Tags

,

Saya kembali mem-posting tulisan ini berhubung banyaknya pertanyaan yang masuk ke email. Semoga tulisan yang sudah saya edit ulang ini berguna bagi pencari informasi berobat ke negeri tetangga.

Saya masih ingat ketika akhir tahun 2009 seorang sahabat pamit hendak ke Singapura. Mau merayakan tahun baru sekaligus  ‘check up’ kesehatan, katanya. Ada kista di rahimnya, sudah tiga kali menjalani operasi  di Indonesia dia, tapi  kistanya membandel dan tumbuh terus. Kini setiap mau kedatangan ‘tamu bulanan’ dia pasti kesakitan sangat.

“Lho, kok jauh-jauh ke Singapura?” tanya saya waktu itu.

“Iya, ini atas rekomendasi teman. Katanya di sana pemeriksaan lebih lengkap, lebih teliti, dan murah, daripada di Indonesia. Temanku yang kena kanker rahim sekarang sudah sembuh total. Bahkan berhasil punya momongan,” akunya.

Saya teringat pengalaman beberapa tahun lalu kala bekerja di Malaysia. Rekan kerja saya yang asal Medan, menjalani operasi  pengangkatan kista di sebuah rumah sakit pemerintah di Penang. Setelah beberapa waktu, kawan saya itu kembali sehat bahkan menggemuk badannya. Dia berkisah kawannya yang menderita penyakit serupa di Medan dan menjalani operasi pengangkatan rahim, ternyata hanya berumur dua minggu saja. Dia bersyukur tak mengalami nasib yang sama, walau walau kistanya cukup besar dan tak perlu menjalani pengangkatan rahim.

Saya percaya umur di tangan Tuhan. Namun saya lebih percaya manusia harus berupaya semaksimal mungkin untuk meraih kebahagiaannya. Saya tak akan menuduh bahwa pelayanan kesehatan rumah sakit di tanah air lebih buruk daripada di luar negeri. Saya hanya mencoba menggambarkan kenapa ramai-ramai orang Indonesia berobat ke luar negeri, terutama negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Apa sih yang mereka cari? Masih terang di memori bagaimana kasus Prita dulu mencoreng nama rumah sakit di tanah air.

Saya pernah dua kali menjalani perawatan di dua rumah sakit swasta di Penang, Lam Wah Ee Hospital (LWEH), dan Penang Adventist Hospital (PAH). Dua rumah sakit terbaik dan mahal menurut ukuran warga Penang. Namun cukup murah buat warga Indonesia, khususnya yang berasal dari Medan atau Aceh. Saya berobat ke sana bukan karena kaya, tapi kebetulan sedang bekerja di sana sehingga bea perawatan sebagian ditanggung asuransi.

Yang menarik, mayoritas pasien kedua rumah sakit tersebut berasal dari Indonesia. Mungkin sekitar 70-80 %. Begitu juga dengan  rumah sakit swasta lain di Penang seperti Island Hospital, maupun Loh Guan Lye Hospital.

Ada perbedaan prinsip dan cara pelayanan pasien di RS Indonesia dibanding di RS luar negeri. Pengalaman saya, ketika pertama kali mendaftar di LWEH akan ditanya sakit apa. Setelah saya tunjukkan surat pengantar dari klinik, saya diantar ke ruang dokter spesialis tertentu oleh seorang perawat yang lancar sekali bahasa Indonesianya.

“Lho kok nggak ditarik karcis untuk bayar?” tanya saya keheranan waktu itu. Soalnya kalau di Indonesia kan bayar dulu baru konsultasi. Di sini kebalikannya. Bayar belakangan, paska konsultasi.

Setelah konsultasi dengan dokter yang ditunjuk, saya disuruh melakukan USG. Seorang perawat kembali mengantar saya ke tempat USG yang dituju dan menjelaskan apa yang harus saya lakukan. Di situ saya baru membayar 55 rm (sekitar Rp 165000). Setelah di USG dan membawa hasil foto, kembali saya menuju ruang konsultasi.

Dokter lalu memutuskan saya untuk operasi. Barulah dia bertanya apakah saya mau membayar memakai bea sendiri atau lewat asuransi. Jika bayar sendiri, saya mesti menyerahkan deposit uang baru boleh masuk kamar rawat inap atau wat. Tapi kalau lewat asuransi, saya mesti menunjukkan guarantee letter yang diberikan oleh perusahaan/pabrik tempat saya bekerja. Ketika hendak pulang,  saya disuruh bayar bea konsultasi 40 ringgit atau sekitar Rp 120.000 di kasir.

Singkat kata, beberapa hari kemudian saya kembali menemui dokter dengan membawa surat jaminan asuransi kesehatan tau guarantee letter sebesar 3000 ringgit atau sekitar sembilan juta rupiah. Tanpa menunggu lama saya kemudian ditempatkan di bangsal kelas tiga wanita. Satu ruangan berisi delapan orang, bed-nya saling berhadap-hadapan, umumnya pasien kanker payudara. Waktu itu saya hendak operasi ringan, membuang benjolan di kulit perut.  Kata dokter, semacam tumor jinak atau abcess.

Saya terkesan dengan pelayanannya yang sangat amat ramah. Mulai dari perawat, tukang bersih-bersih, tukang masak, sampai yang antar-antar pasien. Bandingkan dengan RS di Indonesia, baik negeri maupun swastanya, bagai langit dan bumi. Hahaha..

Pada waktu itu, pasien di bangsal mirip saya dikenai tarif 20 ringgit atau Rp 60.000 semalam. Itu sudah termasuk makan tiga kali sehari dan snack dua kali sehari. Makan pagi berupa roti dan teh, kadang nasi goreng. Makan siang ada sayur, lauk, dan buah. Begitu juga makan malam. Snack diantar setiap petang, sekitar pukul empatan berupa biskuit dan kopi, lalu snack malam berupa wedang jahe, kadang sari kacang hijau atau air barli.

