bagus, sekali, komentar laiya mungkin telah terwakilkan dari pertanyaan di atas. belum baca semua sih, tapi ikut prihatin aja. makanya saya jarang sekali ngajak2 orang untuk jadi backpacker, jadi salah kaprah dan tidak tahu etikanya.. banyak gadget, dan bisa dibeli oleh banyak kalangan, ngadak2 jadi pada suka berburu.
mudagrafika said:
Bookmarked!
mastersuhu said:
Keadaan yang nyata di negeri ini….
Budaya lokal yang begitu tinggi dan beradab mulai diganti dengan budaya asing terutama dari negeri BARAT dan ARAB…. yang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia….
Semoga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika MASIH DAPAT BERTAHAN menghadapi gempuran budaya-budaya dan paham-paham yang masuk ke Indonesia ini… baik itu yang bersifat LIBERAL maupun yang bersifat RADIKAL
anonim said:
hmmm maaf ya arab adalah negara yang sebenarnya jauh dari kekerasan, sebagai contoh : di Arab Saudi, walaupun orang marah semarah apapun tapi tidak ada yang memukul, tawuran, lempar2an tidak ada perasaan dendam sekalipun, sekalipun ada pemberitaan di TV yang ini itu hanya segelintir orang, saja bisa dihitung jumlahnya, karena apa?? disana hukumannya cukup setimpal jika melakukan perbuatan yang negatif,coba bandingkan dengan disini begitu banyak tawuran, kekerasan, membunuh.
Pingback: Cerita Weekend Kemarin | NACILEY
Carousel -Chisa's Diary said:
sebenarnya si lumayan agak nohok kok cuma satu agama mayoritas yg di jadikan contoh perbandingan toleransinya, padahal sebetulnya kayaknya y ga cuma wisatawan dari satu agama mayoritas aja itu yg berbuat g sopan pas prosesi, cuma dari sisi lain jg, tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi untuk saling menghormati antar satu dengan yg lain, makasih 🙂
chlorophylic said:
Mohon maaf atas kelakuan saudara saudari saya yang seagama.. saya nggak pernah sekalipun datang saat ada perayaan di borobudur, tapi saya mengerti betapa nggak nyamannya umat Buddha untuk diperlakukan dengan tidak layak seperti itu. Jujur untuk mengubah paham orang2 yang datang menyaksikan tersebut saya rasa sulit.. Tapi saya rasa seluruh umat Buddha yang terganggu kekhusyukan proses ibadahnya pantas mendapatkan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya. Jadi saya mewakili masyarakat muslim khususnya mohon maaf. Semoga kedepannya dengan tulisan ini masyarakat jadi semakin sadar. Salam.
prince said:
Mungkin niat mbak baik, tp apakah permintaan maaf ini dikarenakan mbak tahu pasti bahwa “pengganggu2” itu semuanya muslim? Mayoritas pengunjung tsb muslim? atau hanya dugaan?
Salam kenal
vorsea said:
Nantinya ritual agama apapun akan lebih banyak diabadikan melalui kamera. Kekhusukan saat beribadah pun menghilang.
Mudah-mudahan saya salah.
