Tradisi menyambut datangnya Tahun Baru Jawa tak hanya dilakukan lingkungan keraton, tapi juga masyarakat gunung. Setiap menjelang 1 Suro, ribuan pendaki gunung menyerbu Gunung Lawu. Mayoritas adalah anak muda dan para pencinta alam. Sisanya, para peziarah yang datang dari berbagai kota di Pulau Jawa dan Bali untuk melakukan ritual perayaan malam 1 Suro di atas ketinggian 3.265 meter itu.

Tawangmangu menjelang 1 Suro. Terminal bus begitu padat oleh para penumpang yang turun dari bus jurusan Solo-Tawangmangu. Colt-colt jurusan Cemoro Sewu pun sarat penumpang. Sebuah colt berkapasitas 12 orang dipaksa mengangkut 20-25 orang. Tak seorang pun protes. Yang penting sampai ke tempat tujuan. Hiruk-pikuk ini berlangsung sepanjang malam, bahkan dimulai seminggu sebelum dan berakhir seminggu sesudah 1 Suro.

Sementara di pinggir pasar, penjual bunga panen pembeli. Para peziarah dengan perlengkapan seadanya. Lelaki, perempuan, sebagian lanjut usia, mencangking tas kresek, bersandal japit, dengan tangan menggenggam tongkat kayu. Mereka sengaja datang untuk melakukan ritual tahunan, memohon keselamatan kepada Dewata, agar dianugerahi keberuntungan dan keselamatan di tahun mendatang, tak lupa bersyukur atas karunia di tahun kemarin.

Seorang kernet colt menghampiri saya. “Cemoro Sewu, Mbak !” Tanpa membuang waktu, ransel saya jinjing lalu segera berlari menuju colt yang setengah kosong itu. Tak berapa lama, colt pun penuh. Tiga pemuda bergelanyutan di pintu, sisanya berdesak-desakan di dalam. Saling pangku, bersenda gurau. Mengusir kesunyian di malam yang menggigil itu.

Mitos

Lawu memiliki sejarah yang panjang sebagai gunung yang dikeramatkan. Aneka mitos dan legenda menyelimuti gunung yang berada di perbatasan provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah ini.

Ketika Raden Fatah dari Kerajaan Demak menyerbu Majapahit untuk menyebarkan ajaran Islam, Prabu Brawijaya V yang saat itu menjadi raja Majapahit disertai pengikutnya yang setia melarikan diri ke Gunung Lawu. Mereka menolak memeluk agama baru itu, dan terus mempertahankan tradisi Hindu di puncak gunung. Kini, banyak ditemukan petilasan Brawijaya V berserta legenda yang menyertainya di sepanjang puncak Lawu. Hargo Dalem –pos terakhir sebelum menuju puncak– misalnya, diyakini menjadi istana Brawijaya V selama dalam pengungsian. Sementara Pawon Sewu –tanah  lapang yang luas sebelum menuju puncak—adalah kuburan para pengawal dan pengikut setia Brawijaya V. Raja ini dipercaya moksa –menghilang—di Sumur Jolotundo, mata air terakhir sebelum menuju puncak.

 

pesta durian dan fanta di menara, foto: mas her

Legenda Lawu juga dihubungkan dengan kisah pengembaraan Raden Sujono, bangsawan Mataram yang menolak campur tangan VOC –kongsi dagang bentukan Pemerintah Belanda sebelum menjajah Indonesia—di dalam Keraton Mataram. Dia bersama istrinya lalu menyingkir ke Gunung Lawu, sambil melakukan tapabrata agar keinginannya menjadi penguasa Mataram terkabul. Tak berapa lama, Mataram terpecah menjadi dua : Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta berdasarkan Perjanjian Giyanti tahun 1755. Sujono lalu dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta bergelar Hamengku Buwono I.

Alkisah, ketika dalam pengembaraan, Raden Sujono dan istrinya menyembunyikan seluruh perhiasan mereka di bawah pohon Liwung. Maka   lahirlah mitos, barang siapa menyimpan kayu liwung, akan menjadi kaya. Kayu berwarna coklat yang tenggelam di dalam air ini lalu banyak dicari orang sebagai jimat pesugihan.

