Malam pekat. Hamparan bintang di langit yang cerah tak mampu menyibak kegelapan di bawahnya. Savanah tetap gulita. Sesekali cahaya memercik dari sorot lampu mobil yang melintas jalan raya. Hanya sesekali, sebelum suasana kembali nyenyat dan mencekam, diusik lenguh kerbau liar dan deru angin dari jauh.

Kami sudah mulai merebahkan badan di menara pandang yang kedua. Ini malam kedua kami di padang rumput Lanowulu. Gemercik Sungai Laea mengalun. Baru saja lilin hendak ditiup ketika dua motor jagawana berhenti di bawah menara. Seorang jagawana yang mencangklong senapan AK menaiki tangga.

“Adik darimana?” tanyanya curiga. Begitu membaca surat ijin penelitian yang kami angsurkan dan mengetahui siapa kami, dia pun berubah ramah.

“Maaf,” lanjutnya, “saya hanya ingin bertanya apakah adik melihat jeep putih yang melintas tadi?”

Padang Rumput Lanowulu

Kami saling berpandangan. Seperempat jam lalu ada mobil berwarna terang berhenti tak jauh dari menara. Hanya beberapa menit, dan nampak mencurigakan gelagatnya.

“Benar berhenti? Dimana? Kapan? Kemana perginya?” tanya jagawana itu tak sabar. “Mereka pemburu liar, Dik. Kami baru dapat laporan dari kapolsek kalau penumpangnya membawa senjata api,” katanya sambil berlalu. Dia bergegas pergi, menyusul teman-temannya meninggalkan menara pandang.

Malam hari di Lanowulu bisa menjadi mimpi buruk. Di gelap malamlah para pemburu liar mulai melancarkan aksinya, kucing-kucingan dengan para jagawana, untuk berburu jonga. Iya, jonga si rusa liar yang jinak ini gemar merebahkan tubuh langsingnya di jalanan beraspal yang dingin di malam hari. Mereka tak sadar sedang bermain mata dengan sang maut.

Berdasarkan buku laporan tahunan TN Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara tahun 1999, ada lebih 10 ribu ekor jonga. Jumlah ini kemudian menurun drastis setiap tahunnya. Pada 2009 misalnya, jumlahnya berkurang 10x lipat. Jonga menjadi makhluk langka, akibat ulah pemburu liar yang merajalela. Lanowulu tak lagi dihormati sebagai taman nasional, tapi diperlakukan mirip taman berburu.

Para jagawana mengaku kesulitan mempidana pemburu liar yang ditangkap. “Wewenang kami hanya menangkap hewan buruan dan memusnahkannya. Sedang pemburunya kami serahkan ke polisi setempat,” jelas Soudale, petugas resor Lanowulu.

Umumnya pemburu akan dilepas polisi setelah membayar sejumlah uang. Tak ada sanksi hukum yang dikenakan, apalagi jika si pemburu kenalan ‘orang besar’ di sana.

Perburuan liar jonga di sini memiliki kaitan sejarah yang amat panjang. Mulanya, padang rumput seluas 30.000 ha ini adalah taman buru. Beberapa tokoh politik Indonesia dan dunia pernah menyalurkan hobi berburunya di sini. Hewan buruan idola tentu saja si jonga, rusa padang rumput atau dikenal sebagai Cervus timorensis.  Selain dagingnya lezat, liat dan tak berlemak, hewan ini juga amat jinak. Dia tak peduli jika ada manusia mendekat, terlebih jika sedang makan rumput kesukaannya.

Sejak Lanowulu ditetapkan dalam kawasan TN Rawa Aopa Watumohai tahun 1990, semua hewan liar di sini dilindungi. Namun para pemburu liar tak kehilangan akal. Adanya jalan poros Tinanggea-Kasipute yang membelah kawasan TN, memperlancar aksi para pemburu liar.

