Kalau aku berjalan kaki dari kawasan wisata Kaliurang menuju Dusun Kinahrejo, memasuki Kinah, keluar dari gapura, berjalan dua tiga langkah, akan berjumpa dengan sebuah rumah di kanan jalan. Ada lampu disanggah sebuah tiang di depannya, dua buk, tempat duduk dari batu, lalu sebuah jalan setapak setipis badan, di samping bangunan bertembok.

pencari rumput di kinahredjo/foto: ary amhir

Lewat jalan setapak itu aku berjalan, mengabaikan rumah tembok di depan dan kanan jalan, melewati kandang sapi yang berisi tiga ekor lembu putih terawat subur, lalu memasuki halaman tanah. Di sana selalu, seorang perempuan setengah baya akan menyapaku, keluar dari rumah bambu berdinding tanah, sambil berkata,”Sopo yo sing teko?”

Lalu aku akan menyembulkan muka, sambil berkata, “Bu pujo, pripun kabare?”

Dan kau membalas, “Kowe to nduk, kok suwe banget ra tilik aku?”

Lalu berdua kami duduk di amben depan rumah bambu, sambil memandang sapi, combrang, anggrek, dan tanaman lain yang tumbuh subur di sisi kiri halaman rumah. Ketika udara menjadi dingin, saat kabut turun, kau akan memaksaku. “Melbu kene, nggawe-nggawe teh dhisik. Opo arep maem? Aku masak sayur tempe lho!

Sebuah tawaran manis yang tak pernah aku sia-siakan, Bu Pujo. Sambil ngeteh kita ngobrol ngalor ngidul, sambil menunggu Pak Pujo pulang. Lalu satu per satu tamu datang. Siapa lagi kalau bukan mereka yang rindu mencecap hawa Kinah, Mbebeng, dan Merapi di akhir pekan. Suasana mulai riuh. Namun kau selalu memberiku bantal terempuk, selimut atau sleeping bag terhangat menjelang tidur, kadang malah kita berbagi bantal dan selimut.

Ada kalanya kau minta dipijit dulu sebelum tidur. Ada saja keluhanmu. Yang bahumu pegal karena setiap hari ngarit, mencari rumput bagi ketiga ekor lembu. Atau kecapekan setelah membersihkan kebon. Sambil kupijit kau pun mendongeng. Tentang Merapi di masa lalu. Tentang anakmu, menantumu, dan cucumu. Seolah hidup berputar cepat. Tahu-tahu orang di sekitarmu telah tumbuh. Namun kau merasa sama seperti dulu.

Gerak lereng Merapi memang lambat. Menyajikan keseharian yang itu-itu saja. Namun karena itulah kami, yang mengaku orang kota, selalu ke sana ketika dilanda jemu. Kami selalu merindukanmu di saat merasa terasing dan tak kenali diri lagi. Dan kau, Pak dan Bu Pujo, akan menyambutku dengan keramahan tanpa pemanis buatan. Sikapmu menyejukkan, nyemanak, padahal kita dudu kadang dudu sanak.

Rumah di depan gapura, dengan jalan sempit, dan lampu penerang jalan digantung pada sebuah kayu itu katanya sudah habis dilalap awan panas. Wedhus gembel melantakkannya. Aku tak melihatnya. Dan aku tak melihatmu juga. Kepergianmu yang tiba-tiba, kehilanganmu yang menyesakkan, membuatku tak bisa menengok ke belakang.

Bu, Pak Pujo, aku tak mampu ke sana lagi. Memandang rumah sunyi tanpa keramahanmu. Memandang kandang sapi yang kosong. Dan kebun combrang yang menyisakan pedih. Bu, Pak Pujo, aku tak bisa kembali. Melalui jalan itu lagi, menuju Kinahrejo lewat hutan wisata Kaliurang. Lalu keluar melalui gapura, sedikit di depan rumahmu.

Maafkan aku Bu, Pak Pujo, aku pun sesunyi rumahmu.

28 oktober 2010