Judul di atas adalah buku terbaru karya kawan saya, Handoko Widagdo yang sudah lebih sebulan di tangan saya. Namun karena kesibukan dedlen dan banyak perjalanan dadakan, baru sempat saya rangkum isinya hari ini.

Kumpulan tulisannya ini terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama tentang kondisi kaltara terkini, hambatan sebagai propinsi yang baru tumbuh dan jauh dari pusat pemerintahan, sekaligus usaha untuk mengatasi keterbatasan tadi. Fokusnya tak jauh dari apa yang digeluti Pak Han, sektor pendidikan, pertanian, dan pedesaan. Kalau Anda pernah membaca tulisan-tulisannya yang banyak tersebar di koki, baltyra, Kompasiana, indonesiana, maka tulisan di bagian pertama ini terasa ‘berat’, sarat data, dan agak membosankan. Biasanya Pak Han menuliskan kisah bergaya fiksi dengan anekdot lucu nan ironis. Di bagian ini, gaya itu menghilang dalam sungai informasi yang didapatnya langsung di lapangan atau mengutip data media lokal.
Gambaran hambatan tentang terbatasnya transportasi misalnya, dari ibukota kaltara, Tanjung Selor, menuju ibukota negara harus ditempuh lewat dua kali penerbangan. Begitu juga transportasi lokal yang masih banyak menggunakan sungai. Kondisi ini tentu menghambat pasokan barang sehingga perekonomian tidak berkembang maksimal. Akses pendidikan dan kesehatan juga kurang. Pak Han berkisah banyak guru SD yang hanya tamatan SMA, dan baru melanjutkan jenjang pendidikan selama dalam proses mengajar di sekolah.
Lalu tentang rendahnya kemampuan anak SD membaca di desa-desa kaltara. Bukan hal aneh jika menemui anak kelas 2-3 SD yang belum lancar membaca. Kondisi ini mengingatkan saya akan perjalanan ke pulau-pulau kecil di Kepulauan Banda bertahun lalu. Bukan hal aneh jika melihat anak kelas 3-4 bahkan 5 SD belum lancar membaca. Kemampuan mereka berhitung juga sangat buruk. Apalagi banyak orang dewasa yang mengandalkan kalkulator untuk berjual beli di pasar. Kata mereka, tak masalah tak pandai berhitung, kan ada kalkulator :-p
Kalau Anda punya cukup ilmu dan ingin mewariskannya kepada yang membutuhkan, mungkin desa-desa di kaltara jadi pilihan yang menarik sekaligus menantang. Anda dapat datang sebagai relawan pengajar, atau mendaftar menjadi guru di sini. Atau Anda memiliki buku-buku bacaan bermutu, maka dapat menyumbangkan ke sekolah-sekolah di sini.
Hal yang sama pada Anda yang baru lulus pendidikan dokter spesialis, dan ingin menyumbangkan kemampuan Anda, rumah sakit dan puskesmas di kaltara bisa menampung Anda. Tentu saja Anda harus lulus tes PNS dulu. Berdasar data yang dikumpulkan Pak Han, tahun lalu hanya ada 2 dokter spesialis yang mendaftar sebagai PNS, dan cuma satu yang lolos tes di kaltara.
Sebagai gambaran satu-satunya RS bertipe B hanya ada di Tarakan, sedang RS kabupaten baru bertipe C. Mungkin itu sebabnya mengapa sebagian warga kaltara yang mampu secara ekonomi lebih memilih berobat ke Jawa atau Malaysia. Walau, kini Pemda setempat sudah mengadakan program dokter terbang atau jemput pasien. Namun dana uang dibutuhkan cukup tinggi.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, Bupati Malinau -seorang cendekia, politisi dan budayawan- dengan berani mencanangkan pembangunan berdasar kebutuhan rakyat (bottom-up atau pembangunan pastisipatif). Dengan begitu, pembangunan bukan sekedar buang anggaran dari pusat, atau membuat proyek-proyek mercusuar, atau proyek yang ditentukan pemerintah pusat, tapi benar-benar ide sesuai kebutuhan daerah.
Pada bagian kedua buku lebih banyak membahas tentang wisata dan budaya lokal. Mula-mula Pak Han mengajak pembaca berkeliling ke museum-museum di kaltara, baik yang berada di Tanjung Selor, Tarakan, dan Bulungan, lengkap dengan sejarah yang melatarinya.
Lelaki penyuka kuliner ini juga mengisahkan beberapa warung kopi dan cafe di Tanjung Selor yang kerap digunakan penduduk lokal untuk kongkow, nongkrong, termasuk rapat tak resmi pegawai daerahnya. Ada kedai kopi Aliong, Hidung Merah, lalu Cafe Orange Dan La Bolong. Meski pemilik kedai minum ini kebanyakan orang Tionghoa, namun kondisi kaltara justru jauh dari SARA.
Pada bagian akhir buku banyak dibahas tentang sejarah pembentukan propinsi termuda ini, siapa saja penduduk lokal dan pendatang, serta mengapa suku-suku lokal seperti Orang Bulungan, Dayak Kenyah, Orang Tidung kurang berani menonjolkan diri dengan identitas lokalnya.
Bagi penyuka sejarah, etnografi atau antropologi seperti saya, bagian ini justru menarik, karena banyak hal yang belum saya kenal. Begitu anya yang harus saya pelajari untuk memahami keanekaragaman yang nusantara yang kaya suku, bahasa daerah, dan tradisi ini. Setidaknya dengan demikian saya dapat lebih toleran dan tidak gampang nyinyir melihat tampang presiden saya, Joko Widodo kerap berganti kostum di acara kenegaraan. Justru membuncah rasa bangga. Saya juga tak termakan isu melihat lembar kertas 75 ribuan baru yang bergambar aneka pakaian daerah, mengira Orang Tidung sebagai dikira Orang China. Asal tahu saja di banyak belahan Kalimantan sudah terjadi akulturasi budaya lewat pernikahan antara orang asli seperti Dayak, Banjar, dengan pendatang asal Tiongkok sejak ratusan tahun lalu. Kala itu banyak orang Tiongkok daratan meninggalkan kampung halaman demi bekerja di pertambangan yang dibuka pemerintah Hindia Belanda sebagai kuli dan tenaga kasar. Jadi sudahi saja perasaan anti ini anti itu. Tak membawa kebaikan apalagi kebahagiaan. Justru Anda bisa sakit, menderita dimakan rasa dendam, benci, dan sakit hati.
Selamat membaca dan salam damai-bahagia :-p