banyak juga yang ikut upacara, ada 20-30an orang. guyup ala orang desa. kebun ini tepat di atas anak tangga menuju air terjun Mlanting bawah. di sela doa yang dipanjatkan pemangku, sayup-sayup terdengar gemercik air dan tiupan angin pegunungan.
Tanggal 14 November lalu saya diajak kawan ikut ke kebunnya. Dia sedang melakukan upacara sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen kebun tahun ini. Teman saya ini, petani kopi dan cengkeh yang suka VW kodok tahun 1975, memiliki banyak kebun. Ada kebun kopi, cengkeh, buah naga, dan juga sawah. Hampir semua kebun dan sawahnya dikelola secara alami, pupuk organik dia dan pegawainya buat sendiri. Nah, kali ini dia melakukan upacara di kebun yang dekat air terjun Mlanting, di Desa Munduk. Hari itu bertepatan dengan purnama, hari baik untuk melakukan upacara.
Perjalanan dimulai pukul 8.00, saya naik ojek menuju kebun. Ojek melalui jalanan tipis -sempit memanjang dan menurun- menuju arah air terjun Mlanting atas, lalu air terjun Mlanting bawah. Walau dibonceng, rasanya ngeri juga. Salah jalan sedikit, bisa-bisa tubuh saya melayang masuk jurang. Tukang ojeknya -lelaki berumur 50-an berbadan besar- terlihat riang, mengendalikan stang motor sambil berlagu. Sesekali meniup telinga anaknya yang duduk paling depan. Mungkin dia sedang berdoa agar anaknya tak meniru langkahnya menjadi tukang ojek, atau sekedar menularkan keberanian?
Ketika melihat motor kawan saya diparkir di tepi pohon, dia berteriak sambil tertawa, “Lha.. orangnya takut turun. Motornya diletakkan di sini.!” Gembira sekali, mirip mendapat lotre.
Di kebun sudah banyak orang datang. Halaman rumah penjaga kebun kopi -Kadik OO- diatur mirip ada pesta kecil. Kursi-kursi plastik warna merah ditata memanjang, para perempuan lengkap dengan kebaya dan kamen duduk, ngopi, ngeteh, dan melahap jajak -jajanan- yang disajikan. Mungkin saya satu-satunya yang tak mengenakan kamen, sebab saya pikir tak banyak yang datang. Anjing-anjing berkeliaran ke sana ke mari mencari sisa makanan tanpa menggonggong atau mempedulikan orang. Kalau melihat ada tamu bar datang, satu persatu anjing-anjing itu mendekat, lalui membaui kita. Mungkin mau kenalan.
Di sana saya jumpai beberapa kawan lama, antara lain Kadek OO yang pernah saya wawancarai tentang menyambung batang kopi agar tanaman kopi menjadi kuat. Juga Pak Lengkong, lelaki yang menjaga sawah di depan Puri Lumbung. Lalu beberapa perempuan kerabat si pemilik kebun, beberapa petani kopi tetangga.
Sebelum upacara, kami dipersilakan makan. Mula-mula para lelaki yang makan, lalu perempuan. Usai makan, baru upacara dimulai.
Upacara ini, selain ungkapan sukur kepada Dewata, juga “Penjaga Kebun’ dan para leluhur, atas panen kopi dan cengkeh, juga sebagai penanda didirikannya pura baru -pengganti pura lama yang rusak- di kebun. Karena itu, dihadirkan sesaji berupa babi gulung yang besarnya mirip anak umur 3-4 tahun. Upacara diakhiri dengan mecaru -bersih-bersih kebun- yang ditandai dengan orang-orang berjalan memutari halaman penjaga kebun berkali-kali.
Ritual kebun ini, mirip pemujaan kepada Dewi Sri di Jawa, yang menjadi ciri khas budaya lama nusantara. Pemujaan seperti ini tidak ditemukan di India, negeri asal Hindu. Ritual kebun berakar dari kepercayaan animisme dinamisme di masa lama, sebelum agama-agama dunia menyerbu nusantara.
Continue reading →