” Konon jumlah sapi di pulau ini lebih banyak ketimbang jumlah penduduknya. Hasil sensus kependudukan tahun 1995 misalnya menyebutkan ada 35 ribu ekor sapi dan hanya 30 ribu penduduk. Sapudi lalu dikenal sebagai pulau sapi, di sinilah calon sapi karapan pulau Madura didatangkan. “

Podae, orang madura menyebutnya. Pulau Sapudi, nama yang tertera di peta. Diambil dari kata sepuh dewe, tua sendiri, yang berarti di pulau inilah dulu dihuni sesepuh orang madura, Adipeday dan Pottre  Koneng ,yang memiliki anak Joko Tole.

Butuh waktu 3-4 jam untuk menempuh pulau ini dari pelabuhan Kalianget, Sumenep, Madura. Kapal hanya ada dua kali seminggu, namun selalu ada perahu bermotor yang mampu menampung 30-40 orang. Kalau ingin cepat bisa lewat Pelabuhan Dungkek, dekat Pantai Camplong. Hanya butuh 2 jam perjalanan.

Pagi itu saya menuju Sapudi dari Kalianget. Perahu bermotor itu telah sesak orang. Perjalanan mundur 1 jam dari jadwal, karena ada muatan penting yang ditunggu, berdrum-drum minyak tanah dan bensin, dua sepeda motor, berdus-dus barang dagangan, serta sayur-mayur berpikul-pikul. Ketika perahu akhirnya berjalan, legalah hati saya. Cuaca bagus, cerah, bersahabat. Laut pun tenang, beriak-riak. Angin sepoi-sepoi bertiup, membuat mata ingin mengatup.

Rupanya sebagian besar penumpang yang muda usia itu adalah guru. Ya, mereka guru SMAN 1 Gayam. Senin besok ujian semester, jadi mereka dituntut datang bekerja. Seorang guru, nampak kepayahan. Dia sedang hamil tujuh bulan. Kerjanya hanya rebahan di lantai papan yang dilapisi plastik.

“Anda mau nginap dimana?” tanya seorang lelaki di samping saya. Saya menggeleng, tak tahu. Saya benar-benar buta informasi tentang Sapudi. “Mungkin cari penginapan,” kata saya. Dia ganti menggeleng, tanda tak setuju. “Ikut saya saja, Anda bisa tidur di kos teman saya.”

Baru kemudian saya tahu lelaki yang mengajak saya ngobrol tadi adalah Agus Suharjoko, guru kesenian SMA1 Gayam. Dia juga salah satu tokoh Dewan Kesenian Jawa Timur, dan giat mengembangkan teater dan topeng madura di Sumenep. Singkat cerita, begitu turun dari perahu motor, kami harus naik perahu layar, dan menaiki dermaga untuk menginjakkan kaki  ke Sapudi. Di atas, menunggu Agus dan dua kawannya dengan motor. Kami lalu menuju sekolah.

Saya kemudian bertemu Lili, alumnus Universitas Negeri Malang jurusan Bahasa Inggris, yang baru saja lulus dan mengajar di sana. Rencananya saya akan bermalam di rumah kosnya malam ini. Ruang guru sekolah itu ibarat rumah kos bagi para bapak guru ini. Bayangkan saja, mereka mandi, memasak air dan indomie, bahkan juga tidur di sini setiap hari.

“Mandi saja di sini, airnya tawar,” kata Agus. Air yang mengalir di rumah penduduk Sapudi itu payau, kalau digunakan untuk sikat gigi nano-nano rasanya. Makanya para guru lebih senang mandi di kantor. Lepas mandi, ngopi, kami berenam segera berangkat, menjelajah Sapudi dari arah timur.

Pulau Sapi

Pulau Sapudi itu kecil saja. Luasnya sekitar 35 kilometer persegi. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk mengelilingi pulau, karena jalan yang kadang rusak dan berbatu. Konon jumlah sapi di pulau ini lebih banyak ketimbang jumlah penduduknya. Hasil sensus kependudukan tahun 1995 misalnya menyebutkan ada 35 ribu ekor sapi dan hanya 30 ribu penduduk. Sapudi juga dikenal sebagai pulau sapi, di sinilah calon sapi karapan pulau Madura didatangkan. Setiap minggu 50-100 ekor sapi dikirim ke Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan.

