Tags
Watak sebuah bangsa dapat dilihat dari makanan yang disantapnya. Di Timor Leste, orang suka makan pao, penganan seperti bakpao, besar putih, tapi tanpa isi, tanpa rasa, keras dan liat luar biasa kalau sudah dingin.
Dulu, sebelum joging ke Christo Rei, Bos saya Om Francisco Araujo Lei akan mampir ke kedai dekat Bidau. Sejak pagi-pagi buta rumah sederhana yang mirip gubuk itu telah dikerubuti banyak orang. Tua-muda, nenek-nenek, anak-anak, laki-perempuan. Mereka antri untuk membeli pao, menu sarapan pagi khas orang Timur Leste. Tak berapa lama Om Fran pun keluar, menenteng dua plastik besar berisi penganan serupa bapao. ‘Masih panas, pasti enak, di dalamnya ada kacang hijau lagi,’ pikir saya tak sabar mencoba. Namun kami harus bersabar sampai waktu sarapan tiba. Bos yang satu ini amat disiplin, segala hal harus berada pada tempatnya. Kalau tidak, penyakit marahnya akan kumat.
Saat makan pagi, setelah joging dan mandi, kami pun menyerbu meja makan. Perut yang melilit tak sabar untuk melilitkan pao di mulut. Betapa terkejutnya saya, saat melahap pao itu, liatnya minta ampun. “Ini roti atau karet,” protes teman saya.
Selain liat, sulit dikunyah, dan menyakitkan gigi, pao juga tanpa rasa. Itu sebabnya kami memakannya setelah mencelupkannya ke dalam teh manis atau kopi. Belakangan kami mengolesinya dengan mentega dan gula sebelum menelannya. Kalau pao terasa amat liat, kami terpaksa menggorengnya.
Sejak pagi itu sarapan pao menjadi hal yang rutin. Om Fran nampaknya tak peduli perut kami yang biasa diisi nasi semakin melilit tatkala diisi pao. “Ini makanan bergizi, banyak vitaminnya,” selalu begitu alasannya setiap hendak sarapan, sambil memegang sebuah pao yang harganya 10 sen dolar itu. Kami pun mulai protes. Pao di meja makan semakin banyak yang tersisa. Diam-diam kami membuat mi instan atau membeli nasi bungkus di pasar, 50 sen dolar sebungkus. Tinggal Pedro, pembantu setia Om Fran, yang mau memakannya. Mungkin karena dia asli Timor dan terbiasa makan pao sejak kecil. Kadang terbersit keinginan untuk menyantap pao cina yang berisi kacang tumbuk atau kacang hijau.
Teman kami, perempuan keturunan Tionghoa asal Surabaya, dan menikah dengan cina Timor Leste anak buah Om Fran, rupanya tanggap dengan keinginan kami. Suatu hari dia membuat bapao goreng isi kacang dan selai. Makanan ini tandas dalam sekejap. Sejak saat itu dia mulai berjualan penganan seperti bapao, pisang goreng, dan pastel, serta nasi bungkus. Lagi-lagi dagangangannya disukai orang. Sejak pukul 6 pagi orang sudah antri membelinya. Mirip yang terjadi dengan penjual pao di Bidau dulu. Sayang tacik yang baik hati ini terusir dari rumah Om Fran gara-gara dagangannya terlalu laris.
Orang Timor Leste haus akan makanan dan masakan enak. Warung makan seburuk apapun di Dili selalu ramai oleh pengunjung. Itu sebabnya banyak orang Jawa, Padang, Makasar yang membuka bisnis makanan di Dili. Warung makan mereka selalu tandas habis, kadang malah sudah tutup sebelum jam 8 malam. Walau warung kelas kampung, harga makanan tergolong mahal untuk kocek Indonesia. Bakso misalnya semangkok dihargai dua dolar, es teh segelas satu dolar, es alpukat segelas dua dolar, nasi campur plus ayam sepiring dua setengah dolar. Yah, semua memang serba dolar. Tapi tak pernah sepi peminat.
