“Tulisanmu sudah tak menggairahkan lagi,” protesnya kepadaku. Waktu itu kami sedang berbincang di lincak, menghadap kebun kopi maha luas. Aku menikmati semilir dingin angin usai gerimis rimbun jatuh, sedang dia mengunyah biji-biji kacang yang baru kugoreng, hasil kebun sendiri.

asal motret

asal motret

“Tak membuatku tergugah untuk melakukan sesuatu yang baru. Hanya membaca hingga ujung ceritamu. Titik. Tak ada yang lain.”

“Begitu ya? Padahal aku menulisnya sepenuh hati,” belaku. Aku tak tersinggung akan ucapannya. Justru merasa tersanjung akan kejujurannya.

“Benar, kau menulis dengan sepenuh hati. Tapi tulisanmu melulu tentangmu. Tentang dirimu yang meraih berkantong-kantong prestasi yang hanya segelintir orang mampu lakukan. Kau meraih gelar doktor di umur 25 tahun. Kau menerbitkan novel pertamamu jelang 18 tahun. Kau meraih penghargaan sastra lokal saat 22 tahun. Kau melakukan perjalanan ke Antartika pada penghujung 20 tahun. Semua tentang kau, kau, kau. Tak ada yang lain. Aku muak.” Sekali lagi dia meraup kacang goreng di piring dengan tangan kanannya, lalu menjejalkannya di mulutnya. Tanpa ampun. Tak sempat menunggu helaan napas.

“Kau cemburu,” tuduhku tak yakin. Perempuan bertubuh kerempeng dengan beberapa uban menghias dahinya ini tak pernah menunjukkan kedengkian pada nasib baikku. ‘Itu karma baikmu,’ katanya dulu. Bahkan dia menolak bantuanku jika dirasanya tak membutuhkan.

“Awalnya kurasa begitu. Lalu kusadari aku mulai bosan. Bosan dengan orang sepertimu. Menulis hanya sebagai media pamer diri. Kenapa tak kau tulis sesuatu yang lain saja, yang membuat orang terpikat mirip sarung pelekat? Bukannya kisah yang mengerdilkan peran orang lain?” Bibirnya manyun, maju beberapa milimeter. Keningnya berkerut, mirip buah markissa yang batal kupanen gara-gara hujan.

“Kisah yang bagaimana? Bukankah yang kutulis itu pengalaman pribadiku, kisah nyata, bukan bualan kosong atau mimpi-mimpi? Dengan begitu, kuharap orang akan terinspirasi,” sanggahku. Aku mulai tak sabar. Tak mengerti apa maksud kritiknya.

“Cobalah menulis tanpa melibatkan aku, mengikutkan ego. Sekali saja. Gunakan pengalamanmu, matamu, egomu hanya sebagai perantara, bukan tujuan. Bukan aku yang berhasil menaklukkan Antartika dengan kengerian yang menghebohkan. Tapi ceritakan Antartika lewat matamu, rasakan bekunya Antartika lewat kulitmu, keramahan orang-orang di Antartika dengan menggunakan hatimu. Tulisan tak semata-mata tentang dirimu, tapi juga tentang dunia di luarmu. Tak selalu berkisah tentang emosi dan pandanganmu, tapi juga tentang apa yang sesungguhnya ada di luar sana. Sekali saja.” AKhirnya dia menghela nafas, lalu meneguk kopi dingin yang tinggal setengah cangkir.

“Kau mau kopi lagi?” Tanyaku lemas.

“Tentu saja,” jawabnya. “Selain tulisanmu yang mulai memuakkan, kau tetap pembuat kopi terenak yang pernah kutemukan,” senyumnya mengembang.

Aku bangkit. Kurasakan angin menderu, menjatuhkan buah-buah cengkeh yang abai kupetik saat berbunga musim lalu.