Ketika Pak Han mengabarkan bahwa naskahnya diterbitkan Gramedia, saya senang. Naskah dalam buku ini pernah ditunjukkan pada saya 4-5 tahun lalu. Gaya tutur Pak Han yang sederhana, enak diikuti, Sebagaimana tulisan-tulisannya yang banyak tersebar di baltyra.com, Namun menuliskan sebuah biografi –meskipun itu biografi keluarga besar dari beberapa generasi– bukanlah pekerjaan mudah, dan tak semua orang mau dan mampu melakukannya. Selain merasa bukan siapa-siapa, biografi umumnya menuturkan kehidupan seorang tokoh, entah tokoh politik, artis, pemimpin perusahaan terkenal, dan semacamnya, yang membutuhkan riset lama dan data yang akurat. Tentu Pak Han memiliki alasan tersendiri menuliskan biografi keluarga besarnya.
Alasan inilah yang saya telusuri saat membaca ‘Anak Cino’ ini. Pak Han berkisah tentang keluarga besarnya, dimulai dari kakek dan neneknya -Engkong dan Emak- yang hidup di sebuah desa kecil. Kradenan, Jawa Tengah. Di tengah masyarakat Jawa pedesaan inilah mereka tinggal, mulai jaman kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan RI. Bagaimana si kakek menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitarnya, bagaimana sikap masyarakat terhadap mereka, dapat kita baca dari setiap uraian sederhana beragam peristiwa di bagian-bagian awal buku ini.
Hubungan yang didasari unsur saling menolong dan saling membutuhkan inilah, membuat keluarga Engkong Emak Pak Han hidup serasi di desa. Ada satu bagian yang menarik, yaitu tatkala semua keluarga Cina waktu itu dipaksa pindah ke kota oleh Jepang, maka keluarga kakek neneknya justru diminta penduduk untuk tetap di desa, bahkan keberadaan mereka disembunyikan oleh tetua desa setempat, karena mereka membutuhkan kemampuannya memperbaiki lampu petromax yang dimiliki banyak penduduk desa.
Karena terus tinggal di desa ini, kakek neneknya pun menyerap kebiasaan masyarakat setempat, seperti memelihara burung, menggunakan beragam bahan lokal untuk hidup dan bermain bagi keturunannya nanti.
Kelak, ayah Pak Han -Papah- pindah ke Semarang untuk bekerja, dan di sana bertemu si Mamah. Baru kemudian kehidupan generasi kedua, lalu ketiga dimulai, di sela gejolak politik seperti peristiwa G-30S/PKI, asimilasi orang cina untuk mengganti nama, dan beragam peristiwa politik dan ekonomi lainnya. Semua kisah ini dirangkum dalam 170 halaman.
******
Buku ini mirip segudang informasi yang dimanpatkan ke dalam kotak kecil berisi 170 halaman, Agar informasi itu muat, maka harus dipadatkan, dipotong sana-sini hingga menjadi tipis dan ringan. Karena itu buku setebal 196 halaman, dengan bagian isi 170 halaman kadang terasa berat, membingungkan, di kepala saya. Informasi seperti nama orang (paman, bibi, kakak, sepupu dan lainnya), serta keterkaitan di antara mereka, terpaksa saya abaikan dan lewati. Mungkin jika ada daftar silsilah akan mempermudah membaca dan memahami. Continue reading