“Kalau kita kaji, kisah ini menunjukkan bahwa orang jawa lebih suka menggunakan pengandaian halus ketimbang berterus terang. Para pengikut  Raden Sujono yang setia tidak mau mengkhianati tuannya. Mereka memilih  menggunakan pengandaian untuk mengatakan dimana harta tuannya berada,” kata Suprapto, kakek berumur 61 tahun yang saya temui di tengah perjalanan menuju puncak. Meski sudah sepuh, Prapto peziarah yang taat. Tak pernah sekali pun dia melewatkan 1 Suro tanpa mendaki Gunung Lawu. “Saya hanya melestarikan tradisi,” tutur warga Solo ini merendah.

Mitos lain yang terkenal adalah kisah tentang Sunan Lawu. Nama aslinya adalah Gusti Aria Kusuma, bekas pengikut Brawijaya V. Karena selalu haus akan ilmu, dia berguru kepada Ki Buyut Banyu Biru. Di sana dia bertemu Mas Karebet, yang kemudian menjadi Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya.  Dia lalu diangkat menjadi patih di Pajang, bergelar Patih Pancanegara. Di masa tuanya, dia bertapa di lereng Gunung Lawu bagian barat, tepatnya di Dusun Temu Ireng, Karang Anyar. Hidupnya lalu dibaktikan untuk membantu sesama dengan mengandalkan ilmu kesaktiannya. Penduduk Karang Anyar menjulukinya sebagai Kiai Ageng Atas Angin, namun dia lebih terkenal sebagai Sunan Lawu.

Awal Pendakian

Lewat tengah malam. Ratusan pendaki dan peziarah memadati Cemoro Sewu. Antrian panjang tampak di depan gerbang yang menjadi pintu masuk jalur pendakian. Dinginnya udara malam, yang hanya 10 derajat Celcius, tak mengurungkan niat mereka untuk melakukan perjalanan di malam hari. Sementara yang enggan berjalan malam, dapat menginap di rumah-rumah penduduk sambil menikmati kopi dan mie rebus atau goreng. Malam Suro menjadi berkah tersendiri bagi penduduk setempat. Mereka membuka warung dadakan, sambil menerima para peziarah yang ingin bermalam. Hanya Rp 1500 per malam, tidur beralaskan tikar sederhana di lantai yang separo membeku.

 

Mencari air ke Sendang Drajad/ foto: Mas Her

Ada dua jalur pendakian yang biasa digunakan di sini : Cemoro Sewu yang masuk provinsi Jawa Timur dan Cemoro Kandang, Jawa Tengah. Bagi yang masih muda dan tak sabar ingin segera menggapai puncak, biasanya memilih naik lewat Cemoro Sewu. Medannya berupa bebatuan yang diatur mirip tangga, sehingga waktu tempuhnya pun pendek. Sementara yang ingin berjalan santai tanpa diburu waktu dan tak kehilangan banyak tenaga, bisa lewat Cemoro Kandang. Jalurnya berupa jalan tanah yang landai, namun banyak putaran. Panjang, lama, namun tak melelahkan.

Kalau anak muda dan para pendaki lebih suka jalur Jatim, maka para peziarah, khususnya penganut Hindu dan Kejawen, lebih suka naik lewat Cemoro Kandang. Mereka percaya, gerbang di sisi barat Lawu ini merupakan pintu masuk kerajaan Sunan Lawu. Mereka lebih suka berjalan di siang hari, sambil membawa aneka sesaji dan hewan seperti ayam dan kambing untuk dikorbankan di Sendang Derajad.

Sebetulnya ada jalur pendakian yang lain. Misalnya jalur  Candi Cetho di Karang Anyar, jalur Ngawi, atau sisi Lawu lainnya. Namun hanya sedikit peziarah yang memilih jalur ini. Selain banyak percabangan, juga jauh. Belum lagi risiko berpapasan dengan macan kumbang yang konon masih bisa ditemui di sana.