Ada juga restoran international yang dikelola buat warga asing atau mereka yang berkantong tebal untuk ukuran Timor Leste. Restoran ini terletak di sepanjang pantai, mulai Avenida de Portugal, Avenida Governado Alves Aldeia, hingga Avenida Dos Direitos Humanos yang menjorok mendekati Christo Rei. Restoran dan bar-bar ini hanya buka di malam hari, dan pengunjungnya mayoritas warga asing. Suasananya mengingatkan Kuta dan Sanur Bali di malam hari.
Restoran langganan bos saya terletak di tengah kota, di sekitar Formosa. Restoran serba lima dolar ini membolehkan pembeli makan apa saja, sekenyang-kenyangnya. Mau nambah 2 atau 3 kali pun oke saja. Ke restoran inilah beberapa kali bos saya membawa kami makan, terutama jika menjamu koleganya yang dianggap penting dan kami diperlukan ambil peranan. Restoran ini pun tak pernah sepi dari pengunjung, meski tak selalu penuh dan kami tak perlu antri.
Lain lagi dengan pasar di samping rumah kami. Sejak jam 6 pagi orang sudah berkerumun membeli nasi bungkus dan penganan seharga 50 sen. Terlambat sedikit saja datang, nasi itu sudah habis. Walau hanya berisi nasi, sambal, kering tempe, daging secuil dan tahu, rasanya benar-benar nikmat. Penjualnya ternyata orang Semarang yang menikah dengan orang lokal, dan tak bisa kembali ke Indonesia karena terjebak kondisi paska jajak pendapat.
Ketika juru masak di rumah kami diberhentikan karena menderita tbc, penjual nasi itu bersedia menjadi penggantinya. Betapa bahagia kami saat itu karena makan siang dan malam terasa lebih sedap dan gurih. Hari-hari panjang menyantap kangkung tanpa rasa dan tempe-tahu goreng bumbu garam usai sudah. Maklum, juru masak kami yang lama, benar-benar tak tahu cara memasak yang lezat. Tahu dan tempe hanya digoreng setelah diolesi garam, kadang malah langsung digoreng begitu saja. Sedang sayuran hanya dipotong-potong, lalu direbus pakai air garam dan kecap. Kadang terpaksa kami memasak sendiri, meski hanya menggoreng telur atau membuat mi instan demi mendapatkan rasa yang berbeda.
Pernah kami mengajarinya memasak dengan bumbu-bumbu sederhana, tapi dia hanya memandang. Ketika kami ajak mencicipi hasil masakan kami, dia begitu menikmati dan memakannya dengan lahap. Kami pun bahagia dan berharap dia akan memasak yang berbeda keesokan harinya. Namun ternyata dia kembali ke kebiasaannya semula, memasak tanpa rasa. Mungkin dia lupa, atau malas. Entahlah. Saya jadi teringat pada pao, santapan liat kami setiap pagi.
maria said:
Saya menikmati tulisan Mbak mengenai Timor Leste. Kadang membuat ketawa juga. Kebetulan sedang mencari infomarsi mengenai kota Dili dan Timor Leste. Minim sekali informasi mengenai hal ini. Beberapa pertanyaan untuk Mbak (kalau berkenan):
1.bagaimana peluang usaha di Dili, usaha sekala kecil seperti membuka rumah makan/restoran, bukan resto yang high class tapi sedang2 saja sesuai dengan daya beli masyarakatnya. Apakah menjanjikan ?
2. tingkat korupsi di sana ? tingkat birokrasinya bagaimana ? sulit berbelit2 atau cukup mudah.
3.biaya internet dan telp ?
Trims banget.
ary amhir said:
perlu diketahui, pengalaman saya pada th 2003-2004. kondisi sekarang tentu jauh lebih bagus. semoga 😀
1. peluang usaha makanan terbuka lebar. apapun makanannya pasti laku. warung bakso di bidau aja sore sudah tutup saking banyaknya pembeli. begitu juga dengan toko nasi padang. pada dasarnya penduduk lokal kurang pandai mengolah makanan.
