Hari ini tepat 5 hari Galungan. Banyak umat Hindu Bali memikul banten –semacam sesaji- untuk mendatangi pura leluhur dan bersembahyang di sana. Beberapa di antara lelaki yang duduk di depanku masih mengenakan pakaian tradisional Bali, kemeja putih dan sarung, serta selendang sebagai ikat pinggang, tak lupa ikat kepala mirip udeng warna putih. Mereka ngobrol dengan sesamanya dalam bahasa Bali campur Indonesia. Kurasa, mereka tidak lagi tinggal di Bali, namun baru saja mengunjungi pura leluhur di Bali.

Seorang perempuan, juga mengenakan pakaian adat bali, duduk di belakangku. Kutaksir, ada tujuh orang berpakaian adat Bali di sini. Itu belum termasuk keluarganya yang berada di ruang tertutup sambil menyaksikan teve, karena kulihat dua bocah berikat kepala putih keluar dari ruangan dan mencari ayah mereka di sini.

Perhatianku segera terputus ketika seorang perempuan dengan kerudung rapatnya mendekatiku. Dia menjulurkan sebuah amplop yang berkop nama sebuah panti asuhan. Yayasan Samsul Huda begitu tertulis, beralamat di Bulusan, Banyuwangi. Kurasa, tak satu pun orang bakal mengecek kebenaran alamat panti asuhan ini. Tak satu orang pun di sini, karena kulihat perempuan itu kemudian mengedarkan amplop kepada seluruh penumpang yang duduk di sana, tak terkecuali lelaki dan perempuan Hindu yang baru pulang sembahyang ke pura leluhur.

sekedarKupandang lagi amplop di tangan. Sebuah ayat mengukir ketukan uluran tadi, ‘Barang siapa yang ringan memberikan sedekah, maka diringankan pula hidupnya oleh Allah, disembuhkan sakitnya, dikurangi dosa-dosanya, dst.. dst.” Lalu ditutup oleh ‘keterangan isi surat diambil, QS Al Baqarah 271”. Lalu.. oh, nomor rekening sebuah bank juga di atasnya. Hebat! Hal begini jarang kujumpai. Bisa jadi nama panti asuhan ini bukan fiktif. Aku dapat mengeceknya di internet nanti, atau tanya kepada orang-orang yang tinggal di Bulusan.

Kupikir bukan karena ayat inilah maka beberapa lelaki Bali di depanku dengan suka hati mengeluarkan dompetnya, memilah salah satu uang kertasnya untuk dimasukkan ke amplop tadi. Ada yang memberi lima ribu, dua ribu, dan seterusnya. Bukan, kuyakin bukan karena diketuk sebuah ayat di atas feri, juga bukan karena peduli pada nasib anak yatim piatu seperti yang dikemukakan di atas amplop tadi. Atau iming-iming dalam ayat tadi. Jadi apa?

Mereka toh Hindu, tak peduli dengan ayat-ayat Al-Quran. Mereka mungkin juga pernah menerima amplop-amplop serupa ketika naik bus kota di kota-kota besar di Jawa misalnya, atau sedang berbelanja di sebuah mini dan super market. Selalu, ada seorang lelaki berkopyah atau perempuan berjilbab akan menyodorkan amplop-amplop berisi nama sebuah yayasan panti asuhan yang kesulitan keuangan. Selalu. Di kotaku, para pengedar ayat Tuhan ini bahkan sambang ke ATM yang ramai. Segelintir benar adanya mereka diutus untuk mengumpulkan sumbangan, tapi sebagian besar hanya modus mengemis biasa. Bukankah orang kerap terketuk hatinya jika ada yang menjual nama Tuhan?


Aku tak habis pikir ke mana larinya duit hasil zakat fitrah dan mal di negeri ini. Konon terkabar lebih 80% dari 250 juta lebih penduduk ini muslim. Mereka –kuyakin- akan menzakati segala harta bendanya, juga tubuhnya, setiap tahun. Zakat yang terkumpul seharusnya digunakan untuk membiayai sektor-sektor seperti yang kulihat sekarang, panti asuhan kecil yang terbiar, fakir miskin dan anak terlantar, kaum dhuafa, bukan sekedar jor-joran membangun masjid dan tempat ibadah yang mewah tapi sepi jamaah.

Ke mana para kritisi dan pengkritis yang kerap menggunaan dalil agama, ayat-ayat Tuhan di saat penyelenggara panti asuhan atau pondok pesantren mengutus murid-muridnya untuk ‘mengemis’ sedekah ke khalayak ramai di atas feri begini? Ke mana muka mereka, yang mulutnya lantang meneriakkan kebenaran atas nama Tuhan mereka? Bukankah lebih baik berteriak lantang kepada kaumnya sendiri dan tak menghardik, mengancam, penganut agama lain? Atau mereka juga sebetulnya sedang menjual ayat-ayat Tuhan?

Perempuan berkerudung itu kembali, menarik amplop-amplop yang tadi dia edarkan. Beberapa lelaki berpakaian adat Bali mengembalikan amplop tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu pun membisu dengan wajah kosong. Jadi apa yang menggerakkan mereka yang duduk di feri ini untuk merelakan sedikit isi dompetnya? Kupikir mungkin ini mirip rasa iba, niat meringankan beban saudaranya, yang dituntun rasa kemanusiaanlah yang membuat mereka bersedekah. Bukan mengharap surga dengan seribu bidadari, atau dikurangkan dosanya, atau dilipatgandakan pahala dan kesenangannya. Bukan. Sama sekali bukan. Sebuah ayat di atas feri tinggal hanya ayat. Tak bermakna lebih. Mungkin juga tak punya makna.