Pingback: Perayaan Waisak 2557 BE, sebuah pembelajaran. | a dreamer living the reality
toeng said:
Salut dgn empati dan simpati penulis terhadap umat lain dan umat budha
,realitanya ada banyak keberagaman ritual agama dan budaya diindonesia yang menarik dijadikan obyek wisata dan fotografi,saya sebagai pelaku fotografi dan traveling akan terus mencari dan mendokumentasikan semua ritual dan keberagaman tersebut , tanpa bermaksud menganggu apalagi merusak acara tersebut, lalu apakah nanti kami akan berhenti melakukan itu semua karena tulisan ini , saya rasa tidak , kecuali memang dibuat sebuah pernyataan atw aturan yang jelas melarang masyarakat umum atau umat agama lain dilarang mengikuti prosesi tersebut kecuali umat budha pastinya ketika aturan ataw regulasi itu di keluarkan dan tegas pasti akan ditaati kok, masa kita akan tetep memaksakan diri ,karena klo sudah pada tahap memaksakan diri sendiri dan kehendak kepada orang lain , pada titik itulah toleransi dan keberagaman akan hancur,, yang jelas selama masih diijinkan dan diperbolehkan. Dan tanpa maksud menganggu ritual ,prosesi dan kelancaran acara tersebut , ya silahkan saja datang dan melihatnya ,dalam perayaan waisak dinegara yang lain pun selalu dipenuhi oleh masyarakat umum ,wisatawan ,fotografer ,media dan umat non budha,.ada pedagang , pasar kaget dll, seperti perayaan waisak diindonesia dinegara lainpun juga terjadi ritual pelepasan lampion dan masyarakat umum boleh mengikutinya, negara philipina adalah pemenangnya untuk festival lampion tahun ini,..jadi ada baiknya kita buat sebuah artikel dengan berbagai macam penelitian terlebih dahulu,dipertimbangkan dari berbagai macam sudut pandang , baru kita publish , sehingga yang tadinya bermaksud baik dan berempati jadi tidak terjadi karena menyinggung umat lain atw komunitas yang lain,..atw klo memang anda bermaksud menimbulkan kontroversial dgn tulisan anda ini dan akan makin melambungkan nama anda hingga akhirnya banyak buku anda dicari orang, ya nda pa2 juga sih fine2 aja kok,..anda punya strategi yg baik sebagai penulis #selebritis mode on ( bikin kontroversi dulu biar terkenal )…salam damai indonesiaku
giovanni a.p said:
Tulisannya Ok’s banget! Nendang!
Sekedar ikut berbagi pengalaman,
Walaupun saya bukan umat Budha, tapi sayapun mengalami perasaan yang sama ketika melihat acara Waisak kemarin. saya datang ke borobudur saat Waisak karena sangat tertarik dan antusias untuk mengikuti prosesi keagamaan yang ada. tapi kemudian merasa sangat kecewa dengan perilaku sesama turis lain yang datang hanya untuk ‘menonton’ lampion, buka berniat untuk ikut serta dalam prosesinya. ketika seharusnya para umat bermeditasi dan hening, banyak dari turis2 lokal yang motret dengan flash kemana2, gaduh, bahkan sampai naik kedekat altar (mungkin belom mampu beli tele) hingga panitianya terpaksa menegur mereka dengan ‘cukup tegas’ karena kelakuannya mengganggu umat Budha yang akan melakukan upacara Pradhaksina.
Dan pada saat saya mengikuti upacara Pradhaksina pun, rasanya seperti berjalan di red carpet atau gag seperti di lorong2 Malioboro, orang2 sangat memadati kanan-kiri jalan, berdesak2an dan nyaris menghalangi jalur untuk Pradhaksina. hingga akhirnya upacara selesai dan panitia mengumumkan bahwa prosesi pelepasan lampion dibatalkan karena hujan dan para ‘penonton’ bersorak kecewa. teringat kata salah seorang teman yang datang saat Waisak 2012, dimana ketika cuaca hujan deras dan semua orang yang ada disana ikut bermeditasi bersama-sama dan perlahan hujannya reda dan langitnya terbuka muncul purnama (itu salah satu hal yg membuat saya tertarik mengikuti prosesi Waisak).
Salah satu sahabat saya berkelakar “mungkin karena kebanyakan turis hanya mau tau upacara lampion tanpa mau menghargai prosesi2 lain dan mengganggu kekhusyukan umat Budha, maka semesta tidak mengijinkan mereka melihat prosesi lampion”
saya yang bukan umat Budha saja merasa terganggu, apalagi teman2 kita umat Budha yang sedang beribadah..
mungkin seharusnya di Waisak berikutnya, kalau hanya ingin melihat lampion saja, jangan jauh2 datang ke borobudur. kecuali jika memang berniat terlibat dalam prosesinya.
*keesokan harinya ketika saya berkumpul kembali dengan teman2 yang turut mengikuti rangkaian Waisak, salah seorang teman bilang bahwa ia banyak mendengar turis2 lokal yang mengeluh karena kehujanan, mengeluh karena harus berdesak-desakan, mengeluh karena long-dress yang dipakai kotor, mengeluh karena sulit berjalan ditanah becek karena memakai high-heels, dan keluhan2 konyol lainnya. #geleng2 kepala sambil tersenyum prihatin.
muslim said:
Tulisan yg bagus. Perspektif nya juga sangat menjelaskan mana yg baik dan mana yg buruk.
