Aku jatuh cinta pada kakao. Bukan pada pandangan pertama, tapi setelah puluhan tahun mengenalnya. Cinta yang terlambat, untung masih tersisa waktu tuk ungkapkannya.

Selama ini aku tersesat. Kakao di kenanganku identik dengan permen coklat superman yang sudah kurasa sejak umur 3 tahun. Apa itu coklat? Kakao? Ya permen coklat. Ketika SD dan menikmati majalah Bobo, barulah kutahu permen coklat dihasilkan dari pohon kakao setelah mengalami proses panjang. Tetap kakao dalam kenangan adalah permen coklat. Pohonnya hanya sekilas baca.

Kelak, ketika melakukan perjalanan ke Flores yang kedua kalinya, di tahun 2001, barulah kulihat wujud kakao sebenarnya. Sebastian Mangur menyuguhiku kakao yang dipetik langsung dari pohonnya. Buah kakao kedua kukecap sebulan lalu, saat melanglang ke Wonossalam. Saat itu cinta baru menembus jantung. Cinta yang terlambat.

Cintaku tumbuh karena iba. Ketika hujan salah mangsa sepanjang 2010, gagal panen menimpa desa-desa di Wonossalam. Cengkeh tak berbunga, pala tak berbuah, durian makin jarang dan buntet. Yang menghasilkan cuma kakao dan kopi. Soal kopi, penduduk sudah bisa menyangrai dan membubukkannya sebelum dimasukkan plastik dan dijual. Tapi kakao? Mereka baru menjualnya mentah.

“Dari dulu kami berharap bisa mengolah kakao sendiri, menjadi produk setengah jadi. Biar anak muda ada kerja,” keluh seorang penduduk, ditimpali yang lain.

Beberapa hari berselang dua kawan menunjukkan minat membeli kakao dari Indonesia. Yang satu, hendak mengimpor kakao dalam bentuk dark, white atau milk chocolate. Yang lain dalam bentuk cocoa butter. Sungguh mirip kebetulan.

Aku bukan petani, tak pernah bercita-cita jadi petani. Tanah saja tak punya, gimana mau bertani. Jangankan tanah, rumah saja numpang saudara dan famili. Yang kupunya hanya rumah spiritual, yang kusimpan di sudut hati paling sembunyi, dan selalu kubawa kemana-mana. Haha..

Aku pun bukan orang kaya, tak mampu modali petani kakao di Wonossalam. Tabungan hanya beberapa ratus ribu, yang mungkin habis dalam 1-2 bulan ke depan. Singkat kisah, aku tekadkan ke Pusat Penelitian Kakao dan Kopi di Renteng, Jember. Mencari solusi bagi petani kakao berhasrat besar tadi.

Perjalanan ke Renteng tidaklah mudah, menguras waktu, energi dan emosi. Perlu 3 kali oper bus dari Surabaya ke Jember. Begitu sampai terminal Tawang Alun, Jember, segera disambut tukang ojek dan omprengan nggragas. Mereka memaksaku bayar Rp 50 ribu tuju Puslit. Pakai acara ancam segala. Tentu saja aku melawan.

“Matamu suwek,” makiku saat mereka, yang etnis tertentu itu menghardikku dengan kasar. Lebih baik mati karena jalan kaki ketimbang menyodorkan duit ijo ke mereka. Kalau mereka rampok, aku bisa jadi korak. Kutinggalkan mereka, jalan kaki menjauh. Umpatan mereka kubalas dengan pandangan nyalang dan jijik.

Akhirnya kudapat juga ojek agak jauh dari terminal, tuju perkebunan. Di Puslit, aku disambut ramah. Sangat-amat tidak birokratis. Bu Tuti yang bagian training dan Pak Dwi yang humas mengantarku keliling penjuru Puslit. Dari bagian pembuatan mesin, pengolahan kakao paska produksi, hingga ke pabrik kecil yang mengolah kakao. Terakhir aku dibawa ke outlet yang memamerkan aneka produk kakao jadi. Mulai dari bentuk dark coklat, milk dan white coklat, hingga cocoa butter, bubuk coklat, aneka permen hingga sabun muka dan sabun pencuci tangan dari lemak coklat. Ketika aku masih bertanya ini itu, Pak Dwi mengantarku tuju perkebunan kakao dan kopi milik puslit.

Puslit kakao-kopi ini sudah tua umurnya, 100 tahun. Tapi aku baru tahu dan melihat sendiri sekarang. Ada lebih seribu orang bekerja di sini, melakukan penelitian, agar hasil pertanian meningkat. Soal kakao, puslit telah melatih petani dari Aceh hingga Papua, namun mengapa mutu kakao tetap rendah?

Konon Indonesia masuk negara ke-3 penghasil kakao terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sayangnya produk kakao Indonesia rendah mutunya, masuk golongan 3-4. Itu karena petani ‘alpa’ melakukan proses fermentasi paska panen. Mereka terburu menjual produknya ke tengkulak dan pengepul. Ingin segera menikmati doi alias duit. Apalagi pembeli jarang peduli dengan mutu kakao. Kerap mereka membeli kakao kering maupun terfermentasi dibeli dengan harga yang sama. Jadi buat apa susah-susah melakukan fermentasi yang menghabiskan waktu saja. Hehehe..

Kondisi ini diperburuk dengan asumsi masyarakat yang terlanjur mendarah daging bahwa kakao itu ya permen coklat atau coklat bubuk. Rasanya ya begitu itu. Umumnya awam tak bisa membedakan mana kakao bermutu atau tidak, mereka sudah termakan iklan dan merk. Yang terkenal itu pasti bermutu, padahal belum tentu. Hahaha..

Aku ingat pembicaraan dengan para petani di Wonossalam tempo hari. “Kami ingin bisa mengolah kakao sendiri, jadi bentuk bubuk atau permen,” kata mereka. Di Puslit baru kutahu mimpi mereka butuh usaha keras. Pertama, mereka harus tingkatkan mutu kakaonya, juga produksi kakao. Mesin pengolah kakao menjadi produk yang mereka inginkan baru efektif diguna jika produksi mereka capai 40 ton per hari. Apalagi pengadaan mesin itu tak murah. Walau mesin sederhana, butuh dana ratusan juta hingga hitungan M. Nah lho!

Asal produksi bagus dan oke, kurasa tak banyak masalah dalam pengadaan mesin pengolah kakao ini. Beberapa investor menawarkan diri. Masa depan kakao dunia memang cerah.

Jelang pukul tiga sore kutinggalkan puslit. “Kalau kesulitan transportasi di jalan, nanti telpon saya saja, Mbak,” Pak Dwi menawarkan diri. Ojek dari perkebunan memang tak ada. Itu baru kuketahui setelahnya. Terpaksa aku berjalan lebih sejam menuju Desa Jenggawah untuk menemukan ojek yang mengantarku ke terminal bus. Pemandangan sepanjang jalan, paduan antara hutan karet, kakao, dan sawah.

Sambil berjalan, terngiang lagi kata Pak Dwi mengakhiri perbincangan. “Mbak petani? Atau pernah belajar di pertanian?” tanyanya. Aku tertawa. Bukan, aku bukan petani, hanya angin yang mengantarkan bau kemana-mana. Bau petani ke pengusaha, atau bau eksportir dan importir ke pelaku produksi. Angin yang keren hahaha.. Angin yang suka jalan kaki.