Ini kisah lama, pernah saya posting di kompasiana. Kenangan tentang Toni begitu memburu saya, hingga kini. Pemuda pantang menyerah yang tak takut lapar, demi sebuah cita-cita.

Perjumpaan saya dengan Toni terjadi secara tak sengaja, ketika saya hendak menemui seorang teman dari Jakarta di terminal Butterworth, Penang akhir 2006. Toni rupanya kawan seangkatan teman saya itu. Mereka dulunya sama-sama kuliah di Universitas Utara Malaysia (UUM), tapi teman saya sudah lulus dan bekerja di Jakarta, sedang Toni terseok-seok di tahun kelima. Toni waktu itu tampak bersahaja, seperti anak muda pada umumnya. Ramah, funky, humoris, dan santun.

Beberapa bulan kemudian, saya bertemu kembali dengan Toni di kampus UUM. Saya sedang mencari informasi untuk melanjutkan kuliah yang tertunda dengan bea murah meriah. Toni nampak sumringah menyambut saya dengan seragam mahasiswanya, baju putih lengan panjang, celana panjang berwarna hitam, dan dasi hitam. Mengingatkan saya akan seragam mahasiswa menjelang ujian skripsi, pendadaran.

“Maaf saya terlambat, Mbak,” katanya santun. Keringat berleleran jatuh dari keningnya yang bersih. Udara memang sangat panas siang itu.

Toni lalu membawa saya berkeliling UUM, mengambilkan blangko formulir pendaftaran mahasiswa baru yang saya perlukan, meminjamkan kartu perpustakaannya, bahkan mencarikan pinjaman celana panjang kain karena saat itu saya mengenakan  jeans. Mahasiswa atau tamu di UUM dilarang mengenakan celana jeans jika masuk perpustakaan. Di sela-sela kesibukan itulah dia bercerita mengapa jauh-jauh kuliah di negeri jiran ini.

Toni berasal dari keluarga sederhana di Medan. Kakaknya kuliah di fakultas kedokteran sebuah universitas negeri di kotanya, sedang kedua adiknya masih duduk di SD dan SMP. Menyadari ekonomi keluarganya yang ngos-ngosan untuk membiayai kuliah kakaknya, Toni berencana mandiri secepatnya. Namun dia juga ingin kuliah.

“Waktu itu ada pameran pendidikan Malaysia di Medan, lalu saya tertarik. Saya nekad jual motor buat biaya kuliah, Mbak. Saya nggak bilang sama orang tua, takut nggak boleh,” ceritanya sambil tersipu.

“Kenapa nggak ikut UMPTN saja? ” tanya saya.

“Malas, Mbak. Belum tentu diterima. Saya nggak pintar di sekolah. Kalau diterima pun butuh duit  banyak. Darimana saya dapat duit. Malu minta sama bapak yang sudah kelelahan membiayai kuliah kakak saya,” jawabnya.

Bermodal uang hasil jualan motor, Toni mengurus paspor dan segala dokumen untuk kuliah ke UUM, termasuk bea kuliah satu semester.

“Waktu itu kalau dihitung-hitung, ongkos kuliah di UUM nggak mahal. Pokoknya duit saya cukup untuk membayar itu semua. Paling nggak sampai saya mendapat pekerjaan sampingan,” tambahnya.

Begitulah, perjuangan hidup Toni pun dimulai. Sejak meninggalkan kotanya, Toni tak pernah meminta sepeser pun uang dari orangtuanya. Uang kuliah dan bea hidup dipenuhinya dengan bekerja di sekitar kampus di sela-sela waktu kuliahnya. Pernah dia menjadi pelayan kantin di kampus, pernah juga menjadi tukang bersih-bersih di perpustakaan atau kolam renang kampus, bahkan sempat menjadi penjual nasi goreng dan mi ayam  di sekitar kampus. Untuk mencari pekerjaan di luar kampus susah, karena lokasi UUM sangat terisolasi, di lingkungan berhutan di ujung utara Malaysia. Untuk keluar kampus, seorang mahasiwa bergantung pada bis yang datangnya tiap satu jam sekali, kalau tidak ya harus punya motor atau mobil.