Skedar menambahkan, di negara mana pun, agama minoritas memang selalu menerima perlakuan tidak setimpal dgn agama mayoritas. Contoh di amerika, jika kita beragama islam, banyak orang2 yg kurang menghormati kita dalam beribadah. Bagi mereka kita aneh. Dan pemerintah nya pun tidak berbuat apa2, yg terpenting orang2 itu tidak melanggar aturan hukum. Sangat tidak nyaman memang tinggal sbg kaum minoritas di suatu daerah. Pasti akan mengalami perlakuan2 diskriminatif. Jd pd intinya bagi masy yg masi punya akal sehat dan hati nurani, harus paham bahwa saling menghormati antar pemeluk agama adalah sebuah esensi dalam menjaga kedamaian sosial. Wassalam.
Pingback: Dilema Perayaan Waisak | matamata
Hendra said:
Tulisan yang bagus.
Tidak perlu membanding-bandingkan agama (dan saya yakin bukan itu maksud dari penulis), tidak perlu menyalahkan panitia yang tidak bisa meredam banyaknya pengunjung. Semua itu berawal dari diri sendiri. Walau tanpa diatur, etiskah mengganggu ibadah orang lain? Tidak.
Bhante (bukan biksu) itu sosok yang harusnya diagungkan. Saat dia sedang memanjatkan paritta, etiskah jika dikerubungi “fotografer-fotografer” yang bahkan sampai memanjat-manjat stupa untuk mendapat “angle yang lebih oke”? Tidak.
Soal lampion itu uda sisi komersialnya, sah-sah saja kalau datang cuma untuk nonton pelepasan lampion. Tapi etiskah kalau marah-marah karena pelepasan lampion dibatalkan karena alasan cuaca yang tidak mendukung? Tidak.
Kalau tidak merasa akan melakukan hal-hal yang tidak etis begini, rasa-rasanya tidak perlu tersinggung atau marah. Malah kalau bisa sebarkan kepada orang-orang lain biar yang tidak tahu menjadi tahu. Kalau semua orang sadar diri, tentu tidak akan terjadi hal-hal beginian.
Turis-turis luar saja sering bertanya kepada forum-forum travel tentang bolehkah dan apa yang harus dilakukan kalau mau mengunjungi Borobudur saat Waisak (silakan google sendiri). Bisakah kita mulai mawas diri dari sekarang?
puji said:
panitia atau petugas itu perlu menjalankan aturan juga masberooooo dan mereka yang punya peranan paling penting. mereka yang membuka acara ini untuk umum ya harusnya siap sama hal-hal yang akan mengganggu acaranya. kenyataannya mereka ngga siap.
yang buat acara (mungkin dari borobudur parknya ya kalo ngga salah) kalo gw perhatiin bertahun-tahun tidak terkesan menjalankan aturan-aturannya. petugas keamanannya juga tidak disiapkan.
contoh kasus ini sih kayak ortu yang bawa anak balita nonton. kalian pada terganggu kan kalo ada bayi nangis ketika mendengan suara bioskop yang menggelegar atau kalian pasti risih kalau anak balitanya harus melihat adegan dewasa. emang kalian bisa ngarepin orang tersebut yang nonton bioskop ngerti tentang etika….hasilnya ya pada dongkol sendiri. marah sendiri. nah ada yang namnay penjaga bioskop. mereka fungsinya melarang oknum2 tersebut agar mematuhi aturan.
pembatasan pengunjung kan bisa dibatasi dengan penjualan tiket yang terbatas. bukankah sekarang masuk ke borobudur harus pakai kain kan. nah dari kain juga bisa jadi tolak ukur berapa banyak seharusnya orang umum yang boleh masuk ke candi. kenyataannya banyak yang bisa masuk ke areal candi tanpa mengenakan kain tersebut.
harusnya kasus ini memang bukan soal mayoritas-minoritas agama itu ngga perlu dibahas….gw sih geli karena tulisan ini terlalu klise dan buktinya malah jadi polemik. toleransi? yang datang ke borubudur kemaren itu gw yakin lebih banyak yang punya rasa toleransi ketimbang oknum2 tersebut. kasihan mereka secara ngga langsung ikut dituding jadi penyebab kekisruhan acara ini. kita terlalu manut sama tulisan ini tapi ngga kritis sama permasalahannya….dari tahun2 lalu sih topik udah ada di twitter sekarang aja rame lag dan yang dibahas ya soal toleransi lagi…maki-maki orang yang dateng ke sana…kenyataannya tetep aja kejadian lagi kayak gini ya karena ngga dijalanin juga. ngarepin banyak orang untuk berubah atau bersikap baik disuatu tempat itu kayak omong kosong. paling ngga tugasnya keamanan itu meminimalisir timbulnya oknum-oknum yang menggangu jalannya upacara.