Wisata Sapudi pun tak banyak macamnya. Umumnya berupa peninggalan bersejarah seperti makam, mata air, atau gua. Gua atau makam ini menjorok di tepi pantai yang sangat indah dan masih perawan. Saya sempat mengunjungi Batu Gong peninggalan Ratu Bali yang pernah memimpin Sapudi. Lalu ada Sumur Tasik di tepi pantai, dan Goa Adipoda Adirasa. Masuk maghrib, kami semua pulang, menuju sekolah.

Listrik dan Matinya Ekonomi

Betapa sunyi dan gelap jalanan sepanjang jalan pulang. Sebagian pulau gelap total, sebagian lagi diterangi lampu listrik. Rupanya sedang ada pemadaman bergilir. Listrik di sekolah pun padam. Untung tersedia generator. Anehnya, listrik di Kantor Telkom yang berada di samping sekolah tetap menyala. Rupanya pemadaman listrik tidak berlaku bagi instansi pemerintah.

Menurut Rudi, guru BP yang sudah 3 tahun mengajar di Sapudi, listrik di Sapudi, Raas, atau pulau-pulau lain di timur Madura hanya bisa dinikmati sejak pukul 6 petang hingga 5 pagi. Bahkan di Pulau Sapeken yang notabene penyumbang LNG terbesar di Indonesia, rakyatnya justru susah menikmati listrik.

Geliat ekonomi di Sapudi nyaris mati. Mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Hanya sedikit yang bertani, itupun hanya menanam jagung dan padi di musim hujan. Di musim kemarau, tanah menjadi gosong dan meranggas. Hampir semua orang akan melaut atau pergi ke daerah lain untuk bekerja.

Ekonomi yang tak berkembang membuat uang dihargai begitu tinggi. Barang dan jasa lokal dihargai murah. Sebagai contoh, kita bisa mendapatkan nasi pecel atau lontong sayur plus krupuk senilai Rp 1000. Ongkos becak dari dermaga ke kampung yang berjarak 2-3 km juga Rp 1000. Sebaliknya, barang-barang produksi yang didatangkan dari Sumenep seperti sabun, odol, biskuit, minuman mineral, 1,5 kali lebih mahal.

Nasib Guru

Yang menarik, angka perceraian di daerah ini juga tinggi. Lebih separo murid SMA1 berasal dari keluarga broken home. Menurut Rudi, hal ini disebabkan faktor ekonomi, pernikahan berdasarkan perjodohan orang tua, dan rendahnya pendidikan. Itulah sebabnya Rudi berusaha memotivasi anak didiknya untuk melanjutkan sekolah, kuliah ke daerah lain. “Saya ingin anak didik  saya terbuka wawasannya, jangan sampai otaknya terpatri mati pada kehidupan di sini.”

Sebuah perjuangan yang berat mengingat orang tua tak lagi menganggap penting pendidikan anak paska SMP. Kondisi broken home ini membuat anak kurang mendapat perhatian penuh. “Untungnya di sini berlaku sistem keluarga angkat. Jika orangtua kandung si anak bercerai, tanggung jawab akan diambil alih orang tua angkat,” tambah Yuli. Apalagi di setiap desa, warganya masih memiliki hubungan kekerabatan.

Kini Rudi, Yuli dan guru-guru lain berusaha agar anak didiknya bisa melanjutkan kuliah, dan setelah lulus mau membangun Sapudi kembali. Usaha ini mulai menuai hasil. Beberapa pemuda yang kuliah akhirnya kembali ke pulau ini sebagai guru, juru rawat, bidan, atau dokter. Para guru ini pun berbesar hati, walau gaji mereka sering terlambat, dan tunjangan-tunjangan mereka banyak disunat.

Soal tunjangan ini, Rudi bercerita banyak. “Sebelum di sini, saya bekerja sebagai guru di Masa Lembu selama empat tahun. Waktu itu saya mendapat tunjangan transportasi Rp 25 ribu per bulan. Ketika di sini, tunjangan itu dihapuskan. Padahal setiap minggu saya harus pulang ke Sumenep, menjumpai istri dan anak saya. Ini kan sama dengan memotong tunjangan biologis saya,” protesnya. Apalagi hingga saat ini para guru tak mendapat perumahan atau mess. Malah mereka harus bayar sewa rumah kos.

Betul juga. Sekali perjalanan dari Sumenep ke Sapudi minimal butuh duit Rp 41 ribu buat ongkos colt ke Kalianget dan perahu motor. Kalau pulang pergi bisa habis Rp 82 ribu. Dalam sebulan, paling tidak dibutuhkan Rp 328 ribu untuk 4x pp. Padahal gaji guru berapa sih? Masak harus pulang sebulan sekali dan puasa menyalurkan hasrat? Nggak logis dong!