Saya mendapat hospital kit berupa handuk kecil, perawatan mandi, dan tempat minum. Hospital kit ini sebetulnya tak wajib kita ambil. Kita bisa menolaknya jika sudah membawa dari rumah sehingga mengurangi bea perawatan. Walau dirawat di bangsal, tapi suasananya tidak mengerikan. Perawat muda hilir mudik datang pergi, banyak diantaranya masih pelajar. Mereka memeriksa kita, mengajak ngobrol, menghibur yang kesepian, dan siap melayani selama 24 jam. Mereka selalu bertanya, mau ngomong pake bahasa Inggris, Indonesia, atau China, karena semua perawat menguasai ketiga bahasa tersebut.

Kadang ada juga pasien yang rewel, minta ini itu, membanting makanan. Biasanya mereka adalah pasien lanjut usia yang kurang diperhatikan keluarganya. Meski pasien berlaku kasar, namun sikap para perawat tidak berubah. Tetap ramah, hangat, dengan senyum selalu menghias wajah. Paling-paling mereka cuma bilang, “Oh sorry..sorry grandma, minta tolong apa?” Wah rasanya seperti dikelilingi malaikat saja.

Setiap pasien diijinkan ditunggu oleh satu anggota keluarga. Para penunggu disediakan kursi tidur jika malam. Penunggu harus berjenis kelamin sama dengan pasien. Jadi jangan harap ada bapak-bapak masuk  ke bangsal wanita di malam hari untuk menunggu istrinya. Kalau pasien tanpa keluarga seperti saya, para perawatlah yang on time menjaga saya. Jadi serasa punya bodyguard khusus nih.

Meski ramai orang, gampang saja saya terlelap. Karena ruangan memang ber-AC sekaligus ada kipas angin. Kalau hawa terlalu dingin, AC dimatikan diganti dengan kipas angin. Pernah ada satu dua nyamuk nampak terbang di siang hari. Kepala perawat langsung panik, memanggil tukang untuk mengecek ventilasi, mencari penyebab datangnya nyamuk.

Oya, kalau mau charge HP ada, mau nyolok laptop pun bisa, tapi pasien diminta tak berisik. Kalau mau panggil suster tinggal pencet bel, dan setiap hari selalu ada petugas jaga  yang bertanya kepada setiap pasien apa keluhan mereka hari itu. Wah, pasien laksana raja saja. Keluhan saya waktu itu hanya soal kamar mandi yang agak jauh, di ujung ruangan, dan menjadi satu-satunya kamar mandi untuk semua bangsal dalam satu lantai itu.

Ketika dirawat di Penang Adventist Hospital sebelum operasi kanker, suasananya nyaris tak banyak berbeda.  Perawat yang ramah dan siap membantu. Perbedaannya adalah bangsal di PAH ditempatkan dalam ruang tersendiri, dengan kamar mandi dan WC masih di ruangan itu. Jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Lalu makanan yang disajikan di PAH adalah menu vegetarian. Mungkin karena itu harga di PAH relatif lebih mahal ketimbang LWEH, 35 ringgit per hari untuk bangsal kelas 3. Tapi tetap lebih murah daripada RS swasta Indonesia.

Yang juga menyenangkan, selalu ada pastur atau pendeta yang datang menjenguk. Jika kita muslim, dia akan bertanya apakah kita mau didoakan. Jika dijawab iya, maka mereka pun mendoakan kesembuhan kita, tentu saja menurut agamanya tersebut. Tapi yang paling saya tunggu-tunggu setiap hari adalah datangnya koran dan buku yang dibawa oleh petugas perpustakaan. Yah, walau pelayanannya mirip hotel bintang 3, tetap saja bosan berbaring terus. Jadi enakan baca.

Soal keahlian dokter, menurut saya sebetulnya sama dengan dokter di tanah air. Cuma dokter di LWEH atau PAH nggak neko-neko. Mereka tak akan memberi obat ke pasien kalau dianggap tak penting sangat. Selepas operasi pembuangan kulit perut akibat kanker di PAH, dokter tak memberi saya antibiotik untuk diminum. Setelah saya infeksi seminggu kemudian, baru beliau memberi antibiotik dalam bentuk salep dan pil. Hampir setiap hari asisten dokter menelepon menanyakan kondisi saya ketika sedang menjalankan rawat jalan. Jadi, pasien merasa diperhatikan.

Karena tak banyak obat yang dikonsumsi, total bea berobat ke luar negeri setelah saya hitung dan bandingkan jatuhnya lebih murah ketimbang berobat di negeri sendiri. Mungkin kalau di negeri sendiri duit kita habis untuk membeli antibiotik yang mahalnya minta ampun itu. Saya hanya berharap kelak pelayanan kesehatan di Indonesia seperti di negeri tetangga, sehingga pasien asal Indonesia tak perlu shopping kesehatan ke luar negeri.

Note.

Begitu banyak pertanyaan yang masuk, ribuan jumlahnya, sehingga saya tak mampu lagi menjawab. Karena itu saya persilahkan membaca langsung ebooknya yang merupakan lima rumah sakit di Penang. Ebook ada di  berobat-ke-penang

tentang permasalahan global rumah sakit di Indonesia dan apa yang membuat rumah sakit di Malaysia menarik, bisa dibaca di ‘Sakitkah Pelayanan RS di Indonesia?

baca juga postingan ‘wisata kesehatan di penang’ untuk mengetahui persiapan sebelum berobat ke penang

SEMOGA BERMANFAAT