jadi kedepannya petugas borobudur udah bisa siap. kalau nanti pengunjung melebihi jumlah kain yang sori..sori aja ngga bisa masuk. kalo mereka berang…tugasnya polisi mentung-mentungin oknum2 kayak gitu. kalo ngga digituin bakalan anarki nanti.
the melvin said:
Dari ratusan komen ini die komen yg gw tunggu
Pahlewi Showdown Advance said:
Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
TeNGOKLAH ke dalam sebelum BICARA
Singkirkan debu yang masih melekat..
SINGKIRKAN DEBU YANG MASIH MELEKAT !
Surya Wijaya said:
Terima Kasih sekali, dengan adanya blog” yang menyebarluaskan tulisan ini, semakin menyadarkan kita semua, tidak hanya untuk kaum mayoritas, namun juga kaum minoritas.
Pertama sebagai umat buddha sy cukup kecewa apa yang terjadi di candi borobudur, Candi Borobudur sejak di berikan gelar oleh unesco, dikuasai oleh pemerintah indonesia, segala pemasukan biaya candi borobudur juga untuk pemerintah, jadi tidaklah heran saat waisak pun tetap dikomersialisasi, bahkan saat waisak tahun ini , 25 mei 2013 saat bhiksu merayakan detik-detik waisak di candi mendut, candi borobudur malah dibuka untuk umum, jelas semakin riuh dan ramai.
Jelas sekali panitia kita, hanya sedikit, umat buddha adalah minoritas, sehingga panitia pun kerepotan untuk menangani wisatawan yg datang,
Kerja sama dengan polisi menjadi tidak berarti karena candi borobudur dikuasai pemerintah untuk dikomersialisasi.
Padahal bagi kami datang keborobudur adalah suatu tujuan mulia, altar terbesar dalam agama buddha, bahkan sebagian dari kami menyebut borobudur adalah “Mekkah”nya umat Buddha, “Naik haji” nya Umat Buddha, betapa suci nya candi borobudur ini bagi kami,
Sebenarnya tidak ada salahnya turis atau wisatawan datang, namun untuk menghormati seperti ikut khusyuk/tenang saat perayaan, merasakan kesakralan.ini akan menjadikan segala sesuatunya lebih indah dan bermakna.dan pada akhirnya sama” merasakan kebahagiaan,
Saya bersyukur di hari sabtu kemarin tidak dijadikan pelepasan lampion, kalau terjadi pasti sangat ricuh sekali karena banyaknya wisatawan dan turis, sy bersyukur hujan turun dan tidak berhenti, memang banyak wisatawan kecewa, tapi kami khawatir bila acara diadakan semakin kacau, karena sebelum pelepasan lampion yg terbuka untuk wisatawan, para bhiksu dan umat buddha yang terlebih dahulu melepas lampion.
Semoga tahun depan waisaka puja yang berarti 3 peristiwa Suci Buddha ( Hari Lahirnya Buddha, Pencapaian kesempurnaan Buddha, Wafatnya Buddha mencapai Maha Parinibbana) semakin di toleransi oleh umat lain , agar kita sama-sama berbahagia
Salam damai dalam Buddhis :
-Semoga Semua Mahkluk Hidup Berbahagia-
Surya Wijaya said:
Terima kasih atas toleransi umat lainny di dunia maya ini, memang indonesia sudah cukup baik toleransi nya hanya saja ada sebagian orang yg masih kurang toleransi,khususnya yang kurang berpendidikan.
Terima kasih juga umat lain ikut membayangkan apa yang terjadi di candi borobudur, bagi umat buddha yang menganggap Borobudur adalah tempat sakral, tempat suci, merasa Borobudur adalah “Mekkah”ny umat Buddha, mereka umat buddha yang berasal dari sumatra, kalimantan dan lain” datang jauh ke jawa tengah untuk merasakan kesakralan upacara waisak merasa sangat kecewa , saat umat meditasi yang harusnya khusyuk , tenang tidak ada suara, wisatawan teriak”..saat bhiksu membaca doa, difoto pakai Flash, begitu banyak sampah berceceran ulah wisata menonton sambil makan-minum, tidak terbayang begitu sedihh umat buddha yang menghadiri acara ini,
Kita hanya berharap, Semoga tahun depan dapat berubah lebih baik. Dengan adanya berita/kisah Candi Borbodur yang begitu kami sucikan disebar luaskan semakin banyak yang sadar akan peristiwa ini.
