Tags

,

Dia menghubungi saat saya mulai ‘alergi’ pada kaum bule. Dia bilang mau tahu tentang kehidupan orang lokal di Bali. Jadi saya bilang, silakan saja datang kapan pun. Saat itu dia sedang ikut tur ke Bromo-Ijen setelah meninggalkan kota gudeg.

Jon di tengah sawah di Dayang

Jon di tengah sawah di Dayang

Tiba-tiba dia muncul di Munduk, saat saya hendak menghadiri odalan di sebuah pura di Desa Gobleg. Saya tanya apa dia mau ikut. “Saya ikut,” katanya, ‘”tapi mau mandi dulu.” Empat puluh menit kemudian kami sudah menyusuri jalan setapak yang tidak indah -menurun tajam, menuju jurang, lalu menaik- jalan pintas sekitar 4 km ke Gobleg. Tiga puluh menit kemudian kami sampai di pura.

Jon Raby, dia menyebut dirinya, asli kelahiran Oregon, namun sejak 7 tahun lalu menghabiskan hidupnya dengan berkelana sambil menjadi guru bahasa Inggris di negara dunia ketiga. Dia memang pernah kuliah di sastra Inggris selama dua tahun, lalu drop out dan melakoni banyak profesi.

Mungkin karena berbulan tinggal di Vietnam, mulanya di Ho Chi Min City, lalu pindah ke Da Nang- perilakunya mirip orang Asia. Ramah, gampang menyapa, selalu bilang ‘terimakasih’ atau ‘sampai jumpa’ juga ‘halo’. Renyah saja. Mungkin karena berasal dari negara adikuasa, dia tak pernah protes kena harga turis. Dia hanya menawar jika harga dirasa ‘tidak realistik’. Pada sepiring sate seharga Rp.20.000 -yang biasanya Rp.5000- dia tak protes. Pada sepiring gado-gado yang harganya Rp.10.000 -padahal biasanya Rp.4.000- pun dia tak peduli. Namun ketika penjual melanggar kesepakatan, dia akan memaki. Itulah Jon.

Jon menikmati odalan -semacam ritual yang dilakukan jelang dan saat purnama, atau bulan mati- di Pura Pemulungan Agung, Gobleg. Berbekal sarung dan selendang yang saya pinjami, dia membaur dengan peserta odalan lainnya, menikmati Gong Munduk yang mengiringi belasan tarian. Saya tak perlu memandunya setiap saat. Saya lepas dia ala domba yang menemukan padang gembala. Lalu saya pun asik mendokumentasikan ritual sambil bertanya ini-itu kepada peserta maupun pemangku pura.

Lebih dua jam dalam ritual, kami pulang. Lagi dengan berjalan kaki, mendaki bukit yang kemiringannya lebih 70 derajad selama 40 menit dalam gelap. Sampai di rumah, tubuh kuyup. Saya lihat dia tak mengeluh kelelahan, hanya kelaparan. Setelah pesan makan malam di restoran, dia pun pamit tidur.

panen di Dayang tiga hari kemudian

panen di Dayang tiga hari kemudian

Keesokan harinya dia ikut saya ke Dayang, bagian dari Desa Munduk yang dipenuhi persawahan teras siring. Di sini dulu saya membawa kru metro teve dalam program kick andy. Kini saya menemui para penyakap dan berbincang dengan mereka. Jon ikut di belakang, tak menolak disuguhi makanan bekas banten -sesaji upacara-, sesekali bergurau dengan hewan peliharaan, baik sapi, anjing, maupun kucing. Saya lihat, dia jenis pencinta binatang, bukan vegetarian, dan tak rewel soal makanan. Sebelum berangkat dia membeli nasi yang dibungkus daun pisang dan beberapa gorengan. Harga lokal tentunya, hanya Rp 6.000. Usai mewawancarai penyakap -penggarap tanah- di sana, kami menuju warung terdekat, dan disuguhi air kelapa muda.

“Berapa?” tanya Jon. Walau baru dua minggu di Indonesia, dia sudah belajar beberapa kata. Mulai terimakasih, berapa, selamat pagi-siang-malam, sampai jumpa, dan selamat tidur.

“Terserah,” kata si pemilik warung. Jon kebingungan. ‘Terserah’ tak ada dalam kosa katanya. “Up to you,” ulang saya.

“What? How come?” dia terperanjat. Umumnya penjual cenderung menaikkan harga bila pembelinya bule. Tapi kali ini lain. Saya tertawa. Jon lalu mengangsurkan lembaran ungu.

Ketika saya sibuk menulis laporan usai dari Dayang, Jon mencari kegiatan sendiri. Ke air terjun, katanya, sambil berbincang dengan orang lokal. Dia selalu menemukan kegiatan baru tanpa perlu saya temani. Saya hanya menjelaskan hal-hal prinsip, dia lalu melakukan semua sendiri, dengan improvisasi dan kreativitasnya sendiri, tentunya.