2. yang penting jangan sampai visa habis, bisa dipukuli dulu dan masuk bui, setelah babak belur baru ditanya. pajak penghasilan 10% kalau tak salah. pejabat susah diajak main mata, kecuali dg bir.
3. telepon mahal, karena koneksi lewat portugal dulu baru ke timor leste. waktu saya di sana (2004), satu paket pulsa 10 dolar. pasang telpon di rumah berbelit n mahal. pake hp lebih gampang. itnet.. mending via hp saja, kalau ga ya mahal.
oke, semoga membantu. salam,
maria said:
trim yah Mbak. Iya mungkin keadaan sudah berubah jau sejak 2003-2004, makin banyak orang asing dari China dan negara lain yang investasi di sana. Cari2 caranya buka usaha dll, koq minim sekali di internet juga padahal udah lewat kementerian perdagangannya.
ary amhir said:
coba hubungi si flo di dili, dia staf kbri di sana. add aja fb-nya ‘si flo’ atau tanya via messega
maria said:
Thanks yah Mbak, tapi Flo yang mana yah ? gak ketemu di daftar staff KBRI Dili juga, terus di FB bingung deh.
ary amhir said:
saya cuma tahu namanya di fb ‘si flo’, maaf ga bisa membantu lebih jauh 😛
bela nona atambua said:
bener bgt bahwa makanan didili yg ga enak aja mahal.dah gitu masih sedikit pilihan jenis makanan. arena itu kami biasa masak dirumah.kebetulan pembantu asli TLS pintar masak.masakan portu pun enak2. coba aja insalada nya, pasta, daging olahan.
yang stres itu adalah saat berbelanja di supermarket. krn semua harus convert ke dollar.
tapi hidup di dili bener2 berasa seperti di luar negeri,banyak produk asing, produk indonesia dijual.tinggal memilih aja sesuai kocek.
ary amhir said:
tapi kalo orang pandai memasak, bisa jadi cara gampang mencari uang, dengan berjualan makanan. pasti laris
lukiman said:
hai….kak….klu blh tahu klu di sana ada martabak manis, telor atau kue pancong gak ea
ary amhir said:
dulu cuma ada bakso dan gorengan, nggak ada lainnya. entah sekarang. tapi nasi padang ada hehe
Nurul H said:
Salam kenal mbk,aq mahasiswi yang suka berbisnis kecil-kecilan,mau tanya klu aq ingin ekspor cemilan/makanan kecil ke Timor Leste birokrasinya berbelit gak ya…harus ku awali dari mana ya…oh ya mbk cemilan yang paling di sukai orang sana cemilan jenis apa ya & yang dominan rasa asin atau manis?
Tq
ary amhir said:
wah kurang tahu soal itu, ini pengalaman tahun 2004-2005
aseu said:
saya asli timor leste dan masih kuliah di jogja.saya hanya mau memberi masukan atau informasi buat mbk Nurul….klo untuk lidah orng sana kebanyakan rasa asing dan gurih dan klo manis dan ada gurih2nya ttp suka jg kok…buat yg admin blog ini saya hanya ingin menambahkan info aja bhwa di timles sekarang udah sangat bgs dr thn 2003-2004 yg pastinya.Dan untuk bisnis disana untuk saat ini pun peluang sangat menjanjikan dan tak bakal rugi!hukum disana udah sangat “jalan” dan para pendatang sangat dilindungi uud sana dan semakin profesional untuk saat ini…birokrasinya udah bgs jg dan untuk dapatkan izin usaha sangat mudah……Untuk mbk nurul yg mau berbisnis disana adalah keputusan tepat.Masyarakat sana orng2nya terlalu gengsi dan merasa sukses itu klo bisa kerja di pemerintahan atau mempunyai kursi istilahnya padahal gaji malah kalah jauh sama orng2 yg berwiraswasta.orng2 sukses disana kebanyakan saudara2 dari indonesia……sedikit masukan aja