-Semoga Semua Mahkluk Hidup Berbahagia-
Ririn said:
Nice blog. Bisa jdi bahan renungan buat kita..seharusnya ada toleransi umat beragama, tapi bukannya wisatawan ke borobudur buat liat lampion ya? Emg sih simbol harapan, tpi knapa ga cuman seratus ato dua ratus, knpa juga bukan budish tpi bisa ikutan nerbangin lampion. Hiburan kan namanya? Komersil kan ?
Soenyata said:
Tulisannya bagus dan penulis berkeinginan utk menyampaikan bhw mari kita “menghormati” pihak yg berbeda dg kita. Seyogianya perihal ini disampaikan ke panitia & induk organisasi Buddha juga spt Walubi, STI, dll agr dpt kord dg Dept Agama, Pemda setempat serta aparat kepolisian.
Karena “perbedaan” adalah bagian dari Anugrah dalam hidup kita.
Selamat Hari Waisak 2557 BE
Sabbe satta bhavanthu sukhitata
hambara said:
bg saya yang 3 tahun berturt2 mengikuti prosesi waisak memng yg agak mnegecewakan adalah tahun ini, bukan karena hujan, karena itu adalah siklus alam, bodoh bila kita memaki acara lampion batal, fotografer yg mengharapkan foto lampion itu seharusnya bisa memakluminya, menyesal memang ada, tapi inilah kenyataan kita hidup di alam ini bukan?. tentang para hobist yg seenaknya mengambil foto itulah yg saya kwatirkan dari 2 tahun yang lalu ketika DSLR mulai menjadi lifestyle, karena orang yg belum mengetahui norma dan tatacara mengambil gambar yang seharusnya menghindari atau meminimalkan kontak dengan acara sakral tersebut ternyata belum dipahami, maka seperti kamarinlah. saya sudah memprediksi demikian, banyak diantara jiwa2 muda bekalung kamera jutaan itu, dengan harapan mereka diperlakukan seolah sebagai fotografer profesional yg di beri keleluasaan, padahal sebenarnya fotografer profsional itu bukan menuntut, tapi dituntut untuk tidak menganggu namun tetap bisa mnegcapture semua prosesi, sebenarnya disitulah letak fotografi jurnalistik. terlebih lagi adalah para hobist mengambil foto hanya sekedar dokumentasi pribadi, buka menjadi konsumsi publik, jadi seandainya terlewat moment kita harusnya mawas diri, sadar posisi kita dimana dan sebagai apa, toah diinternet banyak akan foto2 bagus, tapi memang tastenya akan berbeda, yah kembali lagi akan pemahaman kita sebagai umat beragama.
Angga Vidharsana said:
Semoga saja seluruh warga negara indonesia seperti yang komentar diatas. Kalian sangat memiliki sifat toleransi yang besar dan dapat merundingkan permalahan agama yang ada dengan kepala dingin .
Semoga damai selalu Indonesia ini 🙂
firdaus said:
“Andai ada orang nyelonong masuk ke masjid, lalu dengan main-main berdiri di mimbar masjid saat bukan waktu shalat, atau menabuh bedug sesuka hati, apa ada yang tidak marah? Pastilah si penabuh bedug itu digampar dan dikuliahi sampai berbuih. Tapi bersikap toleran terhadap pemeluk agama liyan, sungguh sulit.”
