Tags
Bus kecil yang kutumpangi sungguh penuh sesak. Manusia dewasa, anak-anak, dan ayam berbaur menjadi satu, berjejal dengan karung-karung, kardus, dan tas-tas kulit tua warna hitam. Bus melaju menuju Ende, meninggalkan Labuhan Bajo yang kabur dari pandangan. Begitu turun dari feri, seorang lelaki menggeret tanganku untuk berebut naik bus menuju Ende. Lupa kutanya nama si lelaki muda Flores yang menjadi guru di Betawi itu.
“Kita mesti cepat-cepat, kalau tidak bisa duduk di bawah,” ajaknya sambil membopong buntalan tas kainnya. Aku segera mengikutinya berlari menuju sebuah bus kecil tak jauh dari pelabuhan. Hari menggelap, mungkin pukul tujuh atau delapan. Tak dapat kupandang jelas Labuhan Bajo saat itu.
Meski sudah cepat-cepat pun aku hanya mendapat kursi belakang, di samping dua lelaki muda berambut keriting, bertubuh kerempeng gelap, namun senyumnya ramah sekali.
“Ko mau ke manakah?” tanyanya menyelidik. Kujawab segera, “Ende!”
Aku belum pernah ke Flores, dan sejujurnya tak tahu tujuanku menuju. Aku hanya ingin berjalan, terus menuju timur. Flores yang kubaca saat itu adalah bencana tsunami yang menyerang Maumere, dan menghilangkan ribuan nyawa. Itupun sekedar kubaca dari koran di kotaku. Kebetulan Jawa Pos mengadakan bakti sosial ke Maumere. Mungkin aku hendak menuju Maumere juga akhirnya. Toh aku tak terbebani tujuan.
Bus melaju menembus gelap. Udara dingin masuk lewat celah lubang jendela yang tak bergordin. Dingin dan lelah setelah diampul-ampul feri di laut selama delapan jam membuat semua penumpang terlelap. Tak hirau ayam-ayam berpetok atau rambatan kecoak di pergelangan kaki.