Pertengahan Januari saya mengunjungi seorang teman di Tuban. Dia bekerja di LSM yang bergerak dalam pelestarian tradisi tenun ‘kuno’ gedog, Sekar Kawung. Kebetulan saat itu saya sedang berada di Desa Dradah-Kedungpring, mengunjungi makam leluhur yang sudah lebih 35 tahun belum saya tengok. Dari Dradah, ada bis kecil menuju Tuban (bis jurusan Jombang-Tuban). Setelah satu jam menunggu, sambil menatap kuburan simbah di ujung jalan, bus pun datang. Dengan membayar 20 ribu rupiah, saya siap menikmati 1,5 jam perjalanan.
Bus yang mirip angkutan pedesaan itu lumayan penuh penumpang. Ada petani yang membawa cangkul, ada pedagang lengkap dengan karung dan timba, ada juga anak sekolahan dan pekerja pabrik. Dari atas bis saya melihat pedesaan sekitar Jombang dan Tuban kini menjelma area industri dan mikro city baru. Pabrik-pabrik bermunculan, mulai Gudang Garam, pabrik pengolahan makanan asal Korea, pabrik triplek, hingga beberapa yang lain. Hal ini membuka lapangan kerja bagi penduduk desa, terutama anak-anak lulusan SMA. Begitu lulus, mereka bisa langsung bekerja di pabrik, seperti tiga keponakan saya di Dradah dan Babat.
Warung makanan pun menjamur, berselang-seling dengan toko kelontong dan toko-toko lainnya. Nyaris tak saya temukan sekedar rumah biasa di sepanjang jalan. Apalagi lahan kosong, sawah, atau kebun. Jauh berbeda dengan 35 tahun lalu. Begitu memasuki Kota Tuban, pemukiman padat berganti menjadi pemandangan kota yang rapi, yang menawarkan banyak tujuan wisata ziarah makam. Di masa lalu banyak penyebar dan pemuka agama Islam di Tuban, itu sebabnya dijuluki kota para wali.
Kondektur menurunkan saya di perhentian terakhir, di sebuah ‘bus stop’ dekat alun-alun atau Patung Kuda. Di sana saya menunggu angkutan pedesaan, sebuah L-300 menuju desa Kerek, 26 km menuju pedalaman, menjauhi pantai. Tuban merupakan kota di pantai utara Jawa.
Beruntung saya sampai di Tuban sebelum tengah hari, karena angkutan pedesaan hanya ada sampai jam pasar, dari pagi hingga tengah hari. Kali angkutan benar-benar sesak dengan mbok-mbok yang baru pulang kulakan di pasar. Mereka membawa barang dagangan untuk dijual di desanya masing-masing. Pak sopir mengantar satu per satu penumpang sampai di depan pintu rumahnya. Mirip taksi online. Memasuki pedalaman, pemandangan berubah menjadi kebun, pepohonan, sawah, dan desa yang padat. Sejam kemudian saya berhenti di pasar Kecamatan Kerek, membayar 15 ribu rupiah.
Kini saya dapat menikmati sawah yang membentang, banyak pepohonan dan kebun, diselingi pemukiman padat, sepanjang perjalanan ke Kerek. Pak Sopir mirip sopir taksi online, karena menurunkan penumpang tepat di depan rumah, walau harus masuk ke gang sempit khas desa. Satu jam kemudian sampailah saya di pasar Kecamatan Kerek. Setelah membayar 15 ribu rupiah, saya lalu mencari ojek. Andai cuaca tak terik, saya lebih suka berjalan kaki menuju Dusun Ngluwuk di Desa Kedungrejo. Jaraknya hanya sekitar 6-7km, dengan pemandangan sawah menghampar di kiri kanan jalan.
Sopir ojek mengantar saya tepat di depan markas Sekar Kawung. Setelah membayar 15 ribu rupiah, saya tak langsung mengetuk pintu, namun mengamati rumah penduduk di dua sisi yang menghadap ke gang. Khas rumah jawa, dengan pintu dan jendela yang lebar dan tinggi. Di beberapa rumah tampak buah kapas, baik yang berwarna putih atau coklat, dijemur. Saya lalu menemui kawan saya, Poyo, yang sedang terserang flu berat.
Continue reading