” Para da’i di teve menerima jutaan rupiah sekali ngecap, da’i yang diundang ke ceramah-ceramah akbar pun mengalami hal sama.”
jujur saja, tulisan anda bagus, berusaha melihat dari sudut pandang orang budha yang mau menjalankan ibadah dengan khusyuk. anda mau mendorong orang2 untuk toleransi. tapi saya mau tanya, toleransi itu bagi si penulis apa sih? kalau sepengetahuan saya toleransi itu ya berempati dengan pihak lain yang berbeda dengan kita. nah, saya mau si penulis sendiri, sudah merasa punya toleransi? toleransi apa yang bisa ditunjukkan dengan kalimat2 kutipan di atas? toleransi untuk semua rakyat Indonesia kecuali untuk mayoritas? pokoknya apa2 salah mayoritas? padahal pihak yang dia maksud dengan mayoritas itu juga adalah minoritas di Indonesia bagian timur?
semua orang Indonesia, di mana saja, bisa menjadi mayoritas dan juga minoritas. makanya hati2 kalau mau mengacungkan jarimu ke salah satu pihak. yang salah bisa jadi semua tapi cuma kau acungkan ke salah satu. akhirnya pesan toleransimu tidak tersampaikan, wahai penulis.
satu lagi, bagi para pihak yang tidak perduli dengan perasaan jengah dari suatu identitas tertentu yang jadi kambing hitam di sini, kalian sama saja dengan orang2 yang berlaku tidak sopan di waisak kemarin. semuanya berawal dari sama2 tidak perduli.
sekian.
Ferlanti Nailasuffa said:
Reblogged this on Alternate Universe.
wisnu said:
bagus, sebaiknya dilarang mengganggu kegiatan ibadah. siapa sih yg suka kalo ibadahnya direcokin orang.
semua agama pasti gak pingin diganggu.
tapi kalo bicara mayoritas dan minoritas ane kurang suka. Indonesia sudah jauh lebih toleran dibanding negara yg katanya penggiat demokrasi sekalipun.
namanya mayoritas pasti suka disalahkan, wajar paling banyak orang ya pasti paling banyak perbuatan
di myanmar kaum rohingya pada dibantai sama pemuka agama,
di amrik, yunani, dll mendirikan masjid aja sangat sulit.
dll
ronny fauzi said:
Reblogged this on Catatan Seorang Mahasiswa Arsitektur and commented:
Artikel yang menggugah. Saya belum pernah sekalipun mengikuti perayaan Waisak di komplek Borobudur. Kemarin waktu ikut kegiatan Merajut Bambu di seputaran Borobudur sempat juga ada tawaran ‘nonton’ perayaan Waisak yang waktu itu memang sudah semakin dekat pelaksanaannya. Sempat kepingin juga sih, karena katanya bakal ‘ramai & meriah’. Sungguh, perspektif saya saat itu secara sempit menempatkan Waisak sebagai suatu perayaan wisata belaka, tak ubahnya festival atau arak-arakan wisata di tempat-tempat.
Barangkali saya, yang menganut agama mayoritas ini, memang sering alpa kalau umat agama lain yang masih minoritas di negeri ini pun menjalani ritual keagamaan mereka -inginnya- sama khusyuknya seperti yang saya dan teman-teman lain lakukan saat melakoni ritual keagamaan kami masing-masing. Kesadaran dan kepedulian memang (masih) harus terus-menerus kita gugah. Sebab, kita manusia sudah semakin sering lupa.
Sepertinya, mulai saat ini, sepertinya saya harus membuang jauh-jauh keinginan berkunjung ke Borobudur saat perayaan Waisak kalau niatnya cuma mau lihat-lihat atau foto-foto saja.
prince said:
Catatan yang sangat bagus, aktual dan menginspirasi dari penulis. Tapi berdasarkan contoh kasus, saya kok memiliki kesan seakan2 penulis menganggap para oknum, pelaku tanpa etika,ini adalah muslim semua ya? Mudah2an saya salah sangka atau memang saya gagal paham.
δικα ςταΓκεγ said:
Konspirasi 😀
Perlu dicatat, Borobudur tempat umum, tempat wisata. beda dengan Masjid, Gereja, Pura, Quil, Wihara dst… Untuk Sholat Ied, memang juga ditempat umum, dijalan, bagi yang ingin mengabadikan juga dipersilahkan. Begitupun digereja,, sampai stasiun TVpun dapat meliputnya. sedangkan untuk Borobudur??? Sebagai analoginya, misal di monas, ada semacam Tabligh Akbar, banyak para fotografer, stasiun TV yg meliput, orang pacaran, pedagang asongan, penjual kopi keliling, sampai pengemis. Lantas apa merekapun diusir dari area wisata? Bagaimana jika dilihat diluar ranah Agama? berapa kerugian yang diterima mereka, warga setempat, pedagang, tukang parkir, hingga mereka yang memang jauh2 akan berwisata ketempat tersebut?