Pemburu dengan mudah menyaru menjadi penumpang kendaraan pribadi biasa, lalu mendadak berhenti di tengah kawasan TN, mengeluarkan senapannya, menembaki rusa, mengangkutnya dan menyembunyikannya di dalam mobil. Mereka piawai mengelabui para jagawana yang memeriksa setiap kendaraan yang keluar masuk TN, baik dari arah Tinanggea maupun Kasipute.

“Tenaga kami terbatas, Dik. Hanya ada belasan petugas untuk mengawasi daerah seluas ini. Anggaran yang kami dapat pun terbatas,” alasan Soudale tentang lolosnya banyak pemburu liar.

Belasan jagawana ini harus berbagi jam kerja, siang dan malam. Bertugas di malam hari tentulah lebih berat. “Para pemburu itu nekad-nekad. Tak segan-segan mereka menembaki petugas jika tertangkap basah.” Pantas, petugas pun enggan menurunkan AK-nya.

Jonga adalah primadona padang rumput ini. Pagi itu dari atas menara pandang,  kulihat puluhan rusa berkumpul jauh di padang rumput bawah, melahap makanannya. Di tengah hari yang terik, jonga-jonga berteduh di kerimbunan pepohonan dekat anak sungai.

Selain rusa, ada juga anoa dataran rendah atau Bubalus depressicomis dan aneka burung air seperti aroweli, bangau putih dan hitam, yang terbang menuju hutan bakau.

Lanowulu juga kaya akan tetumbuhan, seperti alang-alang, agel, lontar, dan bambu duri. Padang rumput ini merupakan penghubung antara pegunungan rendah –Gunung Watumohai dan Mendoke– dengan daerah pantai berhutan bakau. Butuh berhari-hari menjelajah padang ini, karena harus ditempuh dengan berjalan kaki. Panasnya udara merupakan tantangan tersendiri.

Kami sempat menuju Gunung Watumohai yang memiliki ketinggian 550 meter dari permukaan laut. Butuh enam jam berjalan kaki dari menara pandang kedua menuju gunung itu, menyusur tepi Sungai Laea. Dalam perjalanan, sesekali kami bersua Orang Hokaea, yaitu masyarakat Suku Moronene yang tinggal di perkampungan di kaki gunung.

Dulu, orang-orang Hokaea tinggal di kampung lama yang berada dalam kawasan TN. Meletusnya pemberontakan DI/TII memaksa mereka meninggalkan kampung tercinta. Belakangan, banyak warga suku yang menyerobot masuk ke dalam TN, mendirikan rumah dan membuka kebun.

Wajah-wajah curiga menyambut kami begitu memasuki perkampungan mereka. Namun begitu tahu maksud kunjungan kami, sikap mereka berbalik 180 derajad. Bahkan, mereka jamu kami dengan memotong ayam.

‘Maksud kami baik, mau pulang kampung, hidup seperti dulu. Namun kami ditangkap, ditahan, dan kampung kami dibakar.” Seorang penduduk mengeluh. Hokaea hanyalah satu dari banyak kasus yang bermunculan di TN, sengketa antara pihak pemerintah selaku pengelola TN dan masyarakat adat setempat. Sengketa sengit ini telah berlangsung bertahun-tahun.

*Lanowulu sulit dijangkau dengan angkutan umum. Hanya ada dua jadual bus damri dari Kendari menuju Kasipute dalam sehari. Pertama bus yang melalui rute Motaha, Angata, Tinanggea, dan Kasipute. Kedua, bus yang melalui rute Kendari, Punggaluku, Palangga, tinanggea, Kasipute. Bus tersebut berangkat padat jam tertentu dan sarat oleh penumpang.

Ada alternatif  lain seperti menumpang truk. Namun perjalanan akan terputus-putus dan membutuhkan waktu lama. Satu-satunya penginapan di Lanowulu adalah Wisma Cinta Alam milik jagawana, atau langsung tinggal di menara pandang. Sebaiknya pendatang membawa bekal makanan yang cukup karena tak ada penjual makanan di sini.

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Ozon