serius, kampung bantaran kali ini kondisinya lebih baik dari kampung-kampung bergang 1-1,5 meter yang saya kunjungi minggu ini 😀
Minggu pagi saya niatkan survei ke satu ‘pasien’, bocah berumur sekitar 7 bulan yang menderita alergi parah di sekujur tubuh. Karena ini car free day, alias jalan protokol bebas angkutan umum, saya pun pilih jalan kaki dari rumah menuju lokasi, Kedondong Kidul, sebuah perkampungan di belakang mantan Hotel Bumi Hyatt. Cuaca benar-benar terik pukul 09.30 pagi itu, sebentar berjalan pun sudah kuyup. ‘Tak apa,’ pikir saya, ‘cuma empat kilometer dari rumah.’ Rupanya salah besar, butuh sekitar 1,5 jam menuju lokasi. Itupun dengan jalan kaki mirip berlari kecil. Jalan menuju kampung itu berbelok-belok, penuh gang, dan hanya bisa dilalui motor.
Begitu menemukan Pandegiling, belok kiri menuju Kampung Malang Tengah, saya pun mencari Kedondong Kidul. Masuk gang Kedondong Kidul, melalui semacam sungai kecil di kanan jalan -yang sebagian permukaannya dipenuhi limbah tahi- tahulah saya wajah kumuh kampung di Surabaya belum benar-benar terhapus, tapi sekedar tersembunyi di balik gedung-gedung bertingkat, mall, dan minimarket modern.
Saya terus berjalan, sambil sesekali bertanya. “Rumah no 21 C di mana ya?”
“Siapa namanya?” tanya seorang ibu penjual warung.
“Sumarti,” kata saya. Ibu tadi langsung memberi ‘ancer-ancer’ samping gereja, yang rumah tingkat baru.
‘Wow, rumahnya bertingkat,’ pikir saya. ‘Apa benar-benar dia tak mampu dan hanya bisa memberi bayinya air gula?’ saya jadi bertanya-tanya.
Minggu lalu, kawan muda ibu saya yang juga dokter di puskesmas memberi info tentang pasiennya, bocah berumur 7 bulan, yang sekujur tubuhnya dipenuhi gelembung dan nanah. Eksim, dermatitis, nama keren penyakitnya. “Dia alergi parah. Kasihan melihatnya. Gizinya juga buruk. Waktu saya sarankan minum susu soya, ibunya berkata nggak mampu beli susu buat anaknya. Jadi setiap hari anaknya diberi air gula,” kisahnya.
Mungkin, jika anaknya tak alergi parah, si ibu akan memberikan sekedar susu cair kental manis. Ngirit juga ketimbang susu formula, atau air teh, seperti para keluarga kawan saya, buruh migran di Malaysia, ketika memperlakukan dan merawat bayi mereka.
Saya berjalan menuju arah yang benar, tapi salah rumah. Maklum di kampung yang jalan penghubungnya tak sampai 1,5 meter tadi ada beberapa rumah bertingkat. Untung si ibu mengikuti saya dan menunjukkan rumah yang benar, bahkan menemani menunggu sampai datang ibu si bayi. Si ibu bayi sedang membeli tabung gas elpiji entah di warung mana. Saya pilih duduk di luar, bersama bapak bayi yang menggendong anaknya yang sakit tadi. Para tetangga bilang, si bocah badannya mengerikan, nggak karu-karuan. Namun menurut pandangan saya, bocah tadi cukup lincah walau gampang merengek. Mungkin karena badannya gatal dan penuh nanah di beberapa bagian.
Continue reading →