Untuk Mayoritas, kita lihat di Myanmar, disanapun Umat Islam dibantai, jangankan untuk beribadah, untuk tidur saja mereka harus bertaruh nyawa. Kenapa anda harus jauh2 ke jepang untuk membandingkannya?
ivanprakasa said:
tulisan yg bagus…. sangat menyedihkan melihat toleransi beragama sekarang ini. Kebebasan beragama sudah tidak lagi bisa dimiliki setiap orang… Kapan ya bangsa Indonesia benar2 bisa saling menghargai satu sama lain?! Hope it will happen someday
Fotodeka said:
bro aku kudu komentar apa soal ini?
:)))
eniwei sejak 2009 daku kesini melihat waisak, mungkin yang tahun ini lebih parah sekali banget minta ampun.
oh ya masnya mesti baru pertama yaa?? dateng? 😛
ary amhir said:
6x datang sejak 1999
Fotodeka said:
nah kan, mesti si om Ary paham khidmatnya tahun-tahun sebelumnya 😀
puji said:
hah 6x dateng??? ngapain?? orang ibadah kok ditontonin sih….lha kok malah sampeyan yang kayaknya seneng melihat orang ibadah dijadikan obyek wisata sendiri? tulisane karo kenyataan kelakuane kok ya ngga singkron.
:))))))))
Pingback: Refleksi Waisak 2013 - Wego Travel Editor's Desk
sonya said:
Saya sebagai umat Buddhis sangat terharu membaca banyak tanggapan yang positip dari para umat Agama lain. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan simpatinya. Sedangkan untuk komentar2 yang negatip biarlah tidak perlu saya masukkan ke dalam hati.
putra said:
Tiap tahun keluhannya selalu begini…dan kebetulan event yg kmren sy jg kesana & jd saksi gmn sesak & semrawutnya disana.
Sikap pengunjung memang perlu dibenerin, baik yg fotografer ato bukan, baik yg domestik ato pun mancanegara. Sebenarnya banyak kok pengunjung yg dah tertib & menghormati mereka yg beribadah, tp ya masih ada jg yg seenaknya ky yg dikeluhkan di artikel itu. Mereka sering lupa klo ini sebenarnya prosesi ibadah yg sakral & harus dihormati. Ternyata bagi sebagian org Indonesia/Asing bertoleransi itu masih menjadi hal yg sulit….
Pihak panitia jg perlu berbenah. Klo mo acaranya dibikin khusyuk & khusus untuk prosesi keagamaan ya jangan bikin id card buat pengunjung yg jumlahnya pe ratusan (ato mlh ribuan??) dan itu bs bebas diambil & free. Masa ada pihak yg sekali ambil id card bisa pe ratusan biji, kan ga lucu…Ada pihak laen lg yg sengaja ambil banyak trus ambil keuntungan dgn dijual lg melalu jasa2 tour & sejenisnya, rakus amat brg yg gratis jd brg jualan…ckckck. Dr sgtu banyak id card pe akhirnya banyak jg yg tersisa jd ga kepake krn disimpen sendiri buat rombongannya oleh pihak2 tertentu…miris.
Itu td baru pengunjung yg masuk pk id card, belum lg pengunjung yg masuk melalui pintu loket candi yg memang sengaja tetap dibuka selama event kmren. Tinggal bayar 30 rb dah bs masuk & liat eventnya dah. Nambah lg kan pengunjungnya…dan jelas makin sesak & semrawut.
Benernya semua balik lg ke niat awal bikin event sih, mo menjadikan khusus hanya sebagai prosesi ibadah yg khusyuk ato emg menjadikannya sbg event wisata tingkat nasional ato malah internasional yg bs bebas dikunjungi sp aja?? Ini dia yg sejak awal sy liat msh rancu batasnya. Dr setiap pilihan itu emg ada kelebihan & kekurangannya sih.
Klo mo dibikin lebih khusyuk dan terhindar dr para pengganggu ya gampang aja, tinggal atur & perketat sp aja yg bs masuk lokasi event. Jangan kasih id card secara gampang & bebas, tutup loket pengunjung candi selama event dan kasih pengumuman dr jauh2 hari klo eventnya hanya khusus untuk yg merayakan. Makin dikit & terbatas pengunjung berarti kan makin mudah buat panitia mengatur sikap mereka. Sy yakin pasti bisa kok, jd biar ga ada lg keluhan yg sama tiap tahunnya.
