Tags

, ,

Dari sekian banyak buku tentang Surabaya, buku ini berani tampil beda. Menggunakan dua bahasa -Inggris dan Indonesia, buku ini bukan hanya beda di tampilan fisik, tapi juga isi. Kesan saya: serius namun ringan, mendalam namun tidak membosankan. Topik-topik yang diangkat tak seperti topik buku pasaran tentang Surabaya. Penyajiannya pun beda.

buku terbitan ayorek.org setebal 100 halaman dan berwarna ini dibandrol Rp.70.000

buku terbitan ayorek.org setebal 100 halaman dan berwarna ini dibandrol Rp.70.000

Sebut saja tentang ‘Pesona Stren Kali’ yang diangkat Gatot Subroto dan Gunawan Tanuwidjaja. Saya pastikan tulisan yang disajikan dari hasil penelitian panjang dan mendalam, tentang kampung-kampung di pinggir kali. Atau ‘Fashion & Mall’ yang ditulis begitu menggelitik oleh Andrea Kristatiani dan Felkiza Vinanda. Dua penulis muda ini tak hanya ‘ubek’ di beberapa mall Surabaya untuk mencari kekhususan masing-masing mall, tapi juga menyajikan ilustrasi tulisan yang segar. Ilustrasi yang mungkin sulit ditemukan di media mana pun.

Pada ‘Pasar (Loak) Gembong’ tak hanya dikisahkan tentang pasar, tapi juga dilengkapi dengan ilustrasi peta tempat dan jenis barang yang dijual. Bahkan pembaca disuguhi ilustrasi jenis pembeli di pasar barang bekas tersebut. Ilustrasi yang ‘unyu’ dan menerbitkan senyum. Artikel Surabaya Tempo Dulu tampil dengan topik ‘Tram Soerabaia’ yang merupakan penelusuran trem listrik dan uap yang pernah ada di Surabaya oleh Mohammad Firman dan Ayos Purwoaji. Ilustrasi tremnya keren, dan tulisan penutup tentang ‘Sang Penjaga Api’ oleh Ayos amat humanis.

Ada juga kisah tentang ‘Tuna Netra’ di Surabaya yang merasakan belum ramahnya sikap infrastruktur kota metro ini terhadap mereka. Juga ‘Pasar Atom’ yang berbeda dengan ‘mall’ oleh para pemilik toko dan pandangan masyarakat umumnya.

Bagaimana menikmati Surabaya dengan ‘Berjalan kaki’ dapat menjadi panduan pembaca jika ingin menyelami kota ini, lengkap dengan jalur-jalur menarik yang bisa ditempuh. Anitha Silvia dari ‘Manic Street Walkers’ menyajikannya secara ringkas, jelas, dan padat, sehingga tak berkesan membingungkan. Lalu Antonio Carlos dari ‘Haphap’ mengupas kuliner langka Surabaya lewat Iwak Pe, Sate Karak, dan Rujak Sayur Asin. Pilihan tema yang tak biasa dibanding rujak cingur, tahu campur, semanggi, atau lontong kupang.

Buku ini juga dilengkapi direktori ruang berbagi dan buku-buku yang mengupas tentang Surabaya. Jadi mempermudah mereka yang mau tahu dan ingin mencari informasi tentang Surabaya. Tentu saja, topik di buku tidaklah lengkap mengupas kota pahlawan, namun saya pikir si empunya program, Ayorek dan Rujak Center for Urban Studies akan menelurkan seri selanjutnya usai penerbitan buku pertama ini.

Kalau ada hal yang kurang dalam buku ini, menurut saya adalah penulisan yang kurang memperhatikan EYD dalam versi Indonesia, tentu saja. Paling banyak penggunaan kata ‘disini, disini, diatas, dijalan, dimana, disebelah’. Beberapa penulis tampaknya belum dapat membedakan antara di sebagai imbuhan (awalan) dan di sebagai kata keterangan tempat. Padahal ini pelajaran bahasa Indonesia sangat ‘Sekolah Dasar’. Belum lagi kesalahan menuliskan kutipan, istilah (misalnya salah ‘jujugan’ padahal maksudnya mungkin ‘salah satu ‘jujugan’), kapan harus menggunakan kalimat yang dicetak miring, dan sebagainya.

Sayang sekali kalau kesalahan redaksional terasa mengganggu dalan membaca jurnal apik tentang Surabaya ini, padahal ada editor yang ditugaskan untuk menyunting naskah buku. Saya berharap pada penerbitan edisi lanjutannya, kesalahan ini tak diulangi.

Selamat membaca dan menikmati Surabaya,

catatan: untuk pembelian, bisa hubungi link http://c2o-library.net/2013/12/ayorek-toekoeo/