Tags

Pagi itu kami berangkat. Membelah barat. Nuju terang bianglala. Tepat di pangkal tambak garam, mentari keburu memburat. Merah langit. Sorot gelap sekeliling. Dingin udara menusuk tulang. Sekejap saja.

Lalu sekitar mulai berbinar. Kilau emas memantul dari air seputaran. Dimana ini? Tanya saya. Mirip di negeri kincir angin, karena puluhan kincir penuhi sekeliling. Mirip negeri yang dikelilingi kanal, karena nampak sebuah kanal alirkan air. Iya, air yang dipompa dari dalam tanah, lalu meruah isi sekitar, puluhan hektar tambak garam.

kerontang. merongkah.

Juni melambat, hujan sepotong tersisa. Juli harusnya puncak bahagia penggarap garam rakyat. Lalu puncaknya Agustus , terus hingga jelang hujan musim berikut. Namun dimana-mana tanah merongkah. Kering. Pecah. Seolah lama tak dibuai air laut.

Hujan salah mangsa, Mbak. Penggarap garam enggan datang. Rugi katanya. Tenaga mereka terbuang percuma. Hanya sisakan lelah tanpa hasil. Mosok sekilo garam hanya dihargai seratus limapuluh rupiah. Seru seorang lelaki mengeja alasan. Dia datang dri seberang. Gudang-gudang garam yang melompong dimakan jamur dan kurap.

Rol penghalus tanah dan siwur menganggur. Teronggok begitu saja. Pipa-pipa pengalir air laut nampak kering tak terurus. Pondok bambu di sekitar pun rengsek, nyaris roboh. Lama tambak garam di sini tak terjamah. Berbulankah? Kemana para penggarap pergi?

Tak jauh di ujung tambak sebuah papan nama tertancap. Isinya, ‘tanah di sini milik pt si anu’. Nama developer perumahan kelas kakap. Tambak yang di situ memang sudah dijual, Mbak. Garamnya tak laku dijual. Tercemar sampah. Adu penduduk. Iya, siapa yang mau beli garam yang tercemar Cuprum. Bisa-bisa, habis makan garam itu bodoh pula kita dibuatnya. Cacat pula anak cucu kita.

tanah ini milik 'anu'

Kami pun berkeliling. Abadikan tanah pecah, tambak garam menganggur, kincir angin di kejauhan. Juga tiang-tiang listrik yang mirip menara Eiffel (dalam imajinasi tentunya). Puas memagut gambar, memandang gudang-gudang yang melompong, kami tinggalkan tempat itu. Lambat-lambat. Ini bagian dari tambak garam terakhir yang tersisa di ujung barat Surabaya, berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Siapa tahu tahun depan ketika kami kemari, sudah berganti wajah.  Tak ada lagi tambak garam, menjelma real estate baru. Siapa tahu.

gudang melompong

*Note : baru saja kubaca di harian Surya edisi 25 Juli 2011, harga garam naik drastis. Garam kualitas I menjadi Rp 750.000 – Rp. 850.000 per ton, sedang kualitas II Rp 600.000 per ton. Bahkan pemerintah berencana menaikkan harga menjadi Rp 1 juta per ton. Alasannya, tambak garam yang dikelola rakyat menyusut tajam, sementara permintaan garam setiap tahun terus meningkat.