Nama Morotai menarik minat saya saat seorang sopir oto -sebutan mobil carteran- menanyai tujuan seorang ibu yang turun dari speedboat di dermaga Sofifi, Halmahera Barat. Hari itu, 6 Juni 2010, saya tinggalkan dermaga Kota Baru Ternate pagi-pagi, melaju dengan speedboat selama satu jam menuju Sofifi, Tujuan awal saya Tobelo, kota di Halmahera Utara. Mendengar kata Morotai disebutkan ibu tadi, saya jadi ingin menyeberang ke Morotai.
Perjalanan dari Sofifi menuju Tobelo ditempuh selama 3 jam, menyusur pantai timur Halmahera. Dengan oto, ongkosnya Rp 75.000. Lumayan mahal. Saya duduk di bangku belakang ujung kanan LUV terbaru berpenumpang 6 orang. Mata saya pedih, sinar mentari tepat mengenai anak mata. Apalagi semalam saya begadang. Pemandangan hijau dan indah sepanjang perjalanan tak cukup menghibur.
Setelah istirahat makan di Malifut, kami memasuki Tobelo tengah hari. Turun di pelabuhan, saya langsung mencari kapal. Tapi feri ke Morotai baru saja berangkat. Dua penumpang lelaki pun lunglai meninggalkan pelabuhan. Saya coba bertahan, ditemani empat penumpang lain. Mereka hendak pulang ke Morotai.
“Kita tunggu di sini aja Kak, siapa tahu ada speed yang jalan,” ujar perempuan di samping saya. Suasana pelabuhan Tobelo mirip Tanjung Perak di Surabaya. Bangunannya penuh peti kemas, sangar, dingin. Hanya di sini lebih lengang dan nggak ada calo, apalagi pengemis atau pengamen.
Setengah jam kemudian kami dipanggil tukang speedboat. Disuruh menunggu di sebuah kapal. Tak berapa lama speed pun jalan, karena sudah ada 9 penumpang. Ongkosnya yang Rp 50.000 per orang dianggap cukup untuk membeli solar.
Butuh waktu 1,5 jam menuju Morotai, melalui belasan pulau-pulau kecil. Ada pulau yang cukup dihuni 2 pohon kelapa, ada pulau seukuran pekarangan sebuah rumah, semua berpasir putih. Saya bayangkan pulau-pulau seperti inilah yang menarik wisatawan asing dan membuat mereka nekad membelinya. Pulau pribadi.
Dikisahkan oleh teman di Galela, ada tiga pulau terapung yang berpindah-pindah tempat antara perairan di dekat Galela pesisir dan Morotai. Kadang pulau itu mendekati pantai Galela, kadang menjauh. Keberadaannya tak tetap. Yang melihatnya menjuluki pulau siluman. Pulau yang saya lihat dari speedboat siang itu pastilah pulau siluman !
Laut tenang siang itu. Kami pun tertidur dengan nyaman. Saya sempat berkali-kali mimpi buruk. Speed terbalik karena diterjang ombak besar. Halusinasi mungkin, akibat begadang semalam dan terlalu banyak ngopi. Ketika pemilik speed meminta ongkos, legalah saya. Morotai sudah dekat lagi.
Morotai ternyata panas, dilalui garis khatulistiwa sih ! Begitu menginjakkan kaki di dermaga, sadarlah saya tak punya bekal informasi yang cukup tentang pulau satu ini. Tak ada peta, tak disebutkan dalam lembar lonely planet secara detil. Yang saya ingat inilah pulau yang dijadikan basis militer sekutu, khususnya pasukan Amerika, dalam menggempur pasukan Jepang dalam PD II. Walau buta, hati saya riang. Saya suka Morotai. Pantainya indah, bersih, berpasir putih, dan belum terjamah.
Saya berlari sepanjang dermaga yang panjang, motret sana-sini. Sementara penumpang speed terakhir sudah menghilang dibawa ojek entah kemana. Akhirnya saya putuskan berjalan kaki, melalui pasar di pinggir pelabuhan, lalu lurus mendaki. Pura-pura tak peduli. Tiba-tiba seorang lelaki, berpakaian tentara, yang menyapu di depan kantornya, menegur saya. “Ci mau kemana?” Obrolan pembukanya bagai titik terang. Saya bisa bertanya ini-itu.
Kantor batalyonnya menghadap ke sebuah gereja. Tua. Nampak rusak. Bobrok. Buah Hati Kudus namanya. Ada tanya. Kenapa bisa rusak begitu dan tak diperbaiki. Ada keinginan mengabadikannya.