Setelah menghabiskan segelas susu hangat sambil menunggu matahari agak tinggi, saya memutuskan berjalan lewat Cemoro Sewu. Saya nyelonong begitu saja sehingga penjaga gerbang tak menarik karcis masuk. Ditemani Keling, pemuda asal Solo yang saya kenal di penginapan penduduk, saya berjalan perlahan. Cuaca di awal Maret ini berubah-ubah, sebentar cerah sebentar mendung. Hujan bisa turun kapan saja. Apalagi di Lawu. Yang saya takutkan, kalau hujan itu diiringi badai. Bisa celaka saya, terpaksa menginap di tengah jalan hingga badai reda. Padahal saya tak membawa persiapan yang cukup seperti tenda dan kantung tidur. Bahkan, bekal  makanan yang saya bawa sekedarnya saja. Di bulan Suro, selalu ada warung makanan di setiap pos pendakian. Selain mie rebus, gorengan, kopi dan teh, juga dijual nasi goreng, nasi pecel, dan soto! Harganya tak jauh berbeda dengan harga di warung penduduk. Jadi mengapa mesti bersusah-payah membawa bekal dan peralatan memasak ?

Hujan yang saya takutkan turun juga saat menuju Pos II. Terpaksa saya berlari menuju Pos II sambil mengenakan jas hujan dan  payung. Sebelum terlanjur basah kuyup. Di Pos II sudah dipenuhi orang. Ada sekitar 30-40 pendaki. Malam itu kami tidur di sana, berhimpit-himpitan dalam tenda terpal seluas 3×4 meter persegi. Badai hebat melanda sepanjang malam. Untung pos yang juga berfungsi sebagai warung itu menyediakan aneka makanan untuk  mengusir dingin malam itu. Para pendaki yang merasa senasib sepenanggungan tak henti berbagi makanan dan guyonan untuk menghangatkan suasana.

 

di puncak hargo dumilah/foto: mas her

Subuh keesokan harinya Keling mengajak saya melanjutkan pendakian. Kami berjalan cepat untuk mengusir dingin. Ketika melewati Sumur Jolotundo, saya sempat melongok ke lubang air yang menjorok turun itu sejenak. Tempat moksanya Brawijaya V ini nampak sepi. Belum ada juru kunci yang berjaga di sana. Hanya ada satu-dua  pemuda yang berusaha mengambil air sambil menyalakan dupa untuk berdoa.

Kami lalu berhenti di Sendang Derajad, terpesona oleh pemandangan di sana. Ada ratusan orang, lelaki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak. Pakaian mereka pun beragam. Ada yang mengenakan celana, jaket, dan sepatu ala pencinta alam. Ada yang hanya bersandal jepit, bahkan bertelanjang kaki, dengan tubuh dililit sarung dan kepala berpeci hitam. Namun ada yang berpakaian serba hitam, dengan kain hitam mengikat kepala. Mereka para pengikut hindu dan kejawen yang masih banyak terdapat di dusun-dusun tertentu di lereng Lawu.

Mereka berkumpul mengerumuni sebuah bangunan yang dipagari tembok. Itulah Sendang Derajad, salah satu mata air di dekat puncak. Orang-orang ini antri untuk mengambil air untuk minum, memasak, atau sekedar oleh-oleh buat keluarga di rumah. Konon, air Sendang Derajad bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dulu, mereka yang bertapa akan menyempatkan diri mandi dan berendam di sini tengah malam, tujuh hari berturut-turut, agar keinginannya terkabul. Kini, para peziarah bisa mandi di sekat-sekat tembok yang sengaja dibuat dengan membayar Rp 2000. Meskipun tak banyak, ada saja peziarah yang seolah tak peduli dinginnya udara dengan mandi di sana.

“Sudah menjadi niat saya untuk mandi di Sendang Derajad saat naik Lawu Suro kali ini,” kata Suryo, peziarah dari Karang Anyar. Dengan mandi, Suryo dan peziarah lainnya berharap dapat memasuki tahun baru dengan tubuh dan jiwa yang suci. Seusai mandi, Suryo pun berdoa dan menaburkan bunga di Sendang Derajad. Beberapa orang menyiapkan tempat untuk pemotongan hewan kurban. Kain putih dibentangkan di sana. Namun, tak saya lihat seekor hewan kurban pun.

