Dulu mereka dikenal sebagai orang pedalaman yang tertutup dan pemalu, kuat memegang tradisi, dan dikenali dari sarung hitam yang dikenakannya. Kemiskinan memaksa mereka membuka diri, kalau perlu berkompromi dengan tradisi. Demi kehidupan yang lebih baik, alasannya. Namun semua itu belum cukup.
Oto sudah sarat muatan. Namun sopirnya masih berputar-putar mencari penumpang, mengitari jalan sepanjang terminal kota Ruteng. Ketika akhirnya truk dengan tempat duduk berjajar di belakang ini melaju, membelah bukit-bukit tinggi, menekuk aspalan tipis penuh tikungan, saya merasa lega. Sebagian penumpang bergelantungan di sisi luar, membiarkan tubuhnya digores-gores pepohonan. Harum bebungaan kopi mengisi dingin udara, bercampur kuikan babi hitam sebesar anak kerbau di bangku belakang.
“Mau ke mana?” tegur pemuda yang duduk di depan saya. Usai sejenak bertukar kata, pertanyaan serupa ganti dilontarkan seorang bapak bersarung hitam di sampingnya, lalu orang di sebelahnya, disambung orang di belakangnya, lalu disampingnya, begitu seterusnya. Hingga penumpang seluruh oto tahu tujuan saya.