Membaca ‘Dari Penjara ke Penjara’ karya Tan Malaka, membuat saya semakin menyadari makna sebagai keturunan kuli Deli. Ayah saya lahir di Klambir Lima, sebuah desa kecil di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang sekarang. Nyaris semua saudara dekatnya -adik, kakak, sepupu, ipar- adalah pernah -bahkan masih ada yang- bekerja di perkebunan tembakau Deli. Orangtua, kakek-nenek, dan moyang mereka dulunya adalah kuli tembakau Deli yang mengerjakan perkebunan di Tanjung Morawa dan sekitarnya.
Februari 2010, ketika berkunjung ke kampung halaman ayah yang kedua kali, baru saya sadari dari mana asal saya. Semasa saya kecil, ayah selalu bercerita tentang kakek yang mengerjakan kebun tembakau, berpanas-panas, sejak subuh hingga malam menjelang. Ayah juga memamerkan kehebatannya menari Melayu, atau berdendang lagu Melayu. Saya sendiri tak memiliki bakat seni secara khusus. Tak bisa menari, bermain musik, atau mengukir seperti ayah dan ibu.
Hari itu, saat memandang kebun tembakau deli yang tersisa untuk pertama kali, ada rasa haru, sesak, juga semangat yang meletup-letup, Saya sudah banyak membaca buku yang berkisah tentang pedihnya menjadi kuli Deli. Namun sungguh baru saya sadari bahwa keluarga ayah adalah bagian dari mereka. Saya jadi berpikir, apakah pertautan masa lalu itu yang menuntun saya menjadi buruh, TKI, di Malaysia 2005-2009 sekaligus meneliti kehidupan mereka? Sebuah gen warisan masa lalu sebagai kuli (Deli) secara turun-temurun? Apakah itu yang membuat saya ingin menggugat nasib para buruh, juga orang kecil, di sekitar saya? Saya tidak seberuntung Tan Malaka, yang digaji 350 gulden oleh penguasa Belanda untuk mendidik anak para kuli Deli. Tapi, perlawanan biasanya muncul karena kita merasakannya, bagian darinya, bukan sekedar melihat, simpati, atau empati.
Saya teringat pengalaman masa lalu, sejak SD hingga perguruan tinggi. Saya selalu mengkerut jika kawan-kawan saya mulai menyebut ‘bibit bobot bebet’ dalam pergaulan, masa berpacaran dan berburu jodoh. Jelas ketiga kriteria itu tak saya miliki. Jurus 3B ala Jawa di Tanah Jawa ini kerap membuat saya muak. Apalagi saya pernah ditolak orangtua pacar dengan alasan 3B, terang-terangan pula. Haha.. (Kini penolakan itu sangat saya syukuri sangat, walau saat itu saya sempat berandai-andai. Andai saya secantik Barbie, mungkin saya bisa meraih bobot dengan menjadi artis, atau bibit dengan menikahi keluarga bangsawan anu atau pengusaha anu). Bagi saya, 3B adalah usaha turun-temurun untuk menanamkan diskriminasi yang sesungguhnya, diskriminasi perlakuan yang nyata pada anak bangsa selama berabad-abad.