Ketika bertukar kabar, dia berkisah sudah 2-3 bulan tinggal di Vietnam. Dia jatuh cinta dengan negeri itu, dengan karakteristik penduduknya. ‘Di tempat lain, orang ramah dengan orang asing sepertiku untuk mendapatkan uang. Tapi di Vietnam, orangnya jujur, tak perlu bermanis-manis. Bahkan saat menipu orang asing,” katanya. Orang Vietnam dengan ringannya akan bilang dia gembrot, jelek, hidungnya bengkok atau sejenisnya. Tak ada kesan meninggikan atau menghamba. Begitu juga saat mereka menaikkan harga untuk menipunya. “Kubilang harga sebenarnya 5 dolar, lalu mereka menjawab, “Oke Man, kau sudah tahu rupanya. Bayar 5 dolar saja!”

Jon anak satu-satunya. Ibunya berpisah dengan ayahnya saat dia berumur 4 tahun. Kemudian dia ikut ibunya, sempat kuliah sebelum memutuskan bekerja serabutan dan bepergian ke penjuru dunia. Untuk membiayai perjalanannya, dia menjadi pengajar Bahasa Inggris. Ketika ibunya sakit, dia memboyong ibunya ke Vietnam, namun kesehatan si ibu tak jua membaik. Dia lalu membawa ibunya ke Takoma Pai, sebuah daerah volunteering pertanian organik di pegunungan wilayah Chiang Mai. Saya pernah ke Pai tahun lalu. Bertani di sana memang menyenangkan. Apalagi kumpul dengan banyak orang asing dari berbagai negara. Padahal bertani ala volunteering di Pai mesti membayar, makan pun mesti memasak sendiri..

“Dua minggu di Pai, kesehatan ibuku membaik walau penyakit yang menyerangnya tak hilang. Dia lalu kembali ke Oregon, membuka kebun seluas satu are di dekat hutan. Di sana dia mengusahakan aneka sayur dan tanaman obat, juga membuat green house agar dapat bertanam di saat cuaca buruk.” jelas Jon saat kami mengunjungi kebun kopi. Hari itu kami belajar menyambung kopi dari salah satu penggarapnya.

Suatu ketika dia membaca sebuah artikel tentang pohon kelor alias moringa oleifera dengan seabreg khasiatnya di sebuah majalah terbitan Inggris. Ketika berkunjung ke Indonesia, dia menanyakan hal itu kepada saya. Saya tak tahu apakah dia juga menanyakan tentang kelor kepada kawan Indonesia yang ditemuinya di Jogjakarta.

Sayang, si moringa sudah mulai langka di Munduk. Di sepanjang jalan menuju Kota Singaraja justru tanaman dewa ini tumbuh liar. Perhatian Jon lalu tertuju pada pohon randu, coklat, terung, cengkeh, dan beraneka tetanaman yang kami lalui menuju Dayang keesokan harinya, atau kebun kopi dekat air terjun Mlanting di hari lainnya. Setelah memotret tanaman yang menurutnya menarik, diambilnya beberapa biji tanaman untuk dibawanya ke Oregon.

“Akan kuhadiahkan kepada ibuku,” katanya riang.

 Usai berkeliling, membuntuti saya naik turun bukit, menemui orang-orang yang saya wawancarai, dia lalu tekun menulis di buku catatannya. Dia tak berbekal laptop. Bukan hal penting, begitu alasannya. Namun menulis jurnal setiap malam selalu dilakukannya. Dia juga menanyakan kosa kata baru yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Minat bergurunya besar meski dia sendiri guru.

“Saya lebih suka belajar lewat perjalanan, bukan di bangku kuliah,” akunya suatu malam. “Saya lebih suka mengamati bagaimana orang bekerja atau bereaksi akan sesuatu ketimbang membacanya di sebuah buku.” Pantas buku panduan Lonely Planet pun dicampakkannya. “Aku berikan kepada seseorang, biar tidak memberati rangsel.” Nah, itu memang Jon.

Jon terpesona pada padi yang menguning di Dayang dan berencana ikut membantu saat panen. Tiga malam di Munduk, dia pun pamit ke Denpasar untuk mengunjungi sebuah toko tanaman obat. Hujan dua hari dua malam membuatnya tak dapat menyaksikan panen di Dayang. Dia hanya berkesah dalam sebuah pesan singkat. “Aku merasa tidak lagi seperti melakukan perjalanan.” Entah apa maksudnya. Mungkin dia sudah dikepung rindu untuk sampai di Oregon dan bersua ibunya segera.