“Pokoknya setengah mati deh, Mbak. Apapun saya lakukan untuk bisa hidup dan sekolah di sini,” katanya.

Dia bercerita banyak godaan yang dialaminya semasa bekerja di kampus. Misalnya ketika usaha warung nasi goreng dan mi ayamnya laris, datang segerombolan petugas yang menghancurkan warungnya. Rupanya ada orang yang iri dan tidak senang dengan usahanya. Selain itu, selama tiga tahun pertama dia harus berlebaran di kampus karena tidak punya uang untuk mudik. Bahkan menu lebarannya hanya ubi kayu yang ditanamnya di kebun samping asramanya. “Lumayan juga Mbak, untuk mengganjal perut,” akunya.

Di waktu liburan semester, bersama teman-teman seperantauan yang senasib, Toni berkeliling menuju kota-kota besar dan tempat wisata di Malaysia. Bukan sekedar berwisata, tapi mencari kerja. “Saya pernah bekerja di sebuah hotel di Genting Highland, pernah juga jadi tukang cuci mobil di KL. Seneng juga sih, majikannya baik. Saya selalu bekerja sampai malam, sengaja lembur biar dapat makan malam gratis,” ceritanya sambil tertawa.

Karena pontang-panting mencari duit buat hidup, kuliah Toni pun keteteran. Gelar sarjana manajemen ekonomi seharusnya bisa diraihnya dalam tujuh semester. Namun ketika saya temui, Toni masih menjalani masa lima tahunnya di UUM. “Saya termasuk mahasiswa abadi di sini. Belum lulus-lulus juga, bingung cari uang sih,” akunya tanpa rasa malu dan rendah diri. Justru dia menyikapinya dengan senyum tulus dan pasrah.

Digiringnya saya menuju kantin kampus. Saatnya makan siang. Di sana saya bertemu dengan banyak mahasiswa asal Indonesia. Umumnya mereka datang dari Jakarta. “Anak-anak orang kaya, Mbak,” bisiknya.

Dengan ramah Toni menyapa semua orang Indonesia di sana, lalu memperkenalkan saya kepada mereka. Tak ada keragu-raguan dalam sikapnya, atau rasa minder. Seorang pemuda memanggilnya. Toni mendekat. Mereka tampak bercakap-cakap dengan serius. Tak lama kemudian Toni menjabat tangannya.

“Banyak juga mahasiswa Indonesia di sini,” kata saya.

“Banyak, Mbak. Kita kan lagi gencar-gencarnya promo pendidikan di kota-kota besar Indonesia. Saya jadi punya kerjaan Mbak, jadi bisa bayar hutang SPP selama empat semester,” matanya nampak berbinar-binar.

“Wah, kamu ngobyek rupanya.”

“Yang penting halal kan, Mbak. Ada juga lho orangtua mahasiswa baru ini yang mempercayakan pemeliharaan mobilnya kepada saya. Ya saya buat naksi, Mbak.”

Rupanya banjirnya mahasiswa Indonesia ke Malaysia menjadi rejeki tak terduga buat Toni. Dia mengurusi semua keperluan para mahasiswa baru itu dan mendapatkan semacam fee sebagai imbalan.

“Yang penting jangan sampai lupa kuliah,” nasihat saya.

“Tentu Mbak. Semoga ini semester terakhir saya kuliah di sini. Doakan ya Mbak,” saya mengangguk.

“Doakan juga saya bisa memboyong adik saya kuliah di sini, Mbak.” Lagi-lagi saya mengangguk.

“Apa rencanamu setelah lulus nanti?”

“Saya mau buka usaha sendiri, Mbak. Wiraswasta. Kalau berhasil baru mengambil master.”

Melihat semangatnya itu, bangkitlah semangat dalam diri saya untuk kuliah lagi. Masak saya kalah sama dia, pikir saya. Itulah kali terakhir saya berjumpa dengannya. Beberapa bulan kemudian dia mengirim SMS, mengabarkan kalau sudah lulus kuliah. Waktu itu dia sedang ikut festival band di Penang, mewakili kampusnya. Setelah itu saya benar-benar kehilangan jejaknya, untung tidak semangatnya.