Yah itu aja sih dr pandangan sy…hehee. Moga event tahun2 selanjutnya selalu tambah baik & lancar.
FYI : sy kmren iseng2 mencoba masuk lwt pintu 7 dgn gabung rombongan arak2an prosesi, tp dua2nya digagalkan pak & bu polisi yg dgn ramahnya bilang “mana id cardnya mas?” hahahaaa…Nah itu kan menunjukkan klo mereka sebenarnya bisa mengawasi pengunjung yg pk id & ga. Tapiiii….id yg dibagi2kan banyak & pintu loket candi tetap buka ya sama aja msh bs masuk jg dgn 30 rb….hehee
Pingback: Are Indonesians Becoming More Insensitive and Ignorant? | IPA Voices
missyellow05 said:
Saya baru baca tulisan ini. Bagus dan sangat menyentil.
Karena saya ada diantara ribuan wisatawan yang hadir di Waisak thn ini (walopun sbnrnya ga pantes dibilang wisatawan krn ini bukan acara wisata ya?). Walopun saya bukan fotografer, dan saya juga (merasa) tidak menggangu, tapi saya yakin kehadiran saya dan teman-teman saya bisa dibilang ikut ‘mengganggu’ kekhusyukan ibadah umat Budha.
Mudah-mudahan tulisan ini bener-bener bisa jadi masukan buat para panitia penyelenggara. Bener kata mas Putra yang di atas saya ini, pihak walubi memang menyediakan ID bebas untuk non-Budha. Atau kita bisa masuk dengan biaya 30rb jika tanpa ID. Ya samimawon tho. Dan apakah pihak panitia penyelenggara juga bermaksud komersil dengan menjual lampion yang sangat banyak. Mereka bilang : ‘jangan khawatir, kami menyediakan ribuan lampion’. Dan teman saya juga ada yg bisa membeli via online. Apa itu bukan niat komersil pihak panitia juga? Karena sebagian besar, wisatawan yang datang ya untuk melepasan lampion tersebut.
Well anyway, ga mau jd nambah panas. Walopun udah cukup basi klo masih dibahas. Tapi tanpa mengurangi rasa hormat, saya pribadi, mewakilkan teman-teman saya yg kmrn ikut hadir, ingin menyampaikan maaf sebesar-besarnya atas maksud me-wisata-kan acara agama Budha. Tapi ini adalah suatu bentuk pengalaman, yang bisa diamanahkan ke orang lain untuk bisa lebih menghargai. Mudah-mudahan Waisak tahun depan akan membaik 🙂
Salam.
http://yellowrangersdailydiary.wordpress.com/2013/05/30/vesakh-day-2013/
winnymarch said:
setuju,, tulisannya langsung to the point
Rental Mobil Yogyakarta said:
Tulisannya sangat BAGUS dan BERMANFAAT,
SUKSES SELALU.
Dari:
Alif Group (Car’ n Motor cycle Rental)
http://rentalmobilyogyakarta.blogdetik.com/
0274 – 6959 520 (Flexi), 0274 – 743 4961 (Flexi), 0878 6053 4593 (XL)
Pingback: Puasa Para Penindas | Readingbiograph.com
jersey bola said:
I love it when individuals get together and share ideas.
Great website, continue the good work!
new7paradise said:
menarik blog ini. coba perkuat jaringan kita dengan ikuti program yang lagi diadakan sama Tempatnya Juragan Kumpul
untuk info lebih lanjut, coba lihat link ini
http://www.nusapalapa.com/index.php?action=news.detail&id_news=24&judul=Kerjasama%20Pemasangan%20Link
Pingback: Puasa Para Penindas | Reading Biograph
Pingback: Waisak dan Manten Katolik | Catatan Umat Biasa
Johna628 said:
Awesome article post.Thanks Again. Much obliged. gdkeddegcadf
Johnf189 said:
I like the helpful information you provide for your articles. Ill bookmark your blog and check again right here frequently. I am quite certain Ill be informed many new stuff proper right here! Best of luck for the next! ecfkddecafed
Pingback: Kalau Fotographer Beli Lensa Seperti Ivan Makarov | save picture
Pingback: Ketika Waisak Jadi Obyek Wisata – adinwardhani