Tags
Sore itu, ketika menyusuri jalan dari Desa Banjar menuju Munduk dengan motor, saya mencium harum cengkeh. Yah.. sekarang musim cengkeh berbunga, panen raya malah. Aroma cengkeh menguar dari jajaran bunga cengkeh yang dijemur beralas plastik, juga dari pucuk-pucuk pohon cengkeh di beberapa bagian jalan. Tak jarang, saya melihat ada beberapa bunga cengkeh yang kelewat tua untuk dipetik. Warnanya merah, dan sudah mekar. Sayang sekali jika terlambat dipetik, harganya pasti jatuh, pikir saya.
Nyaris tak terlihat buruh pemetik cengkeh. Namun pemandangan orang sedang mengepik -memisahkan bunga cengkeh dari tangkainya- tampak di beberapa tempat.
“Banyak buruh petik yang mudik ke Jawa karena lebaran haji,” tutur tukang ojek yang motornya saya naiki, seolah dapat membaca pikiran saya. Buruh pemetik umumnya datang dari luar desa, ada yang dari Seririt atau bagian lain Bali, dan belakangan ini banyak pendatang dari Jawa yang khusus datang ke Bali untuk memetik cengkeh. Mirip pekerjaan musiman, khusus di Bulan Juni hingga Oktober.
Tahun lalu nyaris tak ada cengkeh yang berbunga karena hujan salah musim. Tahun ini panen cengkeh terjadi serentak. Padahal biasanya berawal dari desa-desa di barat sebelum menuju desa-desa di utara seperti Munduk, Kayu putih, atau Gesing.
Panen serentak, diikuti lebaran haji, membuat Keberadaan buruh petik menjadi langka. (Saya pernah menulis tentang cengkeh di Munduk dengan judul ‘Cengkeh yang Menghidupi‘ lima tahun lalu.)