Pak tentara yang pernah 26 tahun tugas di Nabire, Papua ini lalu meminjamkan keponakannya, tukang ojek, untuk membawa saya keliling Morotai. Tengah hari, pukul 2.00, saat panas-panasnya, saya ron Morotai. Banyak yang mau saya lihat, terutama peninggalan tentara sekutu di sana. Ada dermaga tua, ada transmeter air kaca, juga sebuah meriam yang tak utuh lagi. Sempat kami menuju bandara, tapi dilarang petugas lanud di sana untuk motret. Pangkalan militer. Tertutup bagi umum. Tapi saya tidak menyerah, menyelip di sela jalan menuju bandara untuk mengambil gambar sekedarnya.
Sayang tak banyak lagi yang tersisa dari PD II. Bangkai kapal selam sudah banyak yang diangkat. Meriam-meriam, tank-tank, dan semuanya bersih diangkut Herlina, Pahlawan Trikora, untuk dijual sebagai besi tua. Sisa-sisa besi tua ini disulap menjadi beragam alat perhiasan yang disebut besi putih, dan dijual di Ternate.
“Paling kakak bisa menuju Pulau Sumsum, sewa ketinting dari sini. Di sana sedang dibuat patung Mc Arthur,” kata tukang ojek, mencoba menghibur. Saya mengiyakan. Ada juga Pulau Langere-ngere, tempat budi daya mutiara. Satu dua industri perhiasan dari besi putih ada di sebalik pulau lengkap dengan rongsokan besi tua kapal selam.
Dalam kepanasan dan keputusasaan menyusuri jejak Mc Arthur, saya menemukan hal lain. Gereja-gereja yang rusak, puing-puing rumah yang menyemak, sia-sisa kerusuhan agama sepanjang 1999-2002. Saya tanya tukang ojek itu.
“Kamu di sini selama kerusuhan itu?”
“Iya Kakak, saya masih dua SMA ketika itu,” jawabnya lirih.
“Apa yang kamu lihat? Seramkah..”
“Aaih.. begitulah, aih.. gimana ya, aih..aih”
Lelaki itu tak mampu berucap. Kehabisan kata. Wajahnya yang merah terbakar nampak pias. Ada kengerian di matanya.
“Kak, semak yang kita lalui tadi itu dulu pernah jadi pemukiman penduduk. Tapi rumah dan penghuninya habis saat kerusuhan.”
“Kenapa tak dibangun lagi?” tanya saya ingin tahu. Teringat saya onggokan gereja tadi.
“Itu tanah orang. Yang punya telah dibantai, takkan torang tinggal dekat situ to.”
Saya tercekat. Kami lalu melalui gereja sederhana. Dari kayu. Juga rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana. Laju motor menembus kampung yang ramai, ada masjid bagus di sana. Mayoritas penghuni Morotai memang muslim. Umumnya orang keturunan Ternate, Galela dan Tobelo. Bahasa yang mereka gunakan pun campuran ketiga bahasa daerah tersebut, ditambah bahasa pasar, bahasa sehari-hari maluku utara.
Orang-orang di kampung sangat ramah. Yang perempuan sibuk mencari kutu saat siang, yang lelaki bekerja di kebun. Ada sedikit persawahan di bagian timur, juga cengkeh, pala, dan jagung. Tanah umumnya kerontang. Meranggas. Listrik tak selalu menyala. Sinyal HP hanya milik telkomsel, itu pun hanya di dekat dermaga.
Nelayan hanya berada di sepanjang dermaga. Tak banyak. Ikan tore dan cakalang banyak dijual. Senang sekali melihat nelayan membawa hasil tangkapannya sore itu. Mungkin hanya ikan yang murah di sini. Hampir semua bahan pokok diambil dari Tobelo yang sudah dua kali lipat harganya.
Walau menyengat, Morotai eksotis. Pantai-pantainya berpasir putih. Terumbu karangnya utuh, kecuali di bagian bangkai kapal selam PD II diambil. Hanya dengan mata telanjang kita bisa menembus kedalaman laut yang menghijau oleh terumbu karang. Tapi bulu babinya banyak. Salah menginjakkan kaki bisa panas sekujur tubuh.
Malam itu saya menginap di Losmen Tonga. Mahal buat ukuran penginapan sederhana. Tak ada kipas angin, berkali-kali mati lampu, dan banyak nyamuknya. Tiba-tiba saya teringat kawan yang mewanti-wanti tentang Malaria. Tapi saya pejamkan mata juga. Berharap bertemu hantu Douglas Mc Arthur.