“Peziarah yang datang ke Lawu biasanya mempunyai niat tertentu. Jika niatnya  tercapai, dia berjanji datang lagi pada Suro tahun berikutnya sambil membawa hewan kurban sesuai dengan kemampuannya,” kata Mbok Martodimedjo, kuli Pasar Tawangmangu yang kerap mengantarkan peziarah naik ke puncak.

Selain Sendang Derajad, menurut Mbok Martodimedjo, ada mata air Pringgondani yang juga dibanjiri peziarah. Di mata air yang terletak 3 km sebelum Cemoro Sewu ini, para peziarah harus mandi dan berendam di pagi hari. Mereka  menceburkan diri di tujuh tempat yang berbeda di sepanjang sungai, dari timur ke barat. Setelah itu ritual dilanjutkan dengan berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa, sesuatu dengan keinginannya. “Ada yang ingin naik pangkat, mendapat jodoh, atau laris usahanya,” tutur Mbok Martodimedjo. Namun dia tak tahu berapa banyak orang yang terkabul permintaannya.

Banyak cara dilakukan peziarah agar permintaan mereka terkabul. Di Lawu misalnya, banyak peziarah yang rela menghabiskan waktu selama berhari-hari tinggal di gubuk-gubuk yang banyak terdapat di Hargo Dalem untuk menyepi. Setiap hari mereka akan mengunjungi tempat-tempat yang berbeda untuk mencari petunjuk. Itu sebabnya Lawu tak pernah sepi, terutama di saat Suro.

Selepas Sendang Derajad, kami melalui dataran luas yang dipenuhi oleh tenda-tenda pendaki. Itulah Pawon Sewu. Walaupun bekas kuburan pengikut Brawijaya V, suasananya amat ramai dan meriah. Alunan musik dari radio kaset bersahut-sahutan memecah pagi yang berkabut dan diguyur hujan rintik-rintik itu.

Menjelang Hargo Dumilah, kami melalui dua tempat pemujaan. Ada bekas dupa dan taburan kembang di sana. Beberapa pemuda mejeng, berfoto di tempat itu. Tepat di bawah bangunan itu, ada sebuah gubuk beratap seng. Dua lelaki tua dan seorang perempuan ada di dalamnya. Pakaian mereka serba gelap, dengan janggut putih menyentuh dada. “Sudah berhari-hari kami tinggal di sini, sambil menjaga tempat ibadah di atas,” kata salah seorang lelaki. Rupanya mereka juru kunci. Tangan mereka sibuk  memegang mangkuk bubur, sarapan hari itu.

Karena badai mulai turun, saya urung ke Hargo Dumilah di puncak. Lebih baik singgah di Hargo Dalem, pikir saya. Beberapa warung dari tenda terpal dan gubuk di sana seolah mengundang kaki untuk singgah. Apalagi dari balik pintu, membumbung asap yang menjanjikan kehangatan. Di sebuah warung, saya masuk memesan nasi goreng. “Kalau Mbak mau bermalam di sini, besok bisa makan sate dan gule kambing gratis,” kata ibu si penjaga warung. Karena, sore itu akan datang seorang peziarah yang membawa kambing. Saya hanya tertawa, tak mengiyakan. Tinggal di puncak Lawu dalam udara dingin begitu, mana saya tahan. Saya ingin segera turun. Kali ini lewat Cemoro Kandang.

Dalam perjalanan turun, tepatnya di pertengahan pos II dan III, saya berpapasan dengan rombongan peziarah yang membawa kambing hidup. Sama seperti manusia, kambing itu harus mendaki sampai ke Sendang Derajad. Tiba-tiba saya teringat aneka bumbu yang disiapkan ibu pemilik warung untuk memasak kambing itu. Kasihan kambing ini, pikir saya. Sudah capai-capai mendaki gunung, sampai di atas ternyata cuma akan dikurbankan. (ditulis untuk mengenang alm. mas her dan kebersamaan saat naik gunung)