Pernah dimuat di kompas.com
kawanlama95 said:
kerusuhan hanya akan membawa kesengsaraan dan trauma. dan tempat ini memang sangat indah. dan patut dikunjungi.wah kalo kawanlama95 kesana .bisa dianterin juga ya.
ary amhir said:
boleh.. jalanlah ke maluku, sayang kalo dilewatkan hehe.. cuma mesti siap2, transportasi 2-3x lipat jawa, lainnya bisa ditekan
Mimma said:
Pak, boleh tau nama penginapan dan ratenya di ternate tidore tobelo dan morotai? saya berencana untuk liburan ke sana setelah lebaran ini. cukup kah 7 hari keliling-keliling di sana. terimakasih.
ary amhir said:
penginapan di ternate banyak,mulai kelas melati hingga bintang 3. diantaranya hotel indah, neraca golden hotel, losmen kita. sedang di tidore penginapan sekitar soa sio, ada penginapan sibu, eky. kalau ke tobelo yang terbagus dan murah di hotel juliana. sedang di morotai ada hotel muslim.
rate penginapan ini antara 100-200 rb semalam, tanpa makan pagi.
7 hari cukup untuk keliling ternate, tidore, morotai. tapi perhitungkan waktu perjalanan. misalnya jika lewat jalan darat, harus pukul 6 pagi dari ternate naik speed menuju sofifi, halmahera, karena speed yang dari tobelo menuju morotai paling lambat pukul 12 siang.
btw, saya perempuan
salam,
Mimma said:
Hehehe maaf ternyata Mbak Ari itu perempuan ya… Terima kasih infonya.
Rencananya saya mau backpacker-an sendiri ke sana. enaknya sih ada teman ya, biar bisa sharing cost penginapan dan sewa katinting kalo mau snorkling dan main2 ke pulau2 kecil di sekitar perairan ternate halmahera morotai.
Mimma said:
Hehehe maaf ternyata Mbak Ari itu perempuan ya… Terima kasih infonya.
Rencananya saya mau backpacker-an sendiri ke sana awal november ini. enaknya sih ada teman ya, biar bisa sharing cost penginapan dan sewa katinting kalo mau snorkling dan main2 ke pulau2 kecil di sekitar perairan ternate halmahera morotai.
salam,
Mimma
ary amhir said:
maluku utara mahal di transpot dan makan. sewa katinting sekitar Rp 100-150 rb sehari. sedang ojek untuk keliling pulau berkisar 40-50 rb, jadi jangan bayar lebih dari itu. ongkos speed sudah pasti, oto jurusan sofifi-tobelo 75 rb, tobelo-jailolo 100 rb. speed ke tobelo-morotai maksimal 50 rb.
oke, selamat jalan-jalan.
Mimma said:
sekali lagi terimakasih banyak untuk infonya. saya catat baik2, utk referensi perjalanan nanti. kalo ntar mau tanya2 lagi ga keberatan kan?
salam,
Mimma
ary amhir said:
silakan.. dengan senang hati saya jawab kalau sudang onlen
Agus hend said:
Wah morotai memang eksotis. Tapi sy baru keliling ternate, mulai dari ziarah sultan baabullah, kedaton ternate, dan tolire. Di Kedaton, sy mendapat kehormatan dari raja ternate, krn sy mendapat kesempatan ruang pribadi raja raja ternate dan sy juga diminta berdoa ditempat khusus para ningkrat ternate melakukan yasinan atau majlis dzikir. Lalu ke danau tolire jelang magrib, lagi lagi sy ketemu bapak tua yg lusuh berwajah jelek, tapi sy dimimta doa di atas danau tolire. Ternyata usai doa, sy mendapat 2 batu merah delima dari bapak tua yg misterius ini. Batu permata yg sgt cantik, merah delima. Alhamdulillah. Semua serba tiba tiba dan kebetulan dlm rasionalitas sbg seorang insinyur yg hobby traveling. Dlm waktu dekat mau traveling ke sofifi dan tidore. Salam, agus
ary amhir said:
selamat keliling ternate,tidore, dan halmahera kalau begitu 😀 *saya sudah
Pingback: SEMATA MOROTAI « Othervisions
Agus Setia Permana said:
Salam kenal mbak Ari, saya jg pernah stay cukup lama di Pulau Morotai sekitar pertengahan 2013.
Karena ada tugas terkait dengan lanjutan kegiatan “Sail Morotai”
Saat itu kondisi sudah lebih baik dari saat mbak Ari ke sana.
Hotel sudah ada dan lumayan bagus, jaringan komunikasi memang masih “dikuasai” Telkomsel